(Perbedaan Pendapat dan Adab-adabnya)
Makna Ikhtilaf
Secara etimologis, ikhtilaf berarti: عَدَمُ التَّسَاوِي وعَدَمُ الاِتِّفَاقِ tidak sama, tidak sepakat.[1] Sedangkan dalam istilah para ulama, ikhtilaf atau khilaf memiliki dua pengertian.
Pengertian ikhtilaf atau khilaf yang pertama adalah,
المُنَازَعَةُ والفُرْقَةُ والجَدَلُ والشِّقَاقُ المُورِثُ لِلْخُصُومَةِ والبَغْضَاءِ
“Perlawanan, perpecahan, perdebatan dan benturan yang menimbulkan permusuhan dan kebencian.”
Dalam makna seperti ini Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,
الخِلافُ شَرٌّ
“Khilaf itu buruk.”
Pengertian ikhtilaf atau khilaf yang kedua adalah,
التَّغَايُرُ فِي الرَّاْيِ وَوِجْهَاتِ النَّظَرِ نَتِيْجَةَ تَفَاوُتِ العُقُول والمَدَارِكِ.
“Perbedaan pendapat dan sudut pandang yang disebabkan oleh perbedaan tingkat kecerdasan dan informasi.”[2]
Jenis-jenis Ikhtilaf
Ada dua jenis perbedaan pendapat, yang boleh dan yang tidak boleh (الْجَوَازُ وَالْمَنْعُ). Ikhtilaf yang boleh adalah ikhtilaf dalam perkara furu’ (الاختلافُ فِي الفُرُوعِ). Yang dimaksud dengan perkara furu’ adalah: الظَّنِّيَّةُ الخَفِيَّةُ المُخْتَلَفُ فِيْهَا (hal-hal yang zhanni—mengandung dugaan, multi interpretatif—tersembunyi, dan diperselisihkan oleh para ulama.[3]
Sedangkan ikhtilaf yang tidak boleh adalah ikhtilaf dalam perkara ushul (الاخْتِلافُ فِي الأُصُولِ). Yang dimaksud dengan perkara ushul adalah: القَطْعِيَّةُ الجَلِيَّةُ المُجْمَعُ عَلَيهَا (hal-hal yang qath’i, jelas, dan disepakati oleh para ulama).
Yang menjadi acuan penentu ushul dan furu’ adalah Ilmu Ushul Fiqih dan kaidah bahasa Arab.
Sebab-sebab Ikhtilaf dalam Perkara Furu’
Terjadinya ikhtilaf dalam perkara furu’ adalah sebuah keniscayaan karena faktor-faktor berikut,
Pertama, perbedaan kemampuan akal para ulama dalam menyimpulkan ayat atau hadits yang multi interpretatif ( اخْتِلاَفُ العُقُولِ فِي قُوَّةِ الاسْتِنْبَاطِ أَوْ ضَعْفِهِ).
Kedua, perbedaan informasi dan ilmu yang dimiliki para ulama ( سَعَةُ العِلْمِ وَضِيْقُهُ). Maka sangat mungkin ada suatu hadits atau ilmu tertentu yang sampai kepada beberapa ulama tertentu dan belum sampai kepada ulama yang lain. Sehingga Imam Malik berkata kepada Abu Ja’far: “Sesungguhnya para sahabat Rasulullah telah mendatangi berbagai kota, dan setiap kaum itu memiliki ilmu tertentu. Maka jika seseorang ingin menggiring mereka kepada satu pendapat, niscaya upaya ituhanya akan menimbulkan kekacauan.”
Ketiga, perbedaan lingkungan, situasi dan kondisi (اخْتِلاَفُ البِيئَاتِ ). Itulah sebabnya Imam Syafi’i memberikan fatwa lama (qaul qadim) di Irak, kemudian memunculkan fatwa baru (qaul jadid) ketika beliau berada di Mesir.
Keempat, perbedaan ketentraman hati dalam menilai suatu riwayat hadits (اخْتِلاَفُ الاِطْمِئْنَانِ القَلْبِي إِلَى الرِّوَايَةِ ). Maka terkadang kita melihat perawi tertentu dianggap tsiqah oleh Imam Fulan sementara tidak demikian menurut Imam yang lain, karena informasi tertentu yang mungkin tidak diketahui oleh yang pertama.
Kelima, perbedaan dalam menempatkan dalil yang harus didahulukan dari yang lain (اخْتِلاَفُ تَقْدِيْرِ الدَّلاَلاَتِ. ). Maka mungkin ada ulama yang mendahulukan perbuatan sahabat atas khabar ahad, sementara yang lain tidak melihatnya demikian.[4]
Point-point di atas akan lebih jelas jika kita cermati contoh-contoh perbedaan pendapat di kalangan para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini.
