Tema ini sering kami angkat bahkan sangat sering, baik lisan dan tulisan. Karena kata Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya, “Laa yazaal al khulfu bainan naas fi adyaanihim …” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/361), artinya manusia senantiasa berselisih pada urusan agama mereka.
Oleh karena itu kami tidak bosan dan tidak boleh lelah mengingatkan manusia tentang hal ini. Banyak manusia semangat dalam mempelajari fiqih atau menanyakan fiqih, tapi lupa adab-adab dalam berfiqih. Fiqihnya ulama salaf itu penting, tapi mempelajari bagaimana adab mereka lebih penting lagi.
Maka, kita dapati para salaf lebih mendahulukan belajar adab dibanding fiqih. Sikap kaku, keras, galak, bengis, dan memonopoli kebenaran, adalah potensi yang mungkin terjadi jika hanya belajar fiqih—apalagi jika hanya dari satu model pemikiran tanpa open mind terhadap yang lain—tanpa mempelajari adab dan penerapan fiqihnya di masyarakat.
Kadang sikap memaksakan kehendak juga dilakukan oleh oknum ustadz, sehingga muridnya pun mengikutinya. Hampir-hampir dia terjatuh pada sikap Iblis, “Ana khairu minhu – Aku lebih baik darinya.”. Akhirnya, yang terjadi adalah fitnah dan keributan, bahkan khawatir sampai taraf “lakum diinukum waliyadin” terhadap saudaranya yang berbeda pendapat dengannya.
Sebagian orang ada yang standar ukhuwah Islamiyahnya dilihat dari kesamaan fiqih, sikap al wala’ wal bara’ dilihat dari kesamaan fiqih, menyikapi manhaj dilihat dari kesamaan fiqih. Jika sama fiqihnya maka menjadi saudara, boleh menjadi ber-tawalli (dijadikan loyalitas), dan semanhaj; jelas ini salah faham dan salah penerapan.
Berikut ini, akan kami tampilkan bagaimana mulianya para salafush shalih, terhadap orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka. Semoga kita semua bisa mengambil pelajaran.
Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah menceritakan:
فروى أبو داود ( 1 / 307 ) أن عثمان رضي الله عنه صلى بمنى أربعا ، فقال عبد الله بن مسعود منكرا عليه : صليت مع النبي صلى الله عليه وسلم ركعتين ، و مع أبي بكر ركعتين ، و مع عمر ركعتين ، و مع عثمان صدرا من إمارته ثم أتمها ، ثم تفرقت بكم الطرق فلوددت أن لي من أربع ركعات ركعتين متقبلتين ، ثم إن ابن مسعود صلى أربعا ! فقيل له : عبت على عثمان ثم صليت أربعا ؟ ! قال : الخلاف شر . و سنده صحيح . و روى أحمد ( 5 / 155 ) نحو هذا عن أبي ذر رضي الله عنهم أجمعين
Diriwayatkan oleh Imam Abu Daud (1/307), bahwasanya Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu ‘anhu shalat di Mina empat rakaat. Maka sahabat nabi, yaitu Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu mengingkarinya seraya berkata: “Aku dulu shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr, ‘Umar dan di awal pemerintahan ‘Utsman sebanyak dua rakaat, dan setelah itu ‘Utsman shalat empat rakaat. Kemudian terjadilah perbedaan diantara kalian, dan harapanku dari empat rakaat shalat itu yang diterima adalah yang dua rakaat darinya.” Namun ketika di Mina, Abdullah bin Mas’ud justru juga shalat empat rakaat. Maka tanyakanlah kepada beliau: “Engkau dulu telah mengingkari ‘Utsman atas shalatnya yang empat rakaat, kemudian engkau shalat empat rakaat pula?” Abdullah bin Mas’ud menjawab: “Perselisihan itu jelek.” (Sanadnya shahih. Diriwayatkan pula oleh Al Imam Ahmad [5/155] seperti riwayat di atas dari shahabat Abu Dzar radhiallahu ‘anhum Ajma’in).[1]
Imam Al Qasim bin Muhammad rahimahullah
Beliau adalah salah satu tujuh fuqaha Madinah di zaman tabi’in, dan merupakan cucu dari Abu Bakar Ash Shiddiq radhiallahu ‘anhu.
Beliau ditanya oleh seseorang:
سألت القاسم بن محمد عن القراءة خلف الإمام فيما لم يجهر فيه, فقال: إن قرأت فلك في رجال من أصحاب رسول الله -صلى الله عليه وسلم- أسوة، وإذا لم تقرأ فلك في رجال من أصحاب رسول الله -صلى الله عليه وسلم- أسوة.
“Aku bertanya kepada Al Qasim bin Muhammad tentang membaca (Al Fatihah) dibelakang imam yang dia tidak mengeraskan bacaannya. Beliau menjawab: ‘Jika kamu membaca maka kamu memiliki contoh dari para sahabat nabi, dan jika kamu tidak membaca maka kamu juga memiliki contoh dari para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.’”[2]
Imam Sufyan Ats Tsauri rahimahullah
إذا رأيت الرجل يعمل العمل الذي قد اختلف فيه وأنت ترى غيره فلا تنهه.
