Oleh: Farid Nu’man Hasan
Pada dasarnya, pada sisi sumber pokoknya tidak ada perbedaan antara para ulama dalam istimbath (menyimpulkan hukum) pada sebuah permasalahan.
Menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Majmu’ Al Fatawa, 3/6) sumber-sumber dalam pengambilan hukum adalah (secara ringkas):
- Al Quran, telah disepakati oleh para imam dan seluruh kaum muslimin, tak ada yang menentangnya kecuali orang sesat.
- Sunah , yang tidak bertentangan dengan zhahir ayat Al Quran, tetapi menafsirkan Al Quran, seperti jumlah shalat, jumlah rakaat, nishab zakat, manasik haji, Umrah, dan hukum-hukum lainnya.
- Ijma’ (kesepakatan), ini disepakati umumnya kaum muslimin dari kalangan ahli fiqih, ahli hadits, sufi, ahli kalam. Sedangkan ahli bid’ah seperti mu’tazilah dan syi’ah menolaknya. Sebagian ulama mengatakan ijma’ hanya bisa terjadi pada masa sahabat saja, ada pula yang mengatakan, bisa pada masa sahabat dan tabi’in.
- Qiyas (analogi) terhadap nash dan Ijma’, ini diakui oleh mayoritas ahli fiqih, bahkan kaum rasionalis berlebihan dalam menggunakannya, sampai mereka membantah nash. Sedangkan kaum zhahiri (tekstualis) menolaknya.
- Al Istish-hab, hukum asal dari sesuatu selama belum ada ketetapan yang merubahnya, yang halal adalah halal selamanya jika tidak ada alasan yang merubah statusnya, begitu pula yang haram.
- Al Mashalih Mursalah, yaitu pendapat seorang mujtahid bahwa sebuah perbuatan memiliki manfaat yang kuat dan nash syara’ tidak melarangnya. Para fuqaha berbeda pendapat kebolehan menggunakan metode ini. (selesai dari Imam Ibnu Taimiyah)
Sementara ulama lain menambahkan dengan Al Istihsan (perbuatan yang dipandang baik), Al ‘Urf (tradisi), Asy Syar’u man qablana (syariat orang terdahulu), Al Qaul Ash Shahabiy (pendapat sahabat), Al ‘Amal ahlul Madinah (perbuatan penduduk Madinah) dan Dzari’ah (menolak yang mubah untuk menghindar keharaman).
Point satu sampai tiga (Al Quran, As Sunnah, dan Ijma’) yang disebutkan Imam Ibnu Taimiyah, telah disepakati oleh semua ulama dari berbagai disiplin ilmu. Ada pun point lain setelahnya diperselisihkan oleh mereka, sebagaimana dirinci dalam berbagai kitab Ushul Fiqh. Nah, perbedaan mereka dalam penerimaan terhadap sumber-sumber selain tiga point itu, berdampak pada perbedaan hasil hukum yang mereka ijtihadkan. Perbedaan itu terjadi walau dengan sesama ahli fiqih.
Ingin saya tegaskan di sini, dahulu para ulama yang concern dengan hadits, mereka juga perhatian dan memahami fiqih dengan baik. Sebagaimana para ahli fiqih juga sangat perhatian dengan hadits. Oleh karena itu nama-nama seperti Imam Malik, Imam Ahmad, Imam Al Bukhari, Imam At Tirmidzi, atau yang setelah mereka seperti Imam Ibnu Hazm, Imam An Nawawi, Imam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnul Qayyim, Imam Ibnu Hajar, dan banyak lagi, mereka adalah lautan dalam ilmu hadits, tetapi mereka juga bintangnya para fuqaha (ahli fiqih).
Juga nama-nama seperti Imam Asy Syafi’i, Imam Al Auza’i, Imam Al Laits bin Sa’ad, dan lainnya, mereka adalah lautan dalam ilmu fiqih, tetapi mereka juga bintangnya para ahli hadits.