Ikhtilaf di Kalangan Sahabat
Berikut ini contoh perbedaan pendapat yang terjadi di antara mereka:
Pertama, ikhtilaf dalam masalah pelaksanaan perintah shalat Ashar di benteng Bani Quraidhah sebagaimana tergambar dalam hadits dari Ibnu Umar berikut ini,
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَنَا لَمَّا رَجَعَ مِنْ الْأَحْزَابِ لَا يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ الْعَصْرَ إِلَّا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ فَأَدْرَكَ بَعْضَهُمْ الْعَصْرُ فِي الطَّرِيقِ فَقَالَ بَعْضُهُمْ لَا نُصَلِّي حَتَّى نَأْتِيَهَا وَقَالَ بَعْضُهُمْ بَلْ نُصَلِّي لَمْ يُرَدْ مِنَّا ذَلِكَ فَذُكِرَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يُعَنِّفْ وَاحِدًا مِنْهُمْ
“Nabi shallallahu ‘alaihi w sallam berpesan kepada kami ketika kami pulang dari perang Ahzab, ‘Janganlah sekali-kali kalian shalat Ashar kecuali ketika sudah sampai di kampung Bani Quraidhah,’ kemudian sebagian di antara mereka mengetahui bahwa sudah masuk waktu Ashar saat di perjalanan, sebagian yang lain berkata, ‘Kami tidak akan shalat Ashar sebelum sampai di kampung Bani Quraidhah’ sementara sebagian yang lain berkata, ‘Kami akan shalat di perjalanan dan tidak akan mengulangi’. Kemudian kami ceritakan peristiwa tersebut kepada nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan nabi tidak mencela salah satu di antara kami.” (Sahih Bukhari juz 3 hlm. 499)
Kedua, ikhtilaf tentang musafir yang shalat dengan tayammum kemudian menemukan air, sebagaimana disebutkan hadits berikut ini,
خَرَجَ رَجُلَانِ فِي سَفَرٍ، فَحَضَرَتِ الصَّلَاةُ وَلَيْسَ مَعَهُمَا مَاءٌ، فَتَيَمَّمَا صَعِيدًا طَيِّبًا فَصَلَّيَا، ثُمَّ وَجَدَا الْمَاءَ فِي الْوَقْتِ، فَأَعَادَ أَحَدُهُمَا الصَّلَاةَ وَالْوُضُوءَ وَلَمْ يُعِدِ الْآخَرُ، ثُمَّ أَتَيَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَا ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ لِلَّذِي لَمْ يُعِدْ: أَصَبْتَ السُّنَّةَ، وَأَجْزَأَتْكَ صَلَاتُكَ. وَقَالَ لِلَّذِي تَوَضَّأَ وَأَعَادَ: لَكَ الْأَجْرُ مَرَّتَيْنِ
“Ada dua orang lelaki yang bersafar. Kemudian tibalah waktu shalat, sementara tidak ada air di sekitar mereka. Kemudian keduanya bertayammum dengan permukaan tanah yang suci, lalu keduanya shalat. Setelah itu keduanya menemukan air, sementara waktu shalat masih ada. Lalu salah satu dari keduanya berwudhu dan mengulangi shalatnya, sedangkan satunya tidak mengulangi shalatnya. Keduanya lalu menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan yang mereka alami. Maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepada orang yang tidak mengulangi shalatnya, “Apa yang kamu lakukan telah sesuai dengan sunnah dan shalatmu sah”. Kemudian Beliau mengatakan kepada yang mengulangi shalatnya, “Untukmu dua pahala” (Sunan Abu Dawud, no.338, Sunan Ad-Daromi, no.771, Sunan Baihaqi, no.1094, Mustadrok Hakim, no.632, Sunan Ad-Daruquthni, no.727 dan Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah, no.10800)
Ketiga, ikhtilaf apakah melakukan raml (lari-lari kecil) ketika thawaf itu qurbah (ibadah) ataukah ibahah (kebolehan). Jumhur (mayoritas ulama) berpendapat raml ketika thawaf adalah sunnah. Tapi Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berpendapat bahwa raml dilakukan untuk menanggapi perkataan orang musyrikin yang mengatakan bahwa kaum muslimin tubuhnya lemah karena terhinggapi penyakit panas Yatsrib (Madinah).
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَدِمَ رَسُوْلُ اللهِ وَأَصْحَابُهُ مَكَّةَ وَقَدْ وَهَنَتْهُمْ حُمَى يَثْرِبَ، قَالَ الْمُشْرِكُوْنَ: إِنَّهُ يَقْدَمُ عَلَيْكُمْ غَدًا قَوْمٌ قَدْ وَهَنَتْهُمُ الْحُمَى، وَلَقُوْا مِنْهَا شِدَّةً. فَجَلَسُوْا مِمَّا يَلِيْ الْحِجْرَ، وَأَمَرَهُمُ النَّبِيُّ أَنْ يَرْمُلُوْا ثَلاَثَةَ أَشْوَاطٍ وَيَمْشُوْا مَا بَيْنَ الرُّكْنَيْنِ لِيَرَى الْمُشْرِكُوْنَ جَلَدَهُمْ، فَقَالَ الْمُشْرِكُوْنَ: هَؤُلاَءِ الَّذِيْنَ زَعَمْتُمْ أَنَّ الْحُمَى قَدْ وَهَنَتْهُمْ، هَؤُلاَءِ أَجْلَدَ مِنْ كَذَا وَكَذَا. قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: وَلَمْ يَمْنَعْهُ أَنْ يَأْمُرَهُمْ أَنْ يَرْمَلُوْا اْلأَشْوَاطَ كُلَّهَا إِلاَّ اْلإِبْقَاءَ عَلَيْهِمْ.
Dari Ibnu Abbas ra ia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya mendatangi kota Makah (untuk menunaikan Umrah) dan penyakit demam Madinah telah melemahkan mereka. Musyrikin Makah berkata: ‘ Besok akan datang kepada kalian satu kaum yang telah dilemahkan oleh demam dan mereka banyak menemukan kesulitan (di Madinah).’ Mereka (musyrikin Makah) duduk di sekitar Hijir Isma’il, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para sahabat untuk raml (berlari-lari kecil) pada tiga putaran pertama dan berjalan biasa pada empat putaran terakhir agar musyrikin Makah dapat melihat ketangguhan mereka. Musyrikin Makah berkata: ‘Mereka itu orang-orang yang kalian sangka telah dilemahkan oleh demam Madinah, ternyata mereka lebih tangguh. ‘ Ibnu Abbas ra berkata: ‘ Tidak ada yang menghalangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memerintah mereka agar berlari-lari kecil di seluruh tiga putaran melainkan rasa kasihan atas mereka.’” (Muslim, No: 3048)
Keempat, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu pernah berpendapat bahwa orang yang junub pada pagi hari di bulan Ramadhan tidak wajib berpuasa. Pendapat itu kemudian diralatnya setelah Aisyah radhiyallahu ‘anha memberitahukan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan hal yang sebaliknya.
Kelima, Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu berpendapat bahwa tayamum itu tidak mencukupi bagi orang junub yang tidak menemukan air. Disampaikan oleh Ammar radhiyallahu ‘anhu kepada beliau hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyatakan bahwa tayamum sudah mencukupi. Tapi Umar tidak menerima hadits itu sebagai hujjah sampai hadits itu menjadi masyhur dari beberapa jalur sanad, lalu orang pun banyak menggunakannya.
Keenam, Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu pernah berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengerjakan ibadah umrah pada bulan Rajab. Aisyah radhiyallahu ‘anha mendengar itu, lalu mengatakan bahwa Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu lupa.
Ketujuh, Rasulullah memberi dispensasi kawin mut’ah pada Perang Khaibar, kemudian melarangnya, dan memperbolehkannya lagi pada Perang Authas, kemudian melarangnya lagi. Ibnu Abbas berkata: “Dispensasi itu karena adanya darurat, dan larangan itu karena hilangnya darurat. Sedangkan jumhur berpendapat bahwa dispensasi itu adalah sebagai kebolehan dan larangan itu sebagai penghapusan.[5]
Prinsip-prinsip dalam Ikhtilaf
Pertama, ikhtilaf dalam masalah furu’ pasti terjadi (الخِلاَفُ فِي الفُرُوعِ ضَرُوْرِيٌّ).
