Ada pernyataan yang disampaikan oleh salah seorang ustadz: “Setiap perbedaan pandangan imam dalam suatu hal harus dilihat atau diteliti kembali dan dicari mana yang paling shahih. Dan yang paling shahih itulah yang (harus) diikuti. Setiap ijtihad bisa benar dan bisa salah, dan sebagai muqallid tidak boleh mengikuti ijtihad yang salah. Jika muqallid mengikuti ijtihad yang salah, maka akan terkena dosa (jika sudah dijelaskan pendapat yang shahih). Lain halnya dengan para mujtahid tersebut yang mereka tetap mendapat pahala dalam ijtihad mereka”
Dengan pernyataan ini, maka tidak akan ada toleransi ikhtilaf walau dalam hal-hal cabang, karena setiap perbedaan pendapat mesti dicari mana yang paling shahih dan yg shahih itulah yang diikuti, sedangkan yang lain tidak boleh diikuti.
Benarkah demikian?
Ada dua hal yang mesti diperhatikan:
Pertama, Kemestian mencari dalil yang shahih.
Ini adalah tuntutan jika terjadi perselisihan di antara ulama. Namun, siapakah yang mampu meneliti? Apakah orang awam? Apakah semua orang dibiarkan begitu saja untuk melakukan penelitian padahal mereka bukanlah ahli ijtihad?
Tentu tidak demikian. Oleh karena itu para ulama mengatakan bahwa orang awam tidaklah memiliki madzhab. Madzhabnya orang awam adalah fatwa dari mufti yang memberikan jawaban terhadapnya. Fas’aluu ahladz dzikri inkuntum laa ta’lamun (bertanyalah kepada ahludz dzikri jika kalian tidak mengetahui).
Lucunya, sama-sama awam dan sama-sama belum mampu berijtihad justru lebih keras ‘pertempurannya’ dibanding para ulama sendiri yang sebenarnya paling tahu sebab-sebab perselisihannya. Maka, untuk mengetahui mana yang lebih shahih, bukanlah pekerjaan mudah, namun mesti mengembalikan kepada ahlinya.
Apakah selesai sampai di sini? tidak! pasti akan terjadi lagi perbedaan itu, walau demikian kita tetap harus memiliki sikap dan pilihan pendapat yang paling shahih di antara yang ada.
Kedua, setelah kita mengikuti pendapat yang shahih, maka ada hal lain yang mesti diperhatikan, yakni akhlak, etika, dan tata krama dengan orang yang berbeda atau bersikeras dengan pendapatnya karena dia mengikuti ulama lain yang menurutnya adalah shahih. Inilah penekanannya. Kita tidak mengingkari mereka, tidak menuduhnya dengan tuduhan telah memainkan agama, tidak pula menudingnya pengikut hawa nafsu, dan lainnya, hanya karena dia berbeda pilihan pendapat dengan kita, karena menurut mereka pendapat kita adalah lemah.
Berkata Dr. Umar bin Abdullah Kamil:
فالاجتهاد إذا كان وفقًا لأصول الاجتهاد ومناهج الاستنباط في علم أصول الفقه يجب عدم الإنكار عليه ، ولا ينكرمجتهد على مجتهد آخر ، ولا ينكر مقلد على مقلد آخر وإلا أدى ذلك إلى فتنة .
“Ijtihad itu, jika dilakukan sesuai dengan dasar-dasar ijtihad dan manhaj istimbat (konsep penarikan kesimpulan hukum) dalam kajian ushul fiqh (dasar-dasar fiqih), maka wajib menghilangkan sikap pengingkaran atas hal ini. Tidak boleh seorang mujtahid mengingkari mujtahid lainnya, dan tidak boleh seorang muqallid (pengekor) mengingkari muqallid lainnya, jika tidak demikian maka akan terjadi fitnah.” (Dr. Umar bin Abdullah Kamil, Adab al Hiwar wal Qawaid al Ikhtilaf, hal. 43. Mauqi’ al Islam)
Pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat pun berselisih di depan Rasulullah, karena berbeda tafsir terhadap perintah beliau. Contoh kasus tentang: “Jangan shalat ashar sebelum sampai di daerah bani Quraidhah.” Ketika masuk waktu Ashar namun belum sampai di Bani Quraidhah, para sahabat berselisih: ada yang shalat Ashar karena waktu sudah masuk, sebagian lain tidak shalat Ashar dulu karena belum sampai di Bani Quraidhah sesuai perintah nabi. Kedua kelompok ini diceritakan kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan beliau tidak mengingkari keduanya. Sebab, dari sudut pandang masing-masing pihak, maka keduanya benar. oleh karena itu, sebagian ulama mengatakan bisa jadi semua ijtihad adalah benar, dan ini adalah ungkapan yang masyhur. Sehingga Imam Ibnu Taimiyah mengatakan:
“Ijtihad para ulama dalam masalah hukum itu seperti ijtihadnya orang yang menentukan arah kiblat. Empat orang melaksanakan shalat dan masing-masing orang menghadap ke arah yang berbeda dengan lainnya dan masing-masing meyakini bahwa kiblat ada di arah mereka. Maka shalat keempat orang itu benar adanya, sedangkan shalat yang tepat menghadap kiblat, dialah yang mendapat dua pahala.” (Imam Ibnu Taimiyah, Majmu’ fatawa, Juz, 20, hal. 224)
Contoh lain, tentang Abu Bakar dan Umar radhiallahu ‘anhuma, ketika mereka ditanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kapan mereka melaksanakan shalat witir? Abu Bakar menjawab: saya melakukannya SEBELUM tidur, karena khawatir jika tidur dulu tidak bangun. Sedangkan Umar menjawab: saya melakukannya SETELAH tidur, karena shalat witir termasuk shalat malam yang diperintahkan untuk dilakukan setelah kita berselimut.
