Islam adalah ajaran yang syamil mutakamil, menyeluruh dan sempurna. Tidak tersisa satu kebaikan pun, sedikit maupun banyak, melainkan telah diperintahkan dan dianjurkan dalam syariat. Dan tidak ada satu pun keburukan, sedikit maupun banyak, melaikan telah diperingatkan dan dilarang di dalamnya.
Diantara hal yang diatur oleh ajaran Islam adalah mengenai adab buang hajat. Sampai-sampai seorang musyrik pernah berkata kepada Salman Al-Farisi,
قَدْ عَلَّمَكُمْ نَبِيُّكُمْ )صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ( كُلَّ شَيْءٍ حَتَّى الْخِرَاءةَ فَقَالَ سَلْمَانُ أَجَلْ نَهَانَا أَنْ نَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ بِغَائِطٍ أَوْ بَوْلٍ .. الحديث ، )رواه الترمذي رقم 16 وقال حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ –(وَهُوَ في صحيح مسلم وغيره
“Nabi kalian benar-benar telah mengajarkan segala sesuatu hingga masalah adab buang hajat.” Salman pun berkata: “Benar, beliau telah melarang kami menghadap kiblat ketika buang air besar atau kecil.” (HR. Tirmidzi no: 16, ia berkata: Hadits ini hasan shahih, dan hadits ini ada juga dalam Shahih Muslim dan selainnya).
Marilah kita fahami, apa saja yang harus kita perhatikan ketika buang hajat. Pembahasan ringkasnya sebagai berikut.
Pertama, tidak membawa apapun yang ada nama Allah, kecuali jika takut hilang. Hal ini dilakukan dalam rangka mengagungkan Allah Ta’ala.
“Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS. Al Hajj: 32)
Ada sebuah riwayat dari Anas bin Malik, beliau mengatakan,
كَانَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا دَخَلَ الْخَلاَءَ وَضَعَ خَاتَمَهُ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa ketika memasuki kamar mandi, beliau meletakkan cincinnya.” (HR. Abu Daud no. 19 dan Ibnu Majah no. 303. Abu Daud mengatakan bahwa hadits ini munkar. Syaikh Al Abani juga mengatakan bahwa hadits ini munkar).
Kedua, membaca basmalah, isti’adzah, ketika masuk. Dan tidak berbicara ketika ada di dalamnya. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan do’a ketika akan masuk WC,
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُبِكَ مِنَ الْخُبُثِ وَ الْخَبَائِثِ (بِسْمِ اللهِ)
“(Dengan menyebut nama Allah) Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kejelekan setan laki-laki dan setan perempuan.” (HR. Al-Bukhari no. 142 dan Muslim no. 375. Adapun tambahan basmalah di awal hadits, diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani)
Mengenai larangan berbicara, dalilnya adalah hadits dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,
أَنَّ رَجُلاً مَرَّ وَرَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَبُولُ فَسَلَّمَ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِ.
“Ada seseorang yang melewati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau sedang kencing. Ketika itu, orang tersebut mengucapkan salam, namun beliau tidak membalasnya.” (HR. Muslim no. 370)
Ketiga, tidak menghadap kiblat atau membelakanginya. Berdasarkan hadits dari Abu Ayyub Al Anshori, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« إِذَا أَتَيْتُمُ الْغَائِطَ فَلاَ تَسْتَقْبِلُوا الْقِبْلَةَ وَلاَ تَسْتَدْبِرُوهَا ، وَلَكِنْ شَرِّقُوا أَوْ غَرِّبُوا » . قَالَ أَبُو أَيُّوبَ فَقَدِمْنَا الشَّأْمَ فَوَجَدْنَا مَرَاحِيضَ بُنِيَتْ قِبَلَ الْقِبْلَةِ ، فَنَنْحَرِفُ وَنَسْتَغْفِرُ اللَّهَ تَعَالَى
“Jika kalian mendatangi jamban, maka janganlah kalian menghadap kiblat dan membelakangi-nya. Akan tetapi, hadaplah ke arah timur atau barat.”
Abu Ayyub mengatakan, “Dulu kami pernah tinggal di Syam. Kami mendapati jamban kami dibangun menghadap ke arah kiblat. Kami pun mengubah arah tempat tersebut dan kami memohon ampun pada Allah Ta’ala.” (HR. Bukhari no. 394 dan Muslim no. 264).
Yang dimaksud dengan “hadaplah arah barat dan timur” adalah ketika kondisinya di Madinah. Namun kalau kita berada di Indonesia, maka berdasarkan hadits ini kita dilarang buang hajat dengan menghadap arah barat dan timur, dan diperintahkan menghadap ke utara atau selatan.