Kemestian itu terjadi karena tabiat agama Islam sendiri memang memberi peluang terjadinya perbedaan pendapat. Dalam kitab al-Arbain, Imam An-Nawawi meriwayatkan hadits dari Daruquthni, “Sesungguhnya Allah SWT telah membuat ketentuan-ketentuan, janganlah kamu melanggarnya; telah mewajibkan sejumlah kebaikan, janganlah kamu abaikan; telah mengharamkan banyak hal, janganlah kamu melanggarnya; telah mendiamkan banyak masalah sebagai rahmat bagimu, bukan karena lupa, janganlah kamu mencarinya.”
Meminjam istilah Syaikh Al-Qaradhawi, ada ‘kawasan kosong syariat’ yang sengaja Allah Ta’ala sediakan.
Kedua, ikhtilaf dalam masalah furu’ tidak memecah belah (الخِلاَفُ فِي الفُرُوعِ لاَ يُفَرِّقُ)
Perbedaan pendapat dalam masalah-masalah furu’ tidak seharusnya menimbulkan perpecahan, perdebatan dan benturan yang menimbulkan permusuhan dan kebencian. Sikap dan ungkapan para ulama yang akan dikemukakan berikutnya nanti menjadi bukti kuat tentang hal ini.
Ketiga, aib itu pada ta’ashub bukan ikhtilaf (العَيْبُ فِي التَّعَصُّبِ لاَ الخِلاَفِ)
Di lapangan dakwah Islam kita saksikan adanya orang-orang yang tidak punya perhatian kecuali perbantahan dalam segala hal. Mereka tidak punya kesiapan untuk menarik pendapatnya sedikitpun. Mereka hanya menginginkan agar orang lain mengikuti pendapatnya. Mereka merasa selalu benar sedangkan orang lain senantiasa salah.
Diantara mereka ada yang mengecam fanatisme kepada madzhab tetapi mereka sendiri membuat madzhab baru dan menyerang orang lain yang tidak sepaham dan tidak mau mengikutinya. Mereka mengaharamkan taqlid tetapi mereka sendiri menuntut orang lain agar mengikutinya. Atau melarang taqlid kepada ulama terdahulu, sementara mereka sendiri bertaqlid kepada ulama sekarang. Mereka melakukan konfrontasi demi masalah-masalah furu’iyah (cabang) dan sektoral. Padahal para salaf sendiri pernah memperselisihkannya, tetapi tidak sampai menimbulkan keruhnya hubungan sesama saudaranya.
Melihat fenomena tersebut, jelaslah bagi kita bahwa yang menjadi aib dan musykilah adalah sikap ta’ashub dan bukan perkara-perkara ikhtilaf-nya itu sendiri.
Keempat, tidak ada paksaan dalam masalah ijtihad (لاَ إِلْزَامَ فِي مَسَائِلِ الاِجْتِهَادِ).
Syaikhul Islam Ibnu Tayimiyah pernah ditanya tentang orang yang mengikuti sebagian ulama dalam masalah ijtihadiyah, apakah ia harus dihindari atau diingkari? Beliau menjawab, “Segala puji milik Allah. Orang yang dalam masalah-masalah ijtihadiyah mengamalkan sebagian pendapat ulama, tidak boleh diingkari dan dihindari. Demikian pula orang yang mengamalkan salah satu dari dua pendapat, tidak boleh dikecam. Jika dalam suatu masalah terdapat dua pendapat, maka bagi orang yang telah nampak mana yang lebih kuat boleh beramal sesuai dengannya. Tapi jika tidak, ia boleh mengikuti sebagian ulama yang dapat dipercaya dalam menjelaskan mana yang lebih kuat (rajih) di antara dua pendapat.”
Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi hafizhahullah mengatakan bahwa dalam masalah ijtihad tidak ada kepastian tentang kebenaran salah satu dari kedua pendapat yang diperselisihkan. Dalam hal ini yang bisa dilakukan adalah tarjih. Sedangkan tarjih itu sendiri tidak berarti sebuah kepastian. Selanjutnya, tegas beliau, orang yang keliru dalam masalah-masalah ijtihadiyah juga tidak boleh dicela sama sekali. Kesalahannya harus dimaafkan bahkan mungkin saja dia memperoleh pahala dari Allah sebagaimana ditegaskan dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bagaimana mungkin kita mencela dan menyakiti orang yang melakukan ijtihad yang telah diberi pahala oleh Allah, sekalipun hanya satu pahala?
Demikianlah manhaj para salaf dalam berbeda pendapat menyangkut masalah ijtihadiyah. Mereka tidak saling mencela atau menyakiti, tetapi saling memuji, sekalipun tetap berbeda pendapat.
Kelima, ikhtilaf itu rahmat atau keluasan bagi mukallaf (الاِخْتِلاَفُ رَحْمَةٌ أَوْ تَوْسِيْعٌ عَلَى الْمُكَلَّفِ).
Ada hadits yang begitu masyhur namun dhaif dan bahkan palsu berkaitan dengan point ini, yaitu,
اخْتِلاَفُ أُمَّتِيْ رَحْمَة
“Perbedaan pendapat pada umatku adalah rahmat.” [6]
Namun, secara makna perkataan bahwa “Perbedaan pendapat umatku adalah rahmat” tidak mutlak salah. Sebab, dalam tataran tertentu, perbedaan memang membawa kebaikan, minimal masih bisa ditolerir. Oleh karena itu, banyak ulama yang membela esensi ucapan ini seperti Imam Al Khathabi, Imam An-Nawawi, dan lain-lain.[7]
Imam Al Munawi mengatakan maksud ‘perbedaan yang membawa rahmat’ adalah ‘perbedaan ijtihad dalam menentukan hukum’ sebagaimana yang dikutip oleh Ibnu Shalah dari Imam Malik. (Faidhul Qadir, 1/271)
Imam As Suyuthi pun berkata: “Maksud perbedaan pendapat ini adalah perbedaan dalam menentukan hukum.”
