Matan Pertama:
عَنْ النَّوَّاسِ بْنِ سِمْعَانَ الْأَنْصَارِيِّ قَالَ سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْبِرِّ وَالْإِثْمِ فَقَالَ الْبِرُّ حُسْنُ الْخُلُقِ وَالْإِثْمُ مَا حَاكَ فِي صَدْرِكَ وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ
Dari An Nawwas bin Sim’an Al Anshari, dia berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang kebajikan dan dosa. Lalu Beliau bersabda: “Kebajikan adalah akhlak yang baik dan dosa adalah apa-apa yang meresahkan dadamu, dan kamu benci jika itu diketahui oleh manusia.”
Takhrij Hadits Pertama:
- Imam Muslim dalam Shahihnya No. 2553
- Imam Al Bukhari dalam Adabul Mufrad 295, 302
- Imam Ahmad dalam Musnadnya No. 17631, 17632, 17633
- Imam Ibnu Hibban dalam Shahihnya No. 397
- Imam Al Hakim dalam Al Mustadrak ‘Alash Shahihain 2172
- Imam Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman 7272, 7273, juga As Sunan Al Kubra No. 20574
- Imam Ath Thabarani dalam Musnad Asy Syamiyin 980, 2023
- Imam Ath Thahawi dalam Musykilul Atsar 1787
- Imam Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya No. 25844
- Imam Abu Nu’aim dalam Ma’rifatush Shahabah 3760, 5859
- Imam Ad Darimi dalam Sunannya No. 2789
- Imam Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah, 13/77
Matan Hadits Kedua:
وعن وَابِصَةَ بن مَعبدٍ – رضي الله عنه – ، قَالَ: أتَيْتُ رَسُول الله – صلى الله عليه وسلم -، فَقَالَ: (( جئتَ تَسْألُ عَنِ البِرِّ ؟ )) قُلْتُ : نَعَمْ ، فَقَالَ : (( اسْتَفْتِ قَلْبَكَ ، البرُّ : مَا اطْمَأنَّت إِلَيْهِ النَّفسُ ، وَاطْمأنَّ إِلَيْهِ القَلْبُ ، وَالإثْمُ : مَا حَاكَ في النَّفْسِ ، وَتَرَدَّدَ فِي الصَّدْرِ ، وَإنْ أفْتَاكَ النَّاسُ وَأفْتُوكَ )) حديث حسن ، رويناه في مسندي الإمامين أحمد بن حنبل ، والدارمي بإسناد حسن
Dari Wabishah bin Ma’bad Radhiallahu ‘Anhu, Beliau berkata: “Saya mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu Beliau bersabda: “Kamu datang untuk menanyakan tentang kebajikan?” Aku berkata: “Ya.” Lalu Beliau bersabda: “Mintalah fatwa kepada hatimu, kebaikan adalah apa-apa yang membuat jiwa dan hati menjadi tenang, sedangkan dosa adalah apa-apa yang membuat jiwamu resah, dan dadamu menjadi bimbang, walaupun manusia telah memberikan fatwa bagimu.” (Hadits hasan, kami meriwayatkan dalam Musnad dua imam, Ahmad bin Hambal dan Ad Darimi, dengan isnad yang hasan)
Takhrij Hadits Kedua:
- Imam Ahmad dalam Musnadnya No. 18006,
- Imam Ad Darimi dalam Sunannya No. 2533
- Imam Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir 403
- Imam Abu Ya’la dalam Musnadnya No. 1586, 1587
- Imam Abu Ja’far Ath Thahawi dalam Musykilul Atsar 1788
Hadits ini dihasankan oleh Imam An Nawawi sebagaimana yang dia katakan dalam Arbain-nya, dan Riyadhusshalihin, juga oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wat Tarhib No. 1734, dengan menyebutnya hasan lighairih.[1]
Kandungan Hadits Secara Global
Dua hadits ini oleh Imam An Nawawi Rahimahullah diletakkan pada nomor hadits yang sama dalam kitab Arbain-nya, karena memiliki kandungan yang sama, serta saling menguatkan dan menjelaskan.
