Oleh: Aunur Rafiq Shaleh Tamhid, Lc
Bulan suci Ramadan tahun 1444 H. akan segera berakhir. Untuk menyikapi kemungkinan terjadinya perbedaan awal Syawal dan pelaksanaan Idul Fitri, diperlukan pemahaman fikih yang moderat agar –meskipun pada waktunya terjadi perbedaan pendapat—bisa disikapi dengan pemahaman yang tetap menjaga suasana kebersamaan, keharmonisan, dan dapat meminimalkan kondisi tidak nyaman (haraj) di tengah masyarakat muslim. Tulisan ini diharapkan dapat memberikan penjelasan fikih yang inklusif sehingga persaudaran tetap terjaga, meskipun ketika terjadi perbedaan pendapat fikih. Pokok-pokok pandangan itu adalah sebagai berikut:
- Awal Syawal ditetapkan berdasarkan metode rukyat dan hisab.
- Ketetapan dasar yang mengikat umat Islam menyangkut persoalan umum seperti awal Syawal dan Idul Fitri adalah keputusan pemerintah sebagai representasi ulilamri, dalam hal ini Kementerian Agama.
- Fenomena keislaman di Indonesia bisa dikategorikan khas karena ada pihak selain pemerintah yang dipandang secara kultural memiliki otoritas menetapkan persoalan umum seperti awal Syawal/Idul Fitri. Realitas ini perlu disikapi dengan bijaksana. Maka, anggota masyarakat yang berafiliasi dengan ormas tertentu dapat mengikuti keputusan ormasnya.
- Sebaiknya kita mengutamakan kebersamaan (i’tilaf) dan tidak membesar-besarkan perbedaan (ikhtilaf) furu’.
Penjelasan atas poin-poin tersebut adalah sebagai berikut:
Rukyah dan Hisab Sebagai Metode Penetapan Awal Syawal
Metode yang dipergunakan dalam menetapkan awal bulan Hijriah adalah rukyat dan hisab. Di kalangan ormas besar di Indonesia, rukyat merupakan kekhasan Nahdatul Ulama, sedangkan hisab menjadi kekhasan Muhammadiyah. Kedua metode itu sah untuk dipergunakan dalam menentukan awal bulan Hijriyah.
Rukyatul Hilal
Rukyat adalah cara menentukan awal bulan dengan mengamati penampakan bulan sabit (hilal) yang pertama kali tampak setelah terjadinya ijtimak, baik dengan mata secara langsung maupun dengan alat bantu optik seperti teleskop. Jika jarak waktu antara ijtimak dengan terbenamnya matahari terlalu pendek, secara ilmiah hilal mustahil terlihat. Rasulullah saw. bersabda,
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ
“Berpuasalah karena melihatnya (hilal Ramadan) dan berbukalah (Idul Fitri) karena melihatnya. Jika (hilal) tertutup oleh mendung, sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban tiga puluh hari.” (Al-Bukhari, 2/1810).
Ibn Hazem (tt.) mengatakan bahwa para ulama fikih telah ijmak, jika kabar mengenai terlihatnya hilal yang menandai awal Syawal sudah terlihat, mereka wajib berbuka (melaksanakan Idul Fitri). Jika hilal tidak terlihat, bilangan bulan Ramadan digenapkan menjadi tiga puluh hari.
Rukyatul hilal sebagai metode yang sah dalam menentukan awal Syawal telah menjadi ijmak ulama. Metode ini dipergunakan sejak zaman Rasulullah saw. karena berkaitan dengan kondisi umat pada masa awal Islam yang belum terbiasa dengan hisab. Diriwayatkan dari Ibn Umar, Nabi saw. bersabda,
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ، لَا نَكْتُبُ وَلَا نَحْسُبُ، الشَّهْرُ هكذا هكذا (يعني مرة تسعة وعشرين ومرة ثلاثين)
“Kita adalah umat yang umi, tidak bisa membaca dan menghitung. Bulan itu begini dan begini (maksudnya terkadang 29 hari dan terkadang 30 hari). (Al-Bukhari, 2/1814).
Hisab
Hisab merupakan penghitungan ilmu falak (astronomi) untuk memperkirakan posisi matahari dan bulan terhadap bumi. Posisi matahari menjadi patokan dalam menentukan masuknya waktu salat, sementara perkiraan posisi bulan menjadi patokan untuk mengetahui terjadinya hilal sebagai penanda masuknya periode bulan baru dalam kalender Hijriyah.