Sebagian orang ada yang tetap menolak makna ucapan ini menurut mereka jika perbedaan adalah rahmat, maka persatuan adalah azab. Hal ini diisyaratkan oleh Imam Al-Khathabi , “Hadits ini telah ditentang oleh dua orang, yang satu orang yang suka bersenda gurau, dan yang lain adalah seorang ateis (mulhid), mereka adalah Ishaq Al Maushili dan Amru bin Bahr Al Jahizh, mereka berkata: “Jika perbedaan adalah rahmat, maka persatuan adalah azab.” [8]
Imam An Nawawi rahimahullah juga mengutip dari Imam Al Khathabi lebih legkap lagi, ia berkata,
ثُمَّ زَعَمَ أَنَّهُ إِنَّمَا كَانَ اِخْتِلَاف الْأُمَّة رَحْمَة فِي زَمَن النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَاصَّة ؛ فَإِذَا اِخْتَلَفُوا سَأَلُوهُ ، فَبَيَّنَ لَهُمْ
وَالْجَوَاب عَنْ هَذَا الِاعْتِرَاض الْفَاسِد : أَنَّهُ لَا يَلْزَم مِنْ كَوْن الشَّيْء رَحْمَة أَنْ يَكُون ضِدّه عَذَابًا ، وَلَا يَلْتَزِم هَذَا وَيَذْكُرهُ إِلَّا جَاهِل أَوْ مُتَجَاهِل . وَقَدْ قَالَ اللَّه تَعَالَى : { وَمِنْ رَحْمَته جَعَلَ لَكُمْ اللَّيْل وَالنَّهَار لِتَسْكُنُوا فِيهِ } فَسَمَّى اللَّيْل رَحْمَة ، وَلَمْ يَلْزَم مِنْ ذَلِكَ أَنْ يَكُون النَّهَار عَذَابًا ، وَهُوَ ظَاهِر لَا شَكَّ فِيهِ . قَالَ الْخَطَّابِيُّ : وَالِاخْتِلَاف فِي الدِّين ثَلَاثَة أَقْسَام : أَحَدهَا : فِي إِثْبَات الصَّانِع وَوَحْدَانِيّته ، وَإِنْكَار ذَلِكَ كُفْر .
وَالثَّانِي : فِي صِفَاته وَمَشِيئَته ، وَإِنْكَارهَا بِدْعَة .
وَالثَّالِث فِي أَحْكَام الْفُرُوع الْمُحْتَمَلَة وُجُوهًا ، فَهَذَا جَعَلَهُ اللَّه تَعَالَى رَحْمَة وَكَرَامَة لِلْعُلَمَاءِ ، وَهُوَ الْمُرَاد بِحَدِيثِ : اِخْتِلَاف أُمَّتِي رَحْمَة ، هَذَا آخِر كَلَام الْخَطَّابِي
“Lalu, mereka mengira bahwa perbedaan pada umat yang mendatangkan rahmat itu hanya khusus pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika para sahabat berbeda pendapat, maka beliau memberikan penjelasan. Jawaban dari penolakan yang buruk ini adalah tidak selalu dalam berbagai hal bahwa lawan dari rahmat adalah azab, tidaklah yang mengatakan hal itu melainkan orang bodoh atau belagak bodoh. Allah Ta’ala telah berfirman: “ .. dan karena rahmat-Nya, Dia jadikan untukmu malam dan siang, supaya kamu beristirahat pada malam itu ..” malam dinamakan rahmat, dan tidaklah patut dikatakan lantas siang adalah azab, dan ini sangat jelas dan tak ada keraguan di dalamnya. Al Khathabi berkata perbedaan dalam agama ada tiga macam: Pertama, menetapkan perbuatan dan keesaanNya, maka mengingkarinya adalah kufur. Kedua, perbedaan pendapat tentang sifat dan kehendakNya, mengingkarinya adalah bid’ah. Ketiga, tentang hukum-hukum cabang yang multi tafsir, maka inilah yang Allah jadikan rahmat dan kemuliaan bagi ulama. Inilah maksud “Perbedaan pendapat umatku adalah rahmat.” Selesai ucapan Al Khathabi.” [9]
Telah diriwayatkan dari Qatadah, bahwa Umar bin Abdul Aziz berkata,
مَا سَرَّنِيْ لَوْ أَنَّ أَصْحَابَ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم لَمْ يَخْتَلِفُوْا لأَنَّهُمْ لَوْ لَمْ يَخْتَلِفُوْا لَمْ تَكُنْ رُخْصَةٌ
“Tidaklah aku suka jika para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berbeda pendapat, seandainya mereka tidak berbeda, niscaya tidak akan terjadi rukhshah (keringanan bagi umat- pen).”[10]
Keenam, penilaian itu terletak pada subtansi isinya, buka pada sebuah nama (العِبْرَةُ بِالمُسَمَّيَاتِ لاَ بِالأَسْمَاءِ)
Penilaian dalam perkara-perkara ikhtilaf hendaknya tidak terjebak kepada penilaian terhadap nama/sebutan, melainkan harus fokus pada esensi atau substansi perkaranya.
Adab Ikhtilaf
Pertama, ikhlas dalam mencapai dan mencari kebenaran (الإِخْلاَصُ لِلْحَقِّ).
Diantara tanda ikhlas dalam kebenaran adalah sebagai berikut.
- Mengaktualisasikan prinsip العِبْرَةُ بِالقَوْلِ لاَ بالقَائِلِ (menjadikan ucapan sebagai patokan bukan siapa yang mengucapkan). Artinya adalah قَبُولُ الحَقِّ مِنَ الَحَبِيبِ والبَغِيضِ (menerima kebenaran baik dari orang yang dicintai maupun yang dibenci).
Sikap seperti ini dicontohkan langsung oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih bahwa ada seorang laki-laki Yahudi mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata,
إِنَّكُمْ تُنَدِّدُونَ وَإِنَّكُمْ تُشْرِكُونَ تَقُولُونَ مَا شَاءَ اللَّهُ وَشِئْتَ وَتَقُولُونَ وَالْكَعْبَةِ
“Sesungguhnya kamu menjadikan tandingan (bagi Allah). Sesungguhnya kamu menyekutukan (Allah). Kamu mengatakan ‘Apa yang Allah kehendaki dan apa yang engkau kehendaki’. Kamu juga mengatakan ‘Demi Ka’bah’.”
فَأَمَرَهُمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَرَادُوا أَنْ يَحْلِفُوا أَنْ يَقُولُوا وَرَبِّ الْكَعْبَةِ وَيَقُولُونَ مَا شَاءَ اللَّهُ ثُمَّ شِئْتَ
Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kaum Muslimin, jika hendak bersumpah untuk mengatakan “Demi Rabb Ka’bah”, dan agar mereka mengatakan “Apa yang Allah kehendaki kemudian apa yang engkau kehendaki”. (HR.Nasa’I no.3773).