- Hadits ini, untuk kesekian kalinya menunjukkan kedudukan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam di tengah-tengah manusia sebagai pemimpin, mufti, juru nasihat, tempat bertanya, dan problem solver. Sekaligus menunjukkan hubungan yang sangat dekat antara Beliau dengan masyarakatnya, hal itu ditunjukkan oleh banyaknya kisah tentang para sahabat dan shahabiyah yang tidak segan-segan bertanya kepadanya tentang persoalan agama dan dunia mereka.
Di dalam Al Quran banyak pula disebutkan pertanyaan para sahabat kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Di antaranya:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الأَهِلَّةِ
Mereka bertanya kepadamu tentang Ahillah …. (QS. Al Baqarah (2): 189)
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الشَّهْرِ الْحَرَامِ قِتَالٍ فِيهِ
Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram… (QS. Al Baqarah (2): 217)
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ
Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi … (QS. Al Baqarah (2): 219)
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ
Mereka bertanya kepadamu tentang haidh … (QS. Al Baqarah (2): 222)
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَنْفَالِ
Mereka bertanya kepadamu tentang Al Anfaal …. (QS. Al Anfaal (8): 1)
Bahkan orang kafir pun bertanya kepada Beliau, dengan beragam motivasi. Ada yang mengejek, menguji, dan sekedar bertanya. Di antaranya:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ السَّاعَةِ أَيَّانَ مُرْسَاهَا
Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat: “Bilakah terjadinya?” … (QS. Al A’raf (7): 187, An Nazi’at (79): 32)
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْجِبَالِ فَقُلْ يَنْسِفُهَا رَبِّي نَسْفًا
Mereka bertanya kepadamu tentang gunung-gunung, Maka Katakanlah: “Tuhanku akan menghancurkannya (di hari kiamat) sehancur-hancurnya. (QS. Tthaha (20): 105)
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ
Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh …. (QS. Al Isra (17): 85)
وَيَسْأَلُونَكَ عَنْ ذِي الْقَرْنَيْنِ
Dan mereka bertanya kepadamu tentang Dzulqarnain … (QS. Al Kahfi (18): 83)
Ada pun tentang gambaraan kebersamaan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan para sahabatnya juga dicertitakan dalam Al Quran.
Allah Ta’ala berfirman:
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ
Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan Dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. (QS. Al Fath (48): 29)
Ayat lainnya:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. (QS. Ali Imran (3): 159)
- Hadits ini juga menunjukkan perhatian yang begitu besar dari para sahabat nabi tentang pembinaan moralitas. Mereka selalu bertanya tentang kepentingan akhirat dan agama.
Hal ini ditunjukkan oleh pertanyaan sahabat tentang Al Birr (kebajikan) dan Al Itsm (dosa). Kepastian apa itu kebaijkan dan apa itu dosa, jelas sangat diperlukan oleh setiap muslim. Agar mereka melakukan perbuatan yang jelas-jelas baiknya yang dengannya Allah Ta’ala memberikan ganjaran, dan menjauhi yang jelas-jelas buruknya yang mendatangkan dosa, serta berhati-hati terhadap yang masih samar.
Syaikh Ismail Al Anshari Rahimahullah menjelaskan tentang arti Al Birr:
وهو عبارة عما اقتضاه الشرع وجوبا أو ندبا
Kebaikan adalah perbuatan yang ditetapkan syariat berupa perbuatan yang wajib atau sunah. (Tuhfah Ar Rabbaniyah, No. 27)
- Hadits ini juga menegaskan tentang kedudukan akhlak yang baik, sebab itu adalah kebajikan. Sekaligus stimulus kepada kita untuk membina diri agar dapat menggapai husnul khuluq (akhlak yang baik).
Di sisi lain, akhlak yang baik merupakan sebab yang mengantarkan seseorang ke surga dan faktor utama timbangan kebaikan seorang hamba.
