Perdana Menteri Pemerintah Persatuan Nasional Libya (GNU) Abdel Hamid Dbeibeh mengadakan dua pertemuan terpisah dengan Presiden Turki dan Menteri Luar Negeri Qatar.
Dbeibeh berdiskusi dengan Menteri Luar Negeri Qatar Mohammed bin Abdulrahman Al Thani terkait upaya penyatuan sikap dunia internasional dalam mendukung pemilihan umum di Libya.
Sebuah pernyataan yang dikeluarkan oleh Government of National Unity (GNU) menyatakan bahwa kedua belah pihak membahas “rencana kerja sama Libya-Qatar dan isu-isu yang menyangkut kepentingan bersama lainnya.” Pertemuan itu juga membahas “upaya penyatuan sikap dunia internasional dalam mendukung penyelenggaraan pemilihan umum di Libya.”
Sementara itu, Dbeibeh juga bertemu dengan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dalam sebuah pertemuan tertutup yang membahas isu-isu politik, ekonomi, dan militer.
Menurut pernyataan Libya, kedua belah pihak menyepakati “program kerja antara kedua negara yang mencakup kerjasama militer dan energi, dan kembalinya perusahaan Turki ke Libya untuk menyelesaikan proyek yang ditangguhkan.”
Dia menambahkan bahwa Dbeibeh telah mengundang Presiden Erdogan “untuk menghadiri forum Turki-Libya pertama yang akan diadakan November mendatang, di hadapan perusahaan-perusahaan khusus Turki.”
Menurut pernyataan itu, Dbeibeh menekankan “pentingnya peran Turki dalam mendukung upaya internasional untuk memajukan dan mendukung rencana pemilu sebagai prioritas dunia internasional.”
Kepala pemerintah persatuan Libya itu menganggap, “Apa yang terjadi di ibu kota, Tripoli, pekan lalu, adalah upaya untuk merebut kekuasaan melalui senjata dan konspirasi, dan tidak ada alternatif bagi negara kita selain pemilihan umum.”
Erdogan sendiri menekankan selama pertemuan bahwa “perubahan hanya dapat terjadi melalui pemilihan umum.” Ia menekankan dukungannya dan kerjasama dengan Libya di semua bidang ekonomi, keamanan dan militer.
Libya sedang menghadapi krisis politik yang ditandai dengan konflik antara dua pemerintah, yang pertama dipimpin oleh Fathi Bashagha, yang ditunjuk oleh Parlemen, dan yang kedua dipimpin oleh Dbeibeh, yang menolak untuk menyerahkan kekuasaan kecuali kepada pemerintah yang ditugaskan oleh parlemen terpilih yang baru.
Untuk mengatasi krisis ini, Libya sedang berjuang untuk melakukan pemilihan umum sebagaimana inisiatif dari dunia internasional yang mengharuskan pembentukan komite bersama Dewan Perwakilan Rakyat dan Negara, untuk menyepakati dasar konstitusi yang akan membawa negara itu ke pemilihan umum.
Sejauh ini, komite belum berhasil mencapai acuan konstitusi yang utuh, setelah para anggotanya berselisih tentang beberapa hal, termasuk syarat untuk mencalonkan diri dalam pemilihan presiden.
Sumber: Arabi21.