“Jika engkau melihat seorang melakukan perbuatan yang masih diperselisihkan, padahal engkau punya pendapat lain, maka janganlah kau mencegahnya.” [3]
Tentang merutinkan qunut shubuh, Imam At Tirmidzi berkata:
قَالَ سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ إِنْ قَنَتَ فِي الْفَجْرِ فَحَسَنٌ وَإِنْ لَمْ يَقْنُتْ فَحَسَنٌ
“Berkata Sufyan Ats Tsauri: ‘Jika berqunut pada shalat shubuh, maka itu bagus, dan jika tidak berqunut itu juga bagus.’” [4]
Imam Yahya bin Sa’id Al Qaththan rahimahullah
Beliau berkata:
ما برح أولو الفتوى يفتون فيحل هذا ويحرم هذا فلا يرى المحرم أن المحل هلك لتحليله ولا يرى المحل أن المحرم هلك لتحريمه.
“Para ahli fatwa sering berbeda fatwanya, yang satu menghalalkan yang ini dan yang lain mengharamkannya. Tapi, mufti yang mengharamkan tidaklah menganggap yang menghalalkan itu binasa karena penghalalannya itu. Mufti yang menghalalkan pun tidak menganggap yang mengharamkan telah binasa karena fatwa pengharamannya itu.”[5]
Imam Asy Syafi’i rahimahullah
Imam Asy Syafi’i (juga Imam Malik) berpendapat sunnahnya qunut shubuh. Berbeda dengan Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hambal yang memandang tidak ada qunut shubuh.
Diceritakan dalam Al Mausu’ah sebagai berikut:
الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ تَرَكَ الْقُنُوتَ فِي الصُّبْحِ لَمَّا صَلَّى مَعَ جَمَاعَةٍ مِنَ الْحَنَفِيَّةِ فِي مَسْجِدِهِمْ بِضَوَاحِي بَغْدَادَ . فَقَال الْحَنَفِيَّةُ : فَعَل ذَلِكَ أَدَبًا مَعَ الإْمَامِ ، وَقَال الشَّافِعِيَّةُ بَل تَغَيَّرَ اجْتِهَادُهُ فِي ذَلِكَ الْوَقْتِ .
“Asy Syafi’i radhiallahu ‘anhu meninggalkan qunut dalam subuh ketika beliau shalat berjamaah bersama kalangan Hanafiyah (pengikut Abu Hanifah) di Masjid mereka, pinggiran kota Baghdad. Berkata Hanafiyah: ‘Itu merupakan adab bersama imam.’ Berkata Asy Syafi’iyyah (pengikut Asy Syafi’i): ‘Bahkan beliau telah merubah ijtihadnya pada waktu itu.’”[6]
Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah
Beliau mengomentari orang yang shalat dua rakaat setelah Ashar:
لا نفعله ولا نعيب فاعله
“Kami tidak melakukannya tapi kami tidak juga menilai aib orang yang melakukannya.” [7]
Tentang qunut shubuh, diceritakan sebagai berikut:
فقد كان الإمام أحمدُ رحمه الله يرى أنَّ القُنُوتَ في صلاة الفجر بِدْعة، ويقول: إذا كنت خَلْفَ إمام يقنت فتابعه على قُنُوتِهِ، وأمِّنْ على دُعائه، كُلُّ ذلك مِن أجل اتِّحاد الكلمة، واتِّفاق القلوب، وعدم كراهة بعضنا لبعض.
“Imam Ahmad rahimahullah berpendapat bahwa qunut dalam shalat fajar (subuh) adalah bid’ah. Dia mengatakan: ‘Jika aku shalat di belakang imam yang berqunut, maka aku akan mengikuti qunutnya itu, dan aku aminkan doanya, semua ini lantaran demi menyatukan kalimat, melekatkan hati, dan menghilangkan kebencian antara satu dengan yang lainnya.’” [8]
Sebenarnya masih banyak lagi. Tapi, contoh-contoh di atas sudah cukup mewakili betapa luas, luwes, dan lapang dada para imam generasi awal terhadap perbedaan pendapat di antara mereka.
Mampukah kita meneladaninya? Wallahu A’lam.
(Farid Nu’man Hasan)
Catatan Kaki:
[1] As Silsilah Ash Shahihah, 1/389
[2] Imam Ibnu Abdil Bar, Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlih, 2/161
[3] Imam Abu Nu’aim Al Asbahany, Hilaytul Auliya, 3/133
[4] Lihat Sunan At Tirmidzi, keterangan hadits No. 401
[5] Imam Ibnu Abdil Bar, Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlih, 2/161
[6] Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 2/302. Wizarah Al Awqaf Asy Syu’un Al Islamiyah
[7] Al Mughni, 2/87, Syarhul Kabir, 1/802
[8] Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin, Syarhul Mumti’, 4/25. Mawqi’ Ruh Al Islam