Dalam sebuah hadits disebutkan:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ الْجَنَّةَ فَقَالَ تَقْوَى اللَّهِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ditanya tentang hal apa yang menyebabkan paling banyak manusia masuk ke surga, maka beliau menjawab: “Taqwa kepada Allah, dan akhlaq yang baik.” (HR. At Tirmidzi No. 2004 Katanya: shahih gharib. Syaikh Al Albany mengatakan hasan. Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 2004. As Silsilah Ash Shahihah No. 977)
Berkata Syaikh Abul ‘Ala Abdurrahman Al Mubarkafuri tentang makna husnul khuluq:
أَيْ مَعَ الْخَلْقِ ، وَأَدْنَاهُ تَرْكُ أَذَاهُمْ وَأَعْلَاهُ الْإِحْسَانُ إِلَى مَنْ أَسَاءَ إِلَيْهِ مِنْهُمْ
“Yaitu akhlak bersama makhluk, paling rendah adalah tidak menyakiti mereka, dan yg paling tinggi adalah berbuat baik kepada siapa-siapa yang telah berbuat buruk kepadanya.” (Syaikh Abdurrahman Al Mubarkafuri, Tuhfah Al Ahwadzi, 6/120)
Beliau juga berkata:
قَالَ الطِّيبِيُّ قَوْلُهُ : تَقْوَى اللَّهِ إِشَارَةٌ إِلَى حُسْنِ الْمُعَامَلَةِ مَعَ الْخَالِقِ بِأَنْ يَأْتِيَ جَمِيعَ مَا أَمَرَهُ بِهِ وَيَنْتَهِيَ عَنْ مَا نَهَى عَنْهُ وَحُسْنُ الْخَلْقِ إِشَارَةٌ إِلَى حُسْنِ الْمُعَامَلَةِ مَعَ الْخَلْقِ وَهَاتَانِ الْخَصْلَتَانِ مُوجِبَتَانِ لِدُخُولِ الْجَنَّةِ وَنَقِيضُهُمَا لِدُخُولِ النَّارِ
Berkata Ath Thayyibi: “Sabda nabi ‘taqwa kepada Allah’ mengisyaratkan kepada bagusnya muamalah kepada Allah Sang Pencipta, dengan mengerjakan apa-apa yang diperintahkan kepadanya dan menjauhkan apa-apa yang dilarangnya. ‘Husnul Khuluq –akhlak yang baik’ adalah isyarat kepada bagusnya muamalah dengan makhluk. Dua perbuatan ini mesti ada agar masuk ke dalam surga dan mencegahnya dari apai neraka. (Ibid)
- Pada hadits ini, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menerangkan tentang ciri-ciri perbuatan yang disebut Al Bir (kebajikan), yaitu: melakukan akhlak yang baik dan perbuatan itu membuat hati dan jiwa menjadi tentram
Sedangkan ciri-ciri Al Itsm (dosa) adalah: Apa-apa yang membuat hati dan jiwa menjadi tidak tentram dan kita takut dan malu jika orang tahu perbuatan tersebut
- Dibolehkan meminta fatwa kepada hati kita, walau manusia telah memberikan jawaban untuk kita. Tetapi kapan dan bagaimana itu ? ada beberapa syarat:
Pertama, ketika masalahnya masih samar, dan kita mengalami keraguan dari jawaban yang ada karena kesamarannya itu.
Kedua, tidak berlaku bagi orang yang dikenal sebagai ahli maksiat, jaahil (bodoh) terhadap agama, dan pengikut hawa nafsu.
Ketiga, tidak berlaku untuk masalah yang sudah sangat jelas dan pasti, baik tertulis dalam Al Quran dan As Sunnah, atau dijelaskan dengan gamblang dan detil oleh ulama sehingga tidak ada kesamaran sehingga membuatnya tenang.
Berkata Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr Hafizhahullah tentang makna istafti qalbaka – mintalah fatwa kepada hatimu:
يدلُّ على أنَّ ما كان فيه شبهة وريبة ولا يطمئنُّ إليه القلب، أنَّ السلامةَ في تركه ولو حصل إفتاء الناس به، والمقصود أنَّ من كان من أهل الإيمان يخاف الله ويتَّقيه فإنَّه لا يُقدِم على الشيء الذي لا يطمئنُّ إليه قلبه، وقد يكون الإفتاء مِمَّن لا علم عنده، وقد يكون مِمَّن عنده علم، ولكن ليس في المسألة دليل بيِّن يُعوَّل عليه في الفعل، أمَّا إذا كان في المسألة دليل من الكتاب والسنَّة فالمتعين المصير إليه، واستفتاء القلب لا يكون من أهل الفجور والمعاصي؛ فإنَّ من أولئك مَن قد يُجاهر بالمعاصي ولا يستحيي من الله ولا من خلقه، فمثل أولئك يقعون في الحرام البيِّن ومن باب أولى المشتبه.