Berkenaan dengan hadits ini Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Pertama: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengingkari orang Yahudi tersebut, padahal yang nampak dari niat orang Yahudi itu adalah mencela Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabat beliau. Karena yang dia katakan memang benar. Kedua: Disyari’atkan kembali menuju kebenaran walaupun yang mengingatkan hal itu adalah bukan pengikut kebenaran. Ketiga: Sepantasnya ketika merubah sesuatu hendaknya merubahnya kepada sesuatu yang dekat dengannya. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk mengatakan ‘Demi Rabb Ka’bah’, dan beliau tidak mengatakan ‘Bersumpahlah dengan nama Allah azza wa jalla’. Dan beliau memerintahkan mereka agar mengatakan ‘Apa yang Allah azza wa jalla kehendaki, kemudian apa yang engkau kehendaki.’”[11]
Para salafu shalih berkata tentang sikap ikhlash terhadap kebenaran ini.
Muadz bin Jabal radhiallahu ‘anhu berkata,
اِقْبَلُوا الْحَقَّ مِنْ كُلِّ مَنْ جَاءَ بِهِ، وَإِنْ كَانَ كَافِراً – أَوْ قَالَ فَاجِراً.
“Terimalah kebenaran dari siapa saja yang membawanya, walaupun dia adalah orang kafir atau beliau berkata : Orang fasik.” (Riwayat Al-Baihaqi).
Al-Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata,
أَنْ تَخْضَعَ لِلْحَقِّ وَتَنْقَادَ لَهُ مِمَّنْ سَمِعْتَهُ وَلَوْ كَانَ أَجْهَلَ النَّاسِ لَزِمَكَ أَنْ تَقْبَلَهُ مِنْهُ
“Yaitu dengan engkau tunduk kepada kebenaran dan menerimanya dari siapa saja yang engkau dengar, walaupun dia adalah manusia yang paling bodoh maka kebenaran itu wajib engkau terima darinya.”[12]
Sementara itu, orang yang bersikap menolak kebenaran dikategorikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai orang yang sombong.
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ قَالَ رَجُلٌ إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً قَالَ إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
“Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan sebesar biji sawi”. Ada seseorang yang bertanya, “Bagaimana dengan seorang yang suka memakai baju dan sandal yang bagus ?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan. Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain”. (HR. Muslim no. 91).
- Menginginkan kebenaran keluar dari mulut pihak lain yang berbeda pendapat (تَمَنِّي وُصُولِ المُخَالِفِ لِلصَّوَابِ).
Sikap seperti ini diantaranya tercermin dari ucapan Hatim Al-Asham, “Aku punya tiga hal untuk mengalahkan lawan bicaraku: aku senang jika ia benar, sedih jika ia salah, dan aku jaga diriku agar tidak menzaliminya.”
Imam Ahmad berkomentar tentangnya: “Subhanallah, sungguh beliau laki-laki yang amat berakal.”
- Siap meninggalkan pendapat sendiri dan kembali kepada kebenaran (الاِسْتِعْدَادُ لِلرُّجُوعِ إِلَى الصَّوَابِ.).
Abu Yusuf (murid Imam Abu Hanifah) pernah berbeda pendapat dengan Imam Malik tentang sebuah masalah fiqih. Ketika Imam Malik mengutarakan riwayat mutawatir dari penduduk Madinah sebagai dalil pendapatnya, Abu Yusuf mengoreksi pendapatnya, sambil berkata: “Jika guruku Abu Hanifah menyaksikan ini, pastilah ia mengoreksi pendapatnya juga.”
Kedua, keinginan kuat untuk bersatu, berukhuwwah dan berjama’ah (الحِرْصُ عَلَى الوَحْدَةِ وَالأُخُوَّةِ والجَمَاعَةِ)
Renungkanlah riwayat berikut ini.
فروى أبو داود ( 1 / 307 ) أن عثمان رضي الله عنه صلى بمنى أربعا ، فقال عبد الله بن مسعود منكرا عليه : صليت مع النبي صلى الله عليه وسلم ركعتين ، و مع أبي بكر ركعتين ، و مع عمر ركعتين ، و مع عثمان صدرا من إمارته ثم أتمها ، ثم تفرقت بكم الطرق فلوددت أن لي من أربع ركعات ركعتين متقبلتين ، ثم إن ابن مسعود صلى أربعا ! فقيل له : عبت على عثمان ثم صليت أربعا ؟ ! قال : الخلاف شر . و سنده صحيح . و روى أحمد ( 5 / 155 ) نحو هذا عن أبي ذر رضي الله عنهم أجمعين
Diriwayatkan oleh Imam Abu Daud (1/307), bahwasanya Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu ‘anhu shalat di Mina empat rakaat. Maka sahabat nabi, yaitu Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu mengingkarinya seraya berkata: “Aku dulu shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr, ‘Umar dan di awal pemerintahan ‘Utsman sebanyak dua rakaat, dan setelah itu ‘Utsman shalat empat rakaat. Kemudian terjadilah perbedaan diantara kalian, dan harapanku dari empat rakaat shalat itu yang diterima adalah yang dua rakaat darinya.” Namun ketika di Mina, Abdullah bin Mas’ud justru juga shalat empat rakaat. Maka ditanyakanlah kepada beliau: “Engkau dulu telah mengingkari ‘Utsman atas shalatnya yang empat rakaat, kemudian engkau shalat empat rakaat pula?” Abdullah bin Mas’ud menjawab: “Perselisihan itu jelek.” (Sanadnya shahih. Diriwayatkan pula oleh Al Imam Ahmad [5/155] seperti riwayat di atas dari shahabat Abu Dzar radhiallahu ‘anhum Ajma’in).[13]
Imam Al Qasim bin Muhammad rahimahullah adalah salah satu tujuh fuqaha Madinah di zaman tabi’in, dan merupakan cucu dari Abu Bakar Ash Shiddiq radhiallahu ‘anhu. Seseorang bercerita tentang Al-Qasim, “Aku bertanya kepada Al Qasim bin Muhammad tentang membaca (Al Fatihah) dibelakang imam yang dia tidak mengeraskan bacaannya. Beliau menjawab: ‘Jika kamu membaca maka kamu memiliki contoh dari para sahabat nabi, dan jika kamu tidak membaca maka kamu juga memiliki contoh dari para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.’”[14]
Imam Ahmad rahimahullah mengatakan wajib berwudhu setelah berbekam. Ketika beliau ditanya: “Kalau seorang imam tidak berwudhu setelah berbekam, apakah kita shalat di belakangnya?” Beliau menjawab beliau, “Subhanallah! Apakah kita tidak mau menjadi ma’mum Sa’id bin Musayyib dan Imam Malik bin Anas?”
