Oleh: Farid Nu’man Hasan
(Yang dimaksud dimakzulkan/dicopot di sini adalah diturunkan dengan cara damai, bukan pemberontakan)
Dalam hal ini para ulama terbagi menjadi dua kelompok:
Pertama, menurut mereka hal itu tidak boleh, sebab hal itu akan menimbulkan fitnah dan kerusakan yakni tertumpahnya darah kaum muslimin yang sangat besar, di sisi lain hendaknya kita melakukan nasihat kepada pemimpin tersebut, dan nash-nash yang ada menunjukkan ketaatan kepada mereka tetap ada walau mereka zalim.
Imam An Nawawi berkata:
وقال جماهير أهل السنة من الفقهاء والمحدثين والمتكلمين لا ينعزل بالفسق والظلم وتعطيل الحقوق ولا يخلع ولا يجوز الخروج عليه بذلك بل يجب وعظه وتخويفه للأحاديث الواردة في ذلك
Mayoritas Ahlus Sunnah dari kalangan fuqaha, ahli hadits, dan ahli kalam, berpendapat bahwa pemimpin tidaklah diturunkan karena kezaliman, kefasikan, dan penolakan terhadap hak-hak. Tidak boleh dicopot dan tidak boleh memberontak tetapi hendaknya memberikan nasihat dan menakut-nakuti karena hadits-hadits yang ada menunjukkan demikian. (Al Minhaj, 12/229)
Kedua, membolehkan. Sebab, Allah Ta’ala dan RasulNya melarang mentaati mereka, oleh karenanya “ketidaktaatan” tidak bisa dijalankan kalau pemimpinnya masih menjabat.
“Dan janganlah kamu taati orang-orang yang melampuai batas (yaitu) mereka yang membuat kerusakan di bumi dan tidak mengadakan perbaikan.” (QS. Asy Syu’ara: 151-152)
“Dan janganlah kalian taati orang yang Kami lupakan hatinya untuk mengingat Kami dan ia mengikuti hawa nafsu dan perintahnya yang sangat berlebihan.” (QS. Al Kahfi: 28)
Imam Abul Hasan Al Mawardi mengatakan, bahwa umat berhak meminta pencopotan kepada pemimpin jika mereka memang hilang ke’adalahannya, yakni melakukan kefasikan (baik karena syahwat atau syubhat) dan cacat tubuhnya. (Imam Al Mawardi, Al Ahkam As Sulthaniyah, Hal. 28)
Imam An Nawawi menyebutkan dari Al Qadhi ‘Iyadh:
قال ولا تنعقد لفاسق ابتداء فلو طرأ على الخليفة فسق قال بعضهم يجب خلعه إلا أن تترتب عليه فتنة وحرب
Berkata (Al Qadhi): kepemimpinan tidaklah diberikan kepada seorang fasik yang menampakkan kefasikannya. Seandainya seorang khalifah melakukan kefasikan, berkata sebagain ulama, wajib dicopot dari jabatannya, jika pencopotan itu tidak melahirkan fitnah dan peperangan. (Al Minhaj, 12/229)
Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah menambahkan:
ونقل بن التين عن الداودي قال الذي عليه العلماء في أمراء الجور أنه إن قدر على خلعه بغير فتنة ولا ظلم وجب والا فالواجب الصبر وعن بعضهم لا يجوز عقد الولاية لفاسق ابتداء
Ibnu At Tin menukil dari Ad Dawudi, katanya: bahwa pendapat yang dipegang para ulama tentang pemimpin yang zalim, bahwasanya jika memang mampu dan tidak melahirkan fitnah dan kezaliman, maka wajib mencopot pemimpin yang zalim. Jika tidak demikian, maka wajib bersabar. Dari sebagaian mereka bahwa tidak boleh kepemimpinan diberikan kepada pelaku kefasikan yang terang-terangan. (Fathul Bari, 13/8)