(Mintalah fatwa kepada hatimu) itu menunjukkan pada hal yang masih samar dan meragukan dan tidak membuat hati tenang, dan meninggalkannya adalah keselamatan walau telah mendapatkan fatwa dari manusia. Maksudnya adalah bagi orang yang termasuk ahlul iman dan orang yang takut kepada Allah, maka dia tidak didahulukan oleh sesuatu yang membuat hati menjadi tidak tenang. Fatwanya pun berasal dari orang yang tidak memiliki ilmu, dan fatwa yang berasal dari orang yang memiliki ilmu, tetapi masalahnya tidak memiliki petunjuk yang bisa menjelaskan untuk bisa diamalkan. Ada pun jika masalahnya terdapat petunjuk dalam Al Quran dan As Sunnah, maka mestilah kembali kepadanya (jangan minta fatwa kepada hati, pen), dan meminta fatwa kepada hati juga tidak boleh bagi orang jahat dan pelaku maksiat, apalagi di antara mereka ada orang yang menampakkan secara terang-terangan maksiatnya, dan tidak malu kepada Allah dan makhlukNya, maka semisal mereka ini terjatuhnya dalam keharaman adalah suatu yang begitu jelas, dan di antara pintu yang lebih mendekati kepada kesamaran. (Fathul Qawwi Al Matin, Hal. 82)
Makna Kata dan Kalimat
عَنْ النَّوَّاسِ بْنِ سِمْعَانَ الْأَنْصَارِيِّ قَالَ : dari An Nawas bin Sim’an Al Anshari, beliau berkata:
Beliau adalah An Nawwas bin Sim’an Al Kilaabiy, ada yang menyebut Al Anshaariy. Namun yang lebih masyhur dia adalah Al Kilaabiy, sebagaimana dikatakan Al Maziri dan Al Qadhi ‘Iyadh. Beliau adalah sahabat nabi, begitu pula ayahnya. Nama beliau An Nawwas bin Sim’an bin Khalid bin Abdullah bin Amru bin Qurth bin Abdullah bin Abu Bakar bin Kilaab bin Rabi’ah bin ‘Aamir bin Sha’sha’ah. Beliau meriwayatkan hadits dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Ada pun yang meriwayatkan darinya adalah Jubair bin Nufair tentang shalat dan Al Fitan, Nufair bin Abdullah, Abu Idris Al Khaulani, dan segolongan sahabat. Beliau tinggal di Syam, dan penduduk Syam mengambil hadits darinya. Dia memliki 17 hadits yang diriwayatkan secara menyendiri dari nabi. Hadits beliau dipakai oleh Imam Muslim dalam Shahihnya dan Imam Bukhari dalam Adabul Mufradnya. (Lihat semua dalam Imam Ibnu Abdil Bar, Al Isti’ab fi Ma’rifatil Ashhab, 1/485-486. Mawqi’ Al Warraq. Al Hafizh Ibnu Hajar, Al Ishabah fi Tamyiz Ash Shahabah, 6/478. Cet. 1, 1413H. Darul Jiil. Al Hafizh Ibnu Hajar, Tahdzibut Tahdzib, 10/429. Cet. 1, 1404H. Darul Fikr. Imam Ibnu Hibban, Ats Tsiqaat, 3/411. Cet. 1, 1495H. Darul Fikr. Imam Adz Dzahabi, Al Kaasyif, 2/327. Darul Qiblah. Al Hafizh Al Faqih Shafiyuddin Al Khazraji Al Anshari, Khulashah Tadzhib Tahdzib Al Kamal, Hal. 405. Darul Basyair. Imam Abu Bakar Ahmad bin Ali Al Ashbahani, Rijalul Muslim, 2/296. Darul Ma’rifah. Imam Ash Shan’ani, Subulus Salam, 4/151. Cet. 4, 1379H. Maktabah Mushthafa Al Babiy Al Halabiy)
Selanjutnya:
سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : Aku bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
Yaitu An Nawwas bin Sim’an bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Hadits ini adalah salah satu hadits darinya yang dimasukkan Imam Muslim dalam Jami’ush Shahih atau sering pula disebut Shahih Muslim. Keseluruhannya ada tiga hadits dari An Nawwas bin Sim’an yang tertera dalam Shahih-nya Imam Muslim. Pertama, hadits ini. Kedua, hadits tentang Dajjal. Ketiga, hadits tentang keutamaan orang membaca dan menghapal surat Al Baqarah dan Ali ‘Imran di akhirat nanti.