Sultan Muhammad bin Malik Al-Manshur Qalawun pernah meminta fatwa kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah untuk menghukum mati beberapa qadhi. Mereka telah berfatwa untuk menggulingkan Sultan dan membai’at Jasyankir, serta memprovokasi massa untuk memusuhi Ibnu Taimiyah rahimahullah. Namun Ibnu Taimiyah rahimahullah menolak pembunuhan itu, dan meminta Sultan membebaskan mereka, padahal mereka telah menzalimi Ibnu Taimiyah rahimahullah akibat perbedaan pendapat sengit dalam masalah cabang aqidah. Bahkan beliau malah menghormati mereka.
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Jika engkau bunuh mereka, tak akan engkau dapatkan ulama seperti mereka lagi.”
Sultan berkata, “Mereka telah menyakitimu dan mencoba membunuhmu.”
Ibnu Taimiyah rahimahullah menjawab: “Siapa yang telah menyakitiku aku telah memaafkannya, aku tidak ingin menang untuk diriku sendiri.”
Ibnu Makhluf, salah satu qadhi berkata: “Belum pernah kami menemui orang seperti Ibnu Taimiyah, kami coba menyakitinya tapi kami tidak mampu. Sedang ia dapat membalas kami, tapi ia memaafkan bahkan membela kami.”
Ketiga, bersikap objektif dan adil terhadap pihak yang berbeda (الإِنْصَافُ والعَدْلُ مَعَ المُخَالِفِينَ).
Syaikh Hasan Al-Banna rahimahullah berkata,
أنْ تَكُونَ عَادِلاً صَحِيحَ الحُكْمِ فِي جَمِيعِ الأحْوَالِ لاَ يُنْسِيكَ الغَضَبُ الحَسَنَاتِ وَلاَ تُغْضِي عَيْنُ الرِّضَا عَنِ السَّيِّئَاتِ وَلاَ تَحْمِلُكَ الخُصُومَةُ عَلَى نِسْيَانِ الجَمِيلِ وَتَقُولُ الحَقَّ وَلَوْ كَانَ عَلَى نَفْسِكَ أَوْ عَلَى أقْرَبِ النَّاسِ إلَيْكَ وَإنْ كَانَ مُرًّا.
“Berlakulah adil dan benar dalam menghukum dalam segala hal. Kemarahanmu (kepada orang lain) jangan membuatmu melupakan kebaikannya, dan rasa sukamu kepada seseorang jangan menutup matamu dari keburukannya. Permusuhan jangan membawamu melupakan kebaikan. Katakan yang haq meskipun pahit atas dirimu atau orang terdekat bagimu sekalipun” [15]
Abdur Razzaq bin Hammam rahimahullah, penyusun hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, pernah berkomentar buruk terhadap Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu yang dianggapnya kurang sopan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Imam Dzahabi rahimahullah mengkritik Abd Razzaq, “Ini adalah suatu yang besar, jika engkau (wahai Abd Razzaq) diam, tentu itu lebih baik. Umar lebih tahu adab terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam…Meskipun demikian, kita mohon ampun kepada Allah untuk kita dan Abd Razzaq, beliau orang yang terpercaya dan jujur dalam meriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam”
Keempat, berdiskusi di bawah naungan ukhuwwah (المُنَاقَشَةُ تَحْتَ ظِلاَلِ الأخُوَّةِ)
Syaikh Hasan Al-Banna rahimahullah berkata,
والخلاف الفقهي في الفروع لا يكون سببا للتفرق في الدين ولا يؤدي إلى خصومة ولا بغضاء ولكل مجتهد أجره ولا مانع من التحقيق العلمي النزيه في مسائل الخلاف في ظل الحب في الله والتعاون على الوصول إلى الحقيقة من غير أن يجر ذلك إلى المراء المذموم والتعصب.
“Dan khilaf fiqih dalam masalah cabang janganlah menjadi penyebab perpecahan dalam agama, permusuhan dan kebencian. Setiap mujtahid mendapat pahala. Dan tidak mengapa jika dilakukan kajian dan diskusi ilmiah dalam masalah khilaf dalam naungan cinta karena Allah dan saling membantu untuk mencapai hakikat kebenaran tanpa mengakibatkan perdebatan tercela dan fanatisme.” [16]
Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala,
وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
“Dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang terbaik” (QS. An-Nahl, 16: 125)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أنَا زَعِيمٌ بِبَيْتٍ فِي الجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ المِرَاءَ وَإِنْ كَانَ مُحِقًّا (رواه أبو داود).
“Aku menjamin rumah di surga bagi siapa yang meninggalkan debat kusir meskipun ia berada di pihak yang benar” (HR. Abu Dawud)
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berbeda pendapat dengan Zaid bin Tsabit tentang ‘apakah saudara mendapat warisan jika ada kakek?’ Ibnu Abbas berpendapat ‘ya’ sedangkan Zaid ‘tidak’. Ketika Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu melihat Zaid radhiyallahu ‘anhu menunggang kudanya, ia segera berjalan menuntun kuda Zaid radhiyallahu ‘anhu sambil berkata: “Beginilah kita diperintahkan menghormati ulama.”
Zaid radhiyallahu ‘anhu berkata: “Kemarikan tanganmu!” Lalu diciumnya tangan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu sambil berkata: “Beginilah kami diperintahkan terhadap ahli bait Nabi kami.”
Kelima, menjauhi ta’ashub (اجْتِنَابُ التَّعَصُّبِ).
Syaikh Hasan Al-Banna rahimahullah berkata,
وكل أحد يؤخذ من كلامه ويترك إلا المعصوم صلى الله عليه وسلم وكل ما جاء عن السلف رضوان الله عليهم موافقا للكتاب والسنة قبلناه و إلا فكتاب الله وسنة رسوله أولى بالإتباع، ولكنا لا نعرض للأشخاص ـ فيما اختلف فيه ـ بطعن أو تجريح ونكلهم إلى نياتهم وقد أفضوا إلى ما قدموا.