Meskipun tidak secara persis dipergunakan pada zaman Rasulullah saw., tetapi ia sah dipakai dalam menentukan awal Syawal. Pendekatan ini tidak bertentangan dengan rukyat karena dianggap sebagai penglihatan berdasarkan ilmu (rukyat ilmiah) mengenai posisi bulan terhadap bumi sebelum ia terjadi. Sandarannya adalah firman Allah Swt.:
هُوَ الَّذِيْ جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاۤءً وَّالْقَمَرَ نُوْرًا وَّقَدَّرَهٗ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوْا عَدَدَ السِّنِيْنَ وَالْحِسَابَۗ
Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya. Dialah pula yang menetapkan tempat-tempat orbitnya agar kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu).” (Yunus/10:5)
Tuntunan Mengikuti Keputusan Ulilamri
Berdasarkan Fatwa MUI Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penetapan Awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijah, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Agama menggabungkan kedua metode tersebut. Maka, yang menjadi acuan awal Syawal adalah keputusan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama, setelah mempertimbangkan dengan matang kedua metode tersebut. Berdasarkan fatwa itu pula, seluruh umat Islam di Indonesia wajib menaati ketetapan Pemerintah RI tentang penetapan awal Syawal. Allah Swt. berfirman,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ
Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nabi Muhammad) serta ululamri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. (An-Nisa’/4:59)
Menurut para ahli tafsir, ululamri berarti ulama, ahli fikih, atau penguasa (Al-Mawardi, tt.). Semua pihak yang disebut ulilamri itu terlibat dalam penetapan awal Syawal karena mekanisme yang dilakukan oleh pemerintah adalah dengan melibatkan para ulama dan ahli fikih. Oleh karena itu, ketetapan pemerintah lebih utama diikuti mengenai persoalan ini. Beberapa pandangan ulama fikih seperti Al-Sindi dan Al-Qarafi menguatkan persoalan ini.
Al-Sindi dalam Hasyiahnya menetapkan bahwa urusan ini merupakan kewenangan pemerintah, bukan persoalan individu. Dia berkata,
أَنَّ هَذِهِ الْأُمُور لَيْسَ لِلْآحَادِ فِيهَا دَخْل، وَلَيْسَ لَهُمْ التَّفَرُّد فِيهَا، بَلْ الْأَمْر فِيهَا إِلَى الْإِمَام وَالْجَمَاعَة، وَيَجِب عَلَى الْآحَاد اِتِّبَاعهمْ لِلْإِمَامِ وَالْجَمَاعَة، وَعَلَى هَذَا فَإِذَا رَأَى أَحَد الْهِلَال وَرَدَّ الْإِمَام شَهَادَته يَنْبَغِي أَنْ لَا يَثْبُت فِي حَقّه شَيْء مِنْ هَذِهِ الْأُمُور، وَيَجِب عَلَيْهِ أَنْ يَتْبَع الْجَمَاعَة فِي ذَلِكَ
“Dalam perkara semacam ini (Idul Fitri), individu tidak memiliki hak dalam menetapkannya karena otoritasnya tidak pada individu. Pemilik otoritas adalah imam dan jamaah. Individu wajib mengikuti (keputusan) imam dan jamaah. Jika seseorang melihat Hilal, tetapi kesaksiannya ditolak oleh imam, dia tidak berhak menetapkan untuk dirinya sendiri persoalan ini, sebaliknya dia wajib mengikuti jamaah.” (Al-Sindi, tt.: 3/431).
Al-Qarafi menambahkan, keputusan pemerintah menyelesaikan perbedaan pendapat sehingga ia menjadi rujukan, baik individu maupun mazhab. Dia berkata,
اعْلَمْ أَنَّ حُكْمَ الْحَاكِمِ فِي مَسَائِلِ الِاجْتِهَادِ يَرْفَعُ الْخِلَافَ، وَيَرْجِعُ الْمُخَالِفُ عَنْ مَذْهَبِهِ لِمَذْهَبِ الْحَاكِمِ، وَتَتَغَيَّرُ فُتْيَاهُ بَعْدَ الْحُكْمِ
“Ketahuilah, keputusan pemerintah dalam masalah ijtihadi menyelesaikan perselisihan. Orang yang berbeda pandangan hendaknya rujuk dari mazhabnya untuk mengikuti pendapat hakim dan dia sudah mengeluarkan fatwa hendaknya merubah fatwanya itu setelah keluar keputusan hakim.” (Al-Qarafi, tt.: 3/34)
Seputar Pemegang Otoritas Selain Pemerintah
Secara fikih, perbedaan pendapat fikih terjadi dalam dua ranah. Pertama, ranah pribadi seperti perbedaan mengenai tata cara ibadah. Kedua, ranah masyarakat seperti mengenai awal Ramadan atau Syawal. Mengenai persoalan pertama, pemerintah tidak boleh intervensi, sedangkan pada persoalan kedua justru intervensi pemerintah menyelesaikan masalah, seperti yang sudah dibahas di atas.