Selanjutnya:
عَنْ الْبِرِّ : tentang kebajikan
Ini hal pertama yang ditanyakan oleh An Nawwas bin Sim’an yaitu tentang apa makna Al Birr.
Imam An Nawawi Rahimahullah menjelaskan tentang makna Al Birr:
قال العلماء البر يكون بمعنى الصلة وبمعنى اللطف والمبرة وحسن الصحبة والعشرة وبمعنى الطاعة وهذه الامور هي مجامع حسن الخلق
Berkata para ulama bahwa kata Al Birr bisa bermakna Ash Shilah (pertalian), bermakna kelembutan, kepatuhan, persahabatan dan pergaulan yang baik, dan bermakna ketaatan. Semua ini terhimpun dalam makna husnul khuluq (akhlak yang baik). (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 16/111)
Allah Ta’ala membolehkan kita untuk tetap berbuat baik (Al Birr) kepada kaum kuffar yang tidak memerangi dan mengusir kita dari kampung halaman kita.
لا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil. (QS. Al Mumtahanah (60): 8)
Dijelaskan dalam Tafsir Al Muyassar tentang makna an tabarruuhum, yaitu: “an tukrimuuhum bil khair – memuliakan mereka dengan kebaikan.” (Tafsir Al Muyassar, 10/108)
Selanjutnya:
وَالْإِثْمِ : dan dosa
Ini adalah hal kedua yang ditanyakan oleh An Nawwas bin Sim’an Radhiallahu ‘Anhuma kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Imam Ibnu Katsir mengutip dari Imam Ibnu Jarir Rahimahullah, menjelaskan makna Al Itsm:
الإثم: ترك ما أمر الله بفعله
Dosa adalah meninggalkan apa-apa yang Allah perintahkan untuk dilakukan. (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 2/13. Lihat juga Syaikh Jamaluddin Al Qasimi dalam Mahasin A Ta’wil)
Imam Ali Aj Jurjani Rahimahullah mengatakan:
الإثم ما يجب التحرر منه شرعا و طبعا
Dosa adalah apa-apa yang mesti diluruskan baik menurut syariat dan tabiat. (At Ta’rifat, Hal. 23. Cet. 1, 1405H. Darul Kitab Al ‘Arabi, Beirut)
Dalam bahasa Arab, Al Itsmu juga di sebut Adz Dzanbu, Al ‘Anat, Al Fujur dan Al Wizru, yang semua maknanya kurang lebih sama, yakni dosa dan kejahatan.
Selanjutnya:
فَقَالَ الْبِرُّ حُسْنُ الْخُلُقِ: lalu Beliau bersabda: Al Birr adalah akhlak yang baik
Inilah jawaban Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang makna Al Birr, sekaligus ini menjadi definisinya menurut syariat.
Ada pun husnul khuluq (akhlak yang baik), telah pula disebutkan oleh Imam An Nawawi apa-apa saja yang termasuk husnul khuluq. Sebenarnya akhlak yang baik –selain bisa diketahui melalui petunjuk wahyu- juga bisa diketahui oleh manusia yang memiliki akal yang sehat dan jiwa yang bersih.