Bahkan Imam Sufyan bin ‘Uyainah mengancam akan memukul dengan pelepah kurma, orang yang belajar hadits tetapi tidak memahami fiqih, atau orang yang belajar fiqih tetapi tidak memahami ilmu hadits. Sebab, bagaimana mungkin seorang belajar fiqih tanpa mendalami hadits, sebab dari hadits-lah berbagai permasalahan fiqih paling banyak dibahas. Dan, bagaimana mungkin pula seorang belajar hadits tanpa mendalami fiqih hadits tersebut, bagaikan seorang memiliki barang berharga tetapi tidak mengerti nilai, harga, dan kegunaan barang tersebut. Oleh karenanya, seharusnya ahli fiqih dan ahli hadits bukanlah dua kelompok yang di posisikan vis a vis (saling berbenturan), namun mereka adalah satu kesatuan yang saling menguatkan. Jika pun nantinya tetap ada perbedaan, maka itu merupakan bagian dari keragaman yang memang tidak bisa dihindarkan dalam kehidupan.
Kenyataan hari ini, tak bisa diingkari, seakan keduanya adalah hal terpisah. Ahli fiqih ada di sebuah lembah, ahli hadits ada di lembah lain. Sampai-sampai dianggap bahwa para ahli hadits adalah orang yang miskin fiqihnya dan berbahaya mengambil ilmu fiqih dari mereka. Mereka dianggap kelompok yang gegabah dalam memahami fiqih, hanya dari hadits tanpa menimbang berbagai variabel lain, padahal untuk melahirkan keputusan fiqih mesti melihat dari berbagai sisi (holistik), seperti kaidah, maqashid-nya, kondisi dan kebiasaan masyarakat. Sebaliknya, sebagaian menganggap bahwa para ahli fiqih adalah orang bodoh dalam hadits, maka curigailah kekuatan dalil dan argumentasinya, karena mereka bagaikan pencari kayu bakar di malam hari (maksudnya, tidak bisa membedakan antara hadits shahih dan dhaif, bagaikan pencari kayu bakar yang tidak bisa membedakan mana kayu bakar mana rumput basah). Lalu, masing-masing pihak punya pendukung fanatiknya. Jika mengutip fiqih mereka lebih suka mengambil dari Syaikh Al Qaradhawi, Syaikh Sayyid Sabiq, Syaikh Musthafa Az Zarqa’, Syaikh Wahbah Az Zuhaili, Syaikh Ibnu Baaz, Syaikh ‘Utsaimin, Syaikh Shalih Fauzan, dan fuqaha lainnya. Jika mengutip hadits manusia yang lain lebih tenang mengutip dari Syaikh Al Albani, Syaikh Syu’aib Al Arnauth, Syaikh Abdul Qadir Al Arnauth, Syaikh Ahmad Muhammad Syakir, Syaikh Abdul Fatah Abu Ghuddah, Syaikh Habiburrahman Al A’zhami, dan muhaddits kontemporer lainnya. Namun kita yakin dan percaya, bahwa para ulama ini adalah manusia yang juga mempelajari fiqih dan hadits sekaligus, hanya saja nama mereka sudah terlanjur dikenal di masyarakat sebagai ahli fiqih saja, atau ahli hadits saja, padahal tidak demikian. Dan, seharusnya memang jangan sampai diposisikan dua pihak adalah pihak yang selalu berseberangan.
Kita berharap –walaupun sangat sulit mencari yang mumpuni dikeduanya- paling tidak masih bisa memadukan kedua kelompok ini. Syaikh Muhammad Al Ghazali Rahimahullah menganologikan hubungan antara ahli hadits dan ahli fiqih, bagaikan pemiliki barang bangunan dan tukang bangunan. Pemilik bangunan adalah pihak yang paling tahu barang mana yang paling bagus, kuat, dan layak dipakai, sedangkan tukang bangunan yang paling tahu memanfaatkan barang-barang bangunan untuk jadi apa, di bentuk bagaimana, dan seterusnya, sehingga layak dihuni dan indah dipandang. Itulah ahli hadits – si pemilik barang bangunan- dan ahli fiqih –si tukang bangunannya.
Bisa juga diumpamakan seperti tukang sayur yang paling tahu kualitas sayur dan berbagai bahan makanan, dengan juru masak yang paling tahu bagaimana mengolah sayur dan bahan makanan tersebut menjadi makanan lezat dan sehat. Itulah ahli hadits dan ahli fiqih.
Wallahu A’lam