“Setiap orang dapat diambil ucapannya dan ditinggalkan kecuali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ma’shum. Kita menerima semua yang berasal dari salaf ridhwanullah ‘alaihim dan sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah, jika tidak sesuai maka Al-Quran dan Sunnah lah yang harus diikuti, tetapi kita tidak akan menodai kehormatan seseorang diantara mereka dengan tuduhan atau celaan karena perbedaan pendapat di antara mereka, kita serahkan mereka kepada niat mereka masing-masing, dan mereka sudah mendapatkan balasan apa yang telah mereka lakukan.” [17]
Menjauhi sikap ta’ashub diantaranya terlihat dari ucapan Abu Yusuf ketika telah datang padanya dalil yang kuat yang berbeda dengan pendapatnya, dia berkata: “Jika guruku Abu Hanifah menyaksikan ini, pastilah ia mengoreksi pendapatnya juga.”
Syaikh Yusuf Qaradhawi hafizhahullah berkata, “Saya pribadi telah berijtihad dalam berbagai hal tanpa mengikuti sepenuhnya pendapat Imam Al-Banna. Dan saya yakin beliau akan rela dengan sikap saya itu, karena beliau amat senang melihat pengikutnya berpikir merdeka dan sungguh-sungguh, tidak menjadi tawanan atau hamba yang selalu terbelenggu taqlid.”[18]
Di dalam bukunya Fiqhul Ikhtilaf, Syaikh Al-Qaradhawi hafizhahullah juga menegaskan bahwa seseorang bisa berlaku ikhlas sepenuhnya kepada Allah dan berpihak hanya kepada kebenaran jika ia dapat membebaskan dirinya dari fanatisme terhadap pendapat orang, madzhab, dan golongan. Dengan kata lain, ia tidak mengikat dirinya kecuali dengan dalil. Jika dilihatnya ada dalil yang menguatkan maka ia segera mengikutinya, sekalipun bertentangan dengan madzhab yang dianutnya atau perkataan seorang Imam yang dikaguminya atau golongan yang diikutinya. Sebab, kebenaran lebih berhak untuk diikuti daripada pendapat si Zaid atau si Umar. Allah tidak memerintahkan kita beribadah mengikuti perkataan seorang ulama atau Imam tertentu, tetapi Allah memerintahkan kita agar beribadah sesuai dengan apa yang terdapat di dalam kitab-Nya dan sunnah Nabi-Nya.
Keenam, tidak mengingkari ikhtilaf yang mu’tabar dan diperbolehkan (عَدَمُ الإِنْكَارِ فِي الخِلاَفِ المُعْتَبَرِ السَّائِغِ)
Imam Sufyan Ats Tsauri rahimahullah berkata,
إذا رأيت الرجل يعمل العمل الذي قد اختلف فيه وأنت ترى غيره فلا تنهه.
“Jika engkau melihat seorang melakukan perbuatan yang masih diperselisihkan, padahal engkau punya pendapat lain, maka janganlah kau mencegahnya.” [19]
Tentang merutinkan qunut shubuh, Imam At Tirmidzi berkata:
قَالَ سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ إِنْ قَنَتَ فِي الْفَجْرِ فَحَسَنٌ وَإِنْ لَمْ يَقْنُتْ فَحَسَنٌ
“Berkata Sufyan Ats Tsauri: ‘Jika berqunut pada shalat shubuh, maka itu bagus, dan jika tidak berqunut itu juga bagus.’” [20]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
إنَّ مِثْلَ هَذِهِ المَسَائِلِ الاِجْتِهَادِيَّةِ لاَ تُنْكَرُ بِاليَدِ، وَلَيْسَ لِأَحَدٍ أَن يُلْزِمَ النَّاسَ بِاتِّبَاعِهِ فِيْهَا، وَلكِنْ يَتَكَلَّمُ فِيْهَا بِالحُجَجِ العِلْمِيَّةِ، فَمَنْ تَبَيَّنَ لَهُ صِجَّةُ أحَدِ القَوْلَيْنِ تَبِعَهُ، وَمَنْ قَلَّدَ أَهْلَ القَوْلِ الآخَرِ فَلاَ إِنْكَارَ عَلَيْهِ
“Sesungguhnya masalah ijtihadiyyah seperti ini tidak boleh diingkari dengan tangan, siapapun tidak boleh memaksa orang lain mengikuti pendapatnya. Yang bisa dilakukan adalah berbicara dengan argumentasi ilmiah. Siapa yang telah jelas baginya kebenaran suatu pendapat dia dapat mengikutinya, dan siapa yang mengikuti pendapat lain maka ia tidak boleh diingkari.”
Ketujuh, meninggalkan yang mustahab demi menyatukan hati (تَرْكُ المسْتَحَبَّاتِ لِتَأْلِيفِ القُلُوبِ).
Imam Asy Syafi’i (juga Imam Malik) berpendapat sunnahnya qunut shubuh. Berbeda dengan Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hambal yang memandang tidak ada qunut shubuh.
Diceritakan dalam Al Mausu’ah sebagai berikut:
الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ تَرَكَ الْقُنُوتَ فِي الصُّبْحِ لَمَّا صَلَّى مَعَ جَمَاعَةٍ مِنَ الْحَنَفِيَّةِ فِي مَسْجِدِهِمْ بِضَوَاحِي بَغْدَادَ . فَقَال الْحَنَفِيَّةُ : فَعَل ذَلِكَ أَدَبًا مَعَ الإْمَامِ ، وَقَال الشَّافِعِيَّةُ بَل تَغَيَّرَ اجْتِهَادُهُ فِي ذَلِكَ الْوَقْتِ .
“Asy Syafi’i radhiallahu ‘anhu meninggalkan qunut dalam subuh ketika beliau shalat berjamaah bersama kalangan Hanafiyah (pengikut Abu Hanifah) di Masjid mereka, pinggiran kota Baghdad. Berkata Hanafiyah: ‘Itu merupakan adab bersama imam.’ Berkata Asy Syafi’iyyah (pengikut Asy Syafi’i): ‘Bahkan beliau telah merubah ijtihadnya pada waktu itu.’”[21]
Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah mengomentari orang yang shalat dua rakaat setelah Ashar:
لا نفعله ولا نعيب فاعله
“Kami tidak melakukannya tapi kami tidak juga menilai aib orang yang melakukannya.” [22]
Tentang qunut shubuh, diceritakan sebagai berikut:
فقد كان الإمام أحمدُ رحمه الله يرى أنَّ القُنُوتَ في صلاة الفجر بِدْعة، ويقول: إذا كنت خَلْفَ إمام يقنت فتابعه على قُنُوتِهِ، وأمِّنْ على دُعائه، كُلُّ ذلك مِن أجل اتِّحاد الكلمة، واتِّفاق القلوب، وعدم كراهة بعضنا لبعض.