Keempat, jika sedang berada di perjalanan, maka tidak boleh melakukannya di jalan, atau di bawah teduhan. Dalilnya adalah hadits dari Abu Hurairah, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« اتَّقُوا اللَّعَّانَيْنِ ». قَالُوا وَمَا اللَّعَّانَانِ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « الَّذِى يَتَخَلَّى فِى طَرِيقِ النَّاسِ أَوْ فِى ظِلِّهِمْ ».
“Hati-hatilah dengan al la’anain (orang yang dilaknat oleh manusia)!” Para sahabat bertanya, “Siapa itu al la’anain (orang yang dilaknat oleh manusia), wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Mereka adalah orang yang buang hajat di jalan dan tempat bernaungnya manusia.” (HR. Muslim no. 269).
Keenam, tidak kencing berdiri, kecuali jika aman dari percikan. Hal ini berdasarkan hadits A’isyah-radiallahu anha-, dia berkata:
مَنْ حَدَّثَكُمْ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- بَالَ قَائِمًا فَلاَ تُصَدِّقُوْهُ, مَا كَانَ يَبُوْلُ إِلاَّ جَالِسًا
“Barangsiapa yang menceritakanmu bahwa Rasulullah-shallallahu alaihi wasallam- kencing berdiri maka janganlah engkau mempercayainya, tidaklah Rasulullah kencing melainkan dengan cara duduk” (An-Nasa’i no.29 dishahihkan oleh al-Albany, at-Tirmidzy no.12, Ibnu Majah no.307)
Namun sebenarnya dibolehkan bagi seseorang untuk kencing sambil berdiri apalagi jika diperlukan, hal ini berdasarkan hadits Hudzifah-radiallahu anhu-, dia berkata,
…فَأَتىَ سُبَاطَةَ قَوْمٍ خَلْفَ حَائِطٍ , فَقَامَ كَمَا يَقُوْمُ أَحَدُكُمْ فَبَالَ…
“…Maka Rasulullah pun mendatangi tempat pembuangann sampah suatu kaum di belakang tembok, lalu beliau berdiri sebagai mana salah seorang dari kalian berdiri lalu beliau buang air kecil…” (Al-Bukhari No.225, Muslim No.273, Ahmad No.22730, at-Tirmidzy No.13, an-Nasa’i No.18, Abu Dawud No.23, Ibnu Majah No.305, ad-Darimy No.668.)
Ketujuh, wajib membersihkan najis yang ada di organ pembuangan dengan air, atau dengan benda keras lainnya (asal bukan benda yang dihormati), tidak dengan tangan kanan. Membersihkan tangannya dengan air dan sabun jika ada.
Dalil yang menunjukkan istinja’ dengan air adalah hadits dari Anas bin Malik, beliau mengatakan,
كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا خَرَجَ لِحَاجَتِهِ أَجِىءُ أَنَا وَغُلاَمٌ مَعَنَا إِدَاوَةٌ مِنْ مَاءٍ . يَعْنِى يَسْتَنْجِى بِهِ
“Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar untuk buang hajat, aku dan anak sebaya denganku datang membawa seember air, lalu beliau beristinja’ dengannya.” (HR. Bukhari no. 150 dan Muslim no. 271)
Dalil yang menunjukkan istinja’ dengan minimal tiga batu adalah hadits Jabir bin ‘Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا اسْتَجْمَرَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَجْمِرْ ثَلاَثاً
“Jika salah seorang di antara kalian ingin beristijmar (istinja’ dengan batu), maka gunakanlah tiga batu.” ( HR. Ahmad (3/400). Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini kuat).
Tidak beristinja’ dan menyentuh kemaluan dengan tangan kanan dalilnya adalah hadits Abu Qotadah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
إِذَا شَرِبَ أَحَدُكُمْ فَلاَ يَتَنَفَّسْ فِى الإِنَاءِ ، وَإِذَا أَتَى الْخَلاَءَ فَلاَ يَمَسَّ ذَكَرَهُ بِيَمِينِهِ ، وَلاَ يَتَمَسَّحْ بِيَمِينِهِ
“Jika salah seorang di antara kalian minum, janganlah ia bernafas di dalam bejana. Jika ia buang hajat, janganlah ia memegang kemaluan dengan tangan kanannya. Janganlah pula ia beristinja’ dengan tangan kanannya.” (HR. Bukhari No. 153 dan Muslim No. 267)
Kedelapan, mendahulukan kaki kiri ketika masuk WC dengan membaca,
اللهمّ إني أعوذ بك من الخبث والخبائث وأعوذ بك ربي أن يحضرون
dan keluar dengan kaki kanan sambil membaca: غفرانك
Wallahu A’lam…