Syaikh Ismail Al Anshari Rahimahullah menjelaskan tentang arti husnul khuluq:
وهو من خصال التقوى التي لا تتم التقوى إلا به ، وإنما أفرد بالذكر للحاجة إلى بيانه ، فإن كثيرا من الناس يظن أن التقوى بمجرد القيام بحق الله دون حقوق عباده ، وليس الأمر كذلك ، بل الجمع بين حقوق الله وبين حقوق عباده هو المطلوب شرعا
Yaitu salah satu bagian dari ketaqwaan yang tidaklah sempurna taqwa kecuali dengannya. Sesungguhnya disebutkannya dia secara khusus karena adanya kebutuhan dalam menjelaskannya. Sebab, banyak manusia menyangka bahwa taqwa itu hanya ditentukan dengan menjalankan hak-hak Allah tanpa hak-hak hambaNya, padahal tidak demikian. Tetapi taqwa itu adalah dengan menghimpunkan antara hak-hak Allah dan hak-hak hamba-hambaNya, itulah yang diperintahkan syariat. (At Tuhfah Ar Rabbaniyah, Syarah hadits No. 27)
Bukan hanya kesempurnaan taqwa, husnul khuluq juga merupakan sebab seseorang terangkat derajatnya menjadi orang beriman yang paling afdhal dan paling sempurna imannya.
Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma berkata:
كُنْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَجَاءَهُ رَجُلٌ مِنْ الْأَنْصَارِ فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ الْمُؤْمِنِينَ أَفْضَلُ قَالَ أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا قَالَ فَأَيُّ الْمُؤْمِنِينَ أَكْيَسُ قَالَ أَكْثَرُهُمْ لِلْمَوْتِ ذِكْرًا وَأَحْسَنُهُمْ لِمَا بَعْدَهُ اسْتِعْدَادًا أُولَئِكَ الْأَكْيَاسُ
Aku bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu datang seorang laki-laki dari kaum Anshar, lalu dia mengucapkan salam kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, kemudian berkata: “Wahai Rasulullah, mu’min apakah yang paling utama?” Beliau bersabda: “Yang paling baik akhlaknya.” Dia berkata lagi: “Mu’min apa yang paling cerdas?” Beliau bersabda: “Yang paling banyak mengingat kematian dan yang terbaik persiapannya terhadap hari setelah kematian. Merekalah orang-orang cerdas.” (HR. Ibnu Majah No. 4259, Al Baihaqi, Syu’abul Iman No. 7993, Al Bazzar dalam Musnadnya No. 6175. Dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Ash Shahihah No. 1384)
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا
Mu’min yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya. (HR. Abu Daud No. 4682, At Tirmidzi No. 1162, ada tambahan: “wa khiyarukum Khiyarukum linisaa’ihim khuluqa – sebaik-baiknya kalian adalah yang terbaik kepada isterinya.” katanya: hasan shahih. Al Hakim No. 2, katanya: shahih sesuai syarat Muslim. Ad Darimi No. 2792. Syaikh Husein Salim Asad mengatakan: hasan)
Sedangkan dalam riwayat ‘Aisyah:
إِنَّ مِنْ أَكْمَلِ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَأَلْطَفُهُمْ بِأَهْلِهِ
Sesungguhnya diantara mu’min yang paling sempurna imannya adalah orang yang terbaik akhlaknya dan paling lembut terhadap isterinya. (HR. At Tirmidzi No. 2612, katanya: hasan shahih)
Selanjutnya:
وَالْإِثْمُ مَا حَاكَ فِي صَدْرِكَ : dan dosa adalah apa-apa yang meresahkan dadamu
Ini adalah penjelasan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang makna dosa yang ditanyakan An Nawwas bin Sim’an Radhiallahu ‘Anhu. Haaka artinya bercerita. Jadi, perbuatan tersebut membuat lahirnya protes di dalam hati. Dan, seperti itulah perasaan setiap manusia yang melakukan dosa, ada perasaan tidak tenang dan bersalah, kecuali orang-orang yang memang hatinya telah kesat bahkan mati. Orang seperti ini sudah tidak ada lagi kepekaan terhadap dosa; baik dan buruk, pahala dan dosa, baginya adalah sama saja, dan tidak ada pengaruh apa pun dalam perasaannya. Tidak ada beban sama sekali.