Persoalannya, di negeri kita ada organisasi masa yang secara kultural dipandang memegang otoritas selain pemerintah. Itu yang sering membuat terjadinya dualisme pelaksanaan Idul Fitri. Idealnya kedepan, persoalan ini diselesaikan oleh para tokoh umat di negeri ini. Meskipun begitu, realitasnya dualisme otoritas itu terjadi dan menjadi kekhasan umat Islam di Indonesia. Hal ini bisa disebut sebagai kearifan lokal yang niscaya disikapi dengan bijaksana. Secara umum, ia bisa dipahami dari perspektif ahlu dzikri (ulama) yang harus dijadikan rujukan. Allah Swt. berfirman,
فَسْـَٔلُوْٓا اَهْلَ الذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ
Maka, bertanyalah kepada orang yang berilmu jika kamu tidak mengetahui. (Al-Anbiya’/21:7)
Dalam kondisi ini, anggota masyarakat yang berafiliasi dengan ormas tersebut dapat mengikuti pilihan fikihnya sendiri ketika ia memutuskan hari yang berbeda dengan pemerintah mengenai awal Syawal dan Idul Fitri. Keleluasaan untuk memilih keragaman ini terjadi selama persoalan itu merupakan perbedaan pendapat di bidang furu’. Diriwayatkan dari Abu Hurairah, Nabi saw. bersabda,
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ، وَالفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ، وَالأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ
”Puasa adalah pada hari ketika mereka (masyarakat) berpuasa, hari raya (Idul Fitri) pada hari ketika mereka berbuka (Idul Fitri), dan hari raya Idul Adha (berkurban) pada hari ketika mereka berkurban.” (At-Tirmidzi, 3/697).
Menurut At-Tirmidzi, maksud hadis tersebut adalah berpuasa dan melaksanakan hari raya Idul Fitri dilakukan bersama dengan masyarakat dan mayoritas umat Islam.
Mengutamakan Kebersamaan dalam Beragama
Pandangan di atas didasarkan atas pilihan fikih yang mengutamakan toleransi (tasamuh), kebersamaan (i’tilaf) –namun bukan mencari-cari kenyamanan semata (tatabbu’ al-rukhash wa al-hiyal), dan tidak cenderung memperbesar perbedaan pendapat (ikhtilaf). Maka, menyikapi potensi perbedaan awal Syawal atau Idul Fitri pada tahun ini, sebaiknya umat Islam mengedepankan semangat toleransi. Seseorang disebut toleran di bidang fikih jika memberikan ruang bagi pendapat yang berbeda untuk dilaksanakan sebesar ruang yang diinginkan untuk melaksanakan pendapat yang dianutnya.
Sayyid Muhammad Rasyid Rida (1358) telah menyebutkan satu diktum yang terkenal dengan sebutan kaidah emas (al-qa’idah al-dzahabiyah), yaitu: kita saling membantu dalam persoalan yang disepakati dan saling memberikan toleransi ketika berbeda pendapat. Semangat ini bisa merawat kebersamaan dalam keragaman. Semoga Allah Swt. menganugerahkan semangat untuk terus merawat ukhuwah di tengah umat Islam di negeri ini. Taqabbalallahu minna wa minkum wa kullu ’am wa antum bikhair.[]
Referensi:
Al-Mawardi, Ali bin Muhammad. (tt.). Tafsir Al-Mawardi – Al-Nukat wa Al-Uyun. Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah
Al-Qarafi, Ahmad bin Idris. (tt.). Anwar Al-Buruq fi Anwa’i Al-Furuq. Bairut: Alam Al-Kutub
Al-Sindi, Muhammad bin Abdul Hadi. (tt.). Hasyiah Al-Sindi ala Sunani Ibn Majah (Kifayah Al-Hajah fi Syarhi Sunani Ibn Majah. Bairut: Dar al-Jail
Al-Thabari, Muhammad bin Jarir. (2001). Tafsir Al-Thabari – Jami’ Al-Bayan an Ta’wil Ayi Al-Qur’an. Dar Hajar li al-Thiba’ah wa al-Tauzi’ wa al-I’lan
Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penetapan Awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah
Ibn Hazem, Ali bin Ahmad. (tt.). Maratib Al-Ijma’ fi Al-Ibadati wa Al-Muamalati wa Al-I’tiqadat. Bairut: Dar Al-Kutub al-Ilmiyah
Rida, Muhammad Sayid Rasyid. (1358). Intiqadu Al-Manar Haula Fatwa Ayat al-Sifat wa Ahaditsuha, Majalah Al-Manar, vol. 35, th. 1358 H