“Imam Ahmad rahimahullah berpendapat bahwa qunut dalam shalat fajar (subuh) adalah bid’ah. Akan tetapi dia mengatakan: ‘Jika aku shalat di belakang imam yang berqunut, maka aku akan mengikuti qunutnya itu, dan aku aminkan doanya, semua ini lantaran demi menyatukan kalimat, melekatkan hati, dan menghilangkan kebencian antara satu dengan yang lainnya.’” [23]
Guna menuju tercapainya saling pengertian dalam menyikapi ikhtilaf yang terjadi di antara umat Islam, Syaikh Yusuf Al-Qaradawi hafizhahullah mengatakan bahwa penting bagi kita untuk menelaah perbedaan pendapat para ulama. Dengan penelaahan yang jernih akan nampak dalil-dalil yang melandasi perbedaan itu. Kemudian akan diketahui bahwa lautan syariah itu amat dalam dan luas. Akan Nampak kebenaran ungkapan, “Siapa yang tidak mengetahui ikhtilaf ulama, maka dia bukan ulama. Siapa yang tidak mengetahui ikhtilaf para fuqaha, maka hidungnya belum mencium bau fiqh.”
Kedelapan, meninggalkan perkara yang tidak membuahkan amal (عَدَمُ الخَوْضِ فِيْمَا لَيْسَ وَرَاءَهُ عَمَلٌ)
Syaikh Hasan Al-Banna rahimahullah berkata,
وَكُلُّ مَسْأَلَةٍ لاَ يَنْبَنِي عَلَيْهَا عَمَلٌ فَالْخَوْضُ فِيْهَا مِنَ التَّكَلُّفِ الَّذِي نُهِيْنَا عَنْهُ شَرْعًا
“Semua masalah yang tidak terbangun di atasnya amal, maka menggelutinya terlalu dalam adalah perbuatan berlebihan yang dilarang oleh syariat…” [24]
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang kapan hari kiamat, beliau berkata: “Apa yang telah engkau siapkan untuk menghadapinya?”
Umar radhiyallahu ‘anhu menginkari dan menghukum Shabigh karena banyak bertanya tentang sesuatu yang tidak bermanfaat secara amaliah.
Ali radhiyallahu ‘anhu mengingkari Ibnul Kuwa yang banyak bertanya tentang hal yang tidak bermanfaat.
Begitu juga Imam Malik rahimahullah membenci ucapan yang tidak membuahkan amal.
Wallahu A’lam…
Catatan Kaki:
[1] Al-Mu’jam Al-Wasith: 1/251
[2] Ma’an ‘ala Thariq ad-Da’wah: 102
[3] Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah: 6/57
[4] Risalah Da’watuna, Majmu’ah Rasail , Hasan Al-Banna, hal. 23 – 24
[5] Contoh-contoh ikhtilaf ini sebagian besar diambil dari buku Lahirnya Mazhab-mazhab Fiqh, Syah Waliyullah Al-Dahlawy
[6] As Suyuthi mengatakan hadits ini diriwayatkan oleh Nashr Al Maqdisi dalam kitab Al Hajjah secara marfu’ dan Al Baihaqi dalam Al Madkhal dari Al Qasim bin Muhammad dan ini adalah ucapan beliau. (Lihat Ad Durar Mutanatsirah, Hal. 1).
[7] Lihat: “Perbedaan di Antara Umatku adalah Rahmat.”, Farid Nu’man Hasan.
[8] Al Maqashid Al Hasanah, Hal. 15
[9] Imam An Nawawi, Syarh Shahih Muslim, No. 3090. Mauqi’ Ruh Al Islam
[10] Jazil al-Mawahib, 22
[11] Setelah penjelasan ini, Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah menyampaikan suatu masalah dan jawabannya. Yaitu ketika ditanya, “Kenapa tidak ada yang mengingatkan (kesalahan) perbuatan ini kecuali seorang Yahudi?” Jawabannya adalah, “Kemungkinan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mendengarnya dan tidak mengetahuinya.” Jika ditanya lagi, “Allah Maha mengetahui, kenapa mendiamkan mereka?” maka dijawab, “Sesungguhnya itu adalah syirik asghar (kecil), bukan syirik akbar (besar). Hikmahnya adalah ujian bagi orang-orang Yahudi. Mereka mengkritik umat Islam atas kata tersebut, padahal mereka menyekutukan Allah azza wa jalla dengan syirik yang besar, namun mereka tidak melihat aib mereka.” (Al-Qaulul Mufid hal.522-523; Penerbit Abu Bakar ash Shiddiq, Mesir, Cet.1, Th.2007M/1428H; Tahqiq: Muhammad Sayyid ‘Abdur Rabbir Rasul), dikutip dari Wajib Menerima Kebenaran dari Siapapun Datangnya, Agus Santosa Somantri.
[12] Jaami’ Bayaaninil ‘Ilmi wa Fadhlih, hal. 226
[13] As Silsilah Ash Shahihah, 1/389
[14] Imam Ibnu Abdil Bar, Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlih, 2/161
[15] Imam Syahid Hasan Al-Banna dalam Wajibat al-akh – Risalah Ta’alim
[16] Prinsip ke-8 dari 20 prinsip Ikhwan (Rukun Al-Fahm – Risalah Ta’alim
[17] Prinsip ke-6 dari 20 prinsip Ikhwan – Rukun Al-Fahm Risalah Ta’alim
[18] Yusuf Al-Qaradhawi: Al-Ikhwan Al-Muslimun: 246
[19] Imam Abu Nu’aim Al Asbahany, Hilaytul Auliya, 3/133
[20] Lihat Sunan At Tirmidzi, keterangan hadits No. 401
[21] Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 2/302. Wizarah Al Awqaf Asy Syu’un Al Islamiyah
[22] Al Mughni, 2/87, Syarhul Kabir, 1/802
[23] Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin, Syarhul Mumti’, 4/25. Mawqi’ Ruh Al Islam
[24] Prinsip ke-9 dari 20 Prinsip Ikhwan – Rukun Al-Fahm Risalah ta’alim