Imam An Nawawi Rahimahullah menjelaskan kalimat di atas:
أي تحرك فيه وتردد ولم ينشرح له الصدر وحصل في القلب منه الشك وخوف كونه ذنبا
Yaitu dadanya resah, bimbang, dan membuat dada tidak lapang, dan mendatangkan keraguan di hati dan takut hal itu merupakan dosa. (Al Minhaj, 16/111)
Imam Ash Shan’ani Rahimahullah menjelaskan:
أي تحرك الخاطر في صدرك وترددت هل تفعله لكونه لا لوم فيه أو تتركه خشية اللوم عليه من الله سبحانه وتعالى ومن الناس لو فعلته فلم ينشرح به الصدر ولا حصلت الطمأنينة بفعله خوف كونه ذنبا
Yaitu melahirkan perasaan gundah di dadamu dan kebimbangan. Apakah kamu melakukannya karena hal itu tidak ada celaan di dalamnya atau kamu meninggalkannya takut celaan dari Allah Ta’ala dan dari manusia yang seandainya kamu melakukan perbuatan itu, tidaklah membuat dada menjadi lapang, dan tidak tidak pula mendatangkan ketentraman, takut hal itu merupakan dosa. (Subulus Salam, 4/152)
Nah, di sinilah letak pentingnya nasihat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
دَعْ مَا يَرِيْبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيْبُكَ
“Tinggalkan apa-apa yang kamu ragukan, menuju apa-apa yang kamu tidak ragu.” (HR. At Tirmidzi No. 2518, katanya: hasan shahih. Ahmad No. 1723, 1727, Ad Darimi No. 165, dari jalan Abdullah bin Mas’ud, Al Hakim dalam Al Mustadrak ‘Ala Ahs Shahihain No. 2169, katanya: isnadnya shahih, Al Bukhari dan Muslim tidak meriwayatkannya. Juga No. 2170 dan 7046, dengan sanad yang berbeda. Ibnu Hibban dalam Shahihnya No. 722, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 10602, juga dalam Syu’abul Iman No. 5747, dll)
Syaikh Syu’aib Al Arnauth Rahimahullah mengatakan dalam tahqiqnya terhadap Musnad Ahmad: “Isnaduhu shahih – isnadnya shahih.” (Musnad Ahmad No. 1723. Muasasah Ar Risalah, dengan tahqiq; Syaikh Syu’aib Al Arnauth, Syaikh Adil Mursyid, et.al)
Sementara Syaikh Al Albani juga menshahihkan hadits ini dalam berbagai kitabnya. (Irwa’ul Ghalil, 1/44, 7/155. Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi, 4/668, No. 2518. Tahqiq Misykah Al Mashabih No. 2773. Shahih At Targhib wat Tarhib No. 1737, 2231, 2930. Ghayatul Maram No. 179)
Selanjutnya:
وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ : dan kamu benci jika itu diketahui oleh manusia
Yaitu kamu tidak suka, tidak senang, dan malu jika perbuatanmu itu nampak dan dilihat orang lain, karena mereka tahu bahwa perbuatanmu itu tidak pantas dilakukan. Ketidaksenangan dan rasa malu itu menunjukkan bahwa dia memang melakukan kesalahan.