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memuji keduanya, (walau secara zhahir Umar yang benar karena sesuai dengan ayat awal suarat Al Muzammil).
عَنْ أَبِي قَتَادَةَ
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِأَبِي بَكْرٍ مَتَى تُوتِرُ قَالَ أُوتِرُ مِنْ أَوَّلِ اللَّيْلِ وَقَالَ لِعُمَرَ مَتَى تُوتِرُ قَالَ آخِرَ اللَّيْلِ فَقَالَلِأَبِي بَكْرٍ أَخَذَ هَذَا بِالْحَزْمِ وَقَالَ لِعُمَرَ أَخَذَ هَذَا بِالْقُوَّةِ
Dari Qatadah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada Abu Bakar: “Kapan engkau witir?” Abu Bakar menjawab: “Aku witir pada awal malam.” Beliau bertanya kepada Umar: “Kapan engkau witir?” Umar menjawab: “Pada akhir malam.” Maka Rasulullah bersabda kepada Abu Bakar: “Engkau ini orangnya hati-hati.” Dan bersabda kepada Umar: “Engkau ini menunjukkan keteguhanmu.” (HR. Abu Daud, Kitab Ash Shalah Bab Fil Witri Qablash Shalah, Juz. 4, hal. 220, No hadits. 1222. Ahmad, Juz. 28, Hal. 352, no hadits. 13803. Al Hakim, Al Mustadrak ‘Alash Shahihain, Juz.3, Hal. 143, No hadits. 1070. Al Hakim mengatakan: “Shahih sesuai syarat Imam Muslim.” Al Maktabah Asy Syamilah)
Maka, Imam Sufyan At Tsauri berkata:
إذا رأيت الرجل يعمل العمل الذي قد اختلف فيه وأنت ترى غيره فلا تنهه.
“Jika engkau melihat seorang melakukan perbuatan yang masih diperselisihkan, padahal engkau punya pendapat lain, maka janganlah kau mencegahnya.” (Imam Abu Nu’aim al Asbahany, Hilyatul Auliya’, Juz. 3, hal. 133. Al Maktabah Asy Syamilah)
Ada pun menuduh berdosa kepada orang yang mengikuti pendapat ulama yang MENURUT KITA lemah, maka ini adalah tuduhan yang berat dan lancang. Sebab ada beberapa mawani’ (penghalang) yang membuat kita jangan sampai menuduh seperti itu:
- Bisa jadi memang dia memahami melalui ulama atau syaikh yang dia ambil ilmunya, bahwa pendapatnya adalah benar, dengan dalil-dalil yang dimilikinya yang dianggapnya shahih.
- Bisa jadi dia memilih pendapat dan sikap itu untuk menghindari fitnah di tengah kaum muslimin (dan inilah yang sering tidak mau dimengerti oleh sebagian kelompok Islam), dan inilah yang dijalankan para imam kaum salaf, seperti Imam Ahmad bin Hambal Rahimahullah sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Ibn ‘Utsaimin berikut;
فقد كان الإمام أحمدُ رحمه الله يرى أنَّ القُنُوتَ في صلاة الفجر بِدْعة، ويقول: إذا كنت خَلْفَ إمام يقنت فتابعه علىقُنُوتِهِ، وأمِّنْ على دُعائه، كُلُّ ذلك مِن أجل اتِّحاد الكلمة، واتِّفاق القلوب، وعدم كراهة بعضنا لبعض.
“Adalah Imam Ahmad Rahimahullah berpendapat bahwa qunut dalam shalat fajar (subuh) adalah bid’ah. (namun) Dia mengatakan: “Jika aku shalat di belakang imam yang berqunut, maka aku akan mengikuti qunutnya itu, dan aku aminkan doanya, semua ini lantaran demi menyatukan kalimat, melekatkan hati, dan menghilangkan kebencian antara satu dengan yang lainnya.” (Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin, Syarhul Mumti’, 4/25. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Maka, memilih sesuatu yang lebih urgen dan pandangan yang lebih jauh ke depan, dan cerdas, bukanlah sebuah dosa yang memiliki konsekuensi azab bagi pelakunya.
Wallahu A’lam
(Farid Nu’man Hasan)