Imam Ash Shan’ani Rahimahullah menjelaskan:
وفيه دليل على أنه تعالى قد جعل للنفس إدراكا لما لا يحل فعله وزاجرا عن فعله
Ini merupakan dalil bahwa Allah Ta’ala menjadikan pada jiwa manusia pengetahuan tentang apa-apa yang tidak halal baginya untuk dilakukan dan larangan untuk melakukannya. (Subulus Salam, 4/152)
Syaikh Abul ‘Ala Al Mubarkafuri Rahimahullah mengatakan:
وقيل يعني الإثم ما أثر قبحه في قلبك أو تردد في قلبك ولم ترد أن تظهره لكونه قبيحا
Dikatakan bahwa dosa itu adalah apa-apa yang meninggalkan bekas yang buruk di hatimu, atau kebimbangan, dan kamu tidak mau hal itu terlihat karena itu adalah keburukan. (Tuhfah Al Ahwadzi, 7/55)
ووجه كون كراهة اطلاع الناس على الشيء دليل الإثم أن النفس بطبعها تحب اطلاع الناس على خيرها وبرّها وتكره ضد ذلك، فكراهتها اطلاع الناس على فعلها ذلك يدل على أنه إثم
Dari sisi bahwa ketidaksukaan hal itu nampak di hadapan manusia, itu merupakan petunjuk bagi dosanya hal itu. Sesungguhnya jiwa manusia secara alami menyukai jika kebaikan dan kebajikannya yang nampak di hadapan manusia, dan benci dengan kebalikannya. Maka, ketidaksukaan perbuatan itu nampak di hadapan manusia merupakan petunjuk bahwa hal itu memang berdosa. (Dalilul Falihin, 5/26)
Tetapi, bagi manusia yang tipis rasa malunya bahkan tidak ada malu sama sekali, mereka sama sekali tidak mempermasalahkan keburukan yang dilakukannya dilihat banyak manusia. Tidak sensitif terhadap dosa dan maksiat. Korupsi dan risywah terang-terangan, berzina direkam sendiri lalu dia sendiri yang menyebarkan ke khalayak ramai, menampakkan aurat secara demonstratif, dan seterusnya.Maka, penting bagi kita menjaga kualitas ruhiyah dan imaniyah agar Allah Ta’ala memberikan bashirah (mata hati) untuk mengetahui baik dan buruk secara jelas dan tidak samar, dan memohon kepadaNya agar kita diberikan kekuatan untuk tetap bersama kebaikan dan orang-orang baik.
Wallahu A’lam
Catatan Kaki:
[1] Sebenarnya sanad hadits Wabishah ini dhaif. Sanadnya adalah: dari Hammad bin Salamah, dari Az Zubeir Abu Abdissalam, dari Ayyub bin Abdillah Mikraz, dari Wabishah bin Ma’bad Al Asadi.
Ada dua cacat:
Pertama, adanya perawi bernama Az Zubeir Abu Abdissalam. Ad Daulabi mengatakan: dhaif. (Al Kuna, 2/1072), Imam Ibnul Jauzi berkata: “Berkata Ad Daruquthni: majhul (tidak dikenal). Beliau berkata di tempat lain, bahwa Az Zubeir Abu Abdissalam meriwayatkan darinya Hammad bin Salamah, dia meriwayatkan hadits dari Ayyub bin Abdillah Mikraz dari Ibnu Mas’ud berupa hadits-hadits munkar. Ad Daruquthni berkata bahwa Ibnu Hibban telah menceritakannya, dan berkata: tidak boleh berhujjah dengannya. (Adh Dhuafa wal Matrukin No. 3935)
Kedua, hadits ini munqathi’ (terputus) sanadnya, karena Az Zubeir Abu Abdissalam tidak pernah mendengar hadits ini dari Ayyub bin Abdillah Mikraz. (Imam Al Mizzi, Tahdzibul Kamal, 3/479, Imam Ibnu Hajar, At Tahdzibut Tahdzib, 1/356, Syaikh Syu’aib Al Arnauth, Ta’liq Musnad Ahmad No. 18006)
Oleh karenanya sebagian ulama mendhaifkan sanad hadits ini seperti Syaikh Syu’aib Al Arnauth (Ta’liq Musnad Ahmad No. 18006), Syaikh Husain Salim Asad. (Lihat Sunan Ad Darimi No. 2533). Tetapi hadits ini memiliki beberapa syawahid (saksi penguat) yang membuatnya terangkat menjadi hasan lighairih. Riwayat yang menguatkannya adalah:
Pertama, jalur An Nawwas As Sim’an Al Anshari, yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di atas.
Kedua, jalur Abu Tsa’labah Al Khusyani, yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan sanadnya shahih. (Ta’liq Musnad Ahmad No. 17777. Shahih At targhib wat Tarhib No. 1735)
Wallahu A’lam