(Tanda-tanda Cinta)
Mahabbah (cinta) -baik itu mahabbatullah (cinta kepada Allah Ta’ala) atau mahabbatu ghairillah (cinta kepada selain Allah)- manakala telah tertanam di dalam diri akan terlihat tanda-tandanya.
Pertama, katsratul dzikri (sering menyebutnya). Perhatikanlah seorang lelaki yang sedang jatuh cinta kepada seorang wanita, bukankah ia selalu menyebut-nyebut nama wanita yang dicintainya? Perhatikanlah mereka yang mencintai suatu hobi -grup musik, artis, olah raga, kucing, travel, benda kuno, lukisan, kopi, kolektor, dan lain-lain-. Bukankah mereka selalu menyebut-nyebut dan berbicara tentang hobi mereka itu dengan antusias?
Bagi ulul albab (orang-orang yang berpikir), tidak ada yang banyak disebut dan diingatnya kecuali Allah Ta’ala,
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): ‘Ya Tuhan Kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, maka peliharalah Kami dari siksa neraka.’” (QS. Ali Imran, 3: 191).
Hati mereka selalu terikat kepada Allah Ta’ala, sehingga ketika disebut nama Allah Ta’ala gemetarlah hatinya, dan ketika dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah imannya,
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.” (QS. Al-Anfal, 8: 2).
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan kepada kita agar membiasakan diri banyak menyebut dan mengingat Allah Ta’ala, sebagaimana disebutkan dalam hadits dari ‘Abdullah bin Busr radhiyallahu anhu,
أَنَّ أَعْرَابِيًّا قَالَ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ شَرَائِعَ الْإسْلَامِ قَدْ كَثُرَتْ عَلَيَّ ، فَأَنْبِئْنِيْ مِنْهَا بِشَيْءٍ أَتَشَبَّثُ بِهِ؟ قَالَ : لاَ يَزَالُ لِسَانُكَ رَطْبًا مِنْ ذِكْرِ اللهِ
“Seorang Badui datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya syariat-syariat Islam sudah banyak pada kami. Beritahukanlah kepada kami sesuatu yang kami bisa berpegang teguh kepadanya?’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Hendaklah lidahmu senantiasa berdzikir kepada Allah Azza wa Jalla” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya [IV/188, 190], dishahihkan oleh Ibnu Hibbân [no. 811-at-Ta’liqatul Hisan])
Kedua, al-i’jab (kagum). Seseorang yang mencintai sesuatu pasti selalu memperlihatkan kekagumannya kepada apa yang dicintainya itu; ada perhatian, ketertarikan, keterpesonaan, rasa suka, dan kepuasan di dalam hatinya.
Bagi seorang mu’min, tidak ada yang patut dikagumi dengan sebenarnya kecuali Allah Ta’ala. Karena Dialah Yang Maha Sempurna, Dialah Rabbul ‘alamin; Pencipta dan Pemelihara alam semesta raya ini.
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al-Fatihah, 1: 2)
Ketiga, ar-ridha (kerelaan dan penerimaan). Seseorang biasanya akan bersikap rela dan menerima kepada apa yang dicintainya. Ia akan selalu cenderung menyetujui dan mendukung apa yang datang dari sang kekasih.
Islam menghendaki agar umatnya ridha kepada Allah Ta’ala sebagai Rabb, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai Rasul, sebagaimana disebutkan oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam,
ذَاقَ طَعْمَ الْإِيمَانِ مَنْ رَضِيَ بِاللَّهِ رَبًّا وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا وَبِمُحَمَّدٍ رَسُولًا
“Akan merasakan kelezatan iman, orang yang ridha Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai Rasul” (HR Muslim).
Keempat, at-tadhiyah (pengorbanan). Ini adalah salah satu tanda cinta yang terlihat secara nyata dalam amal perbuatan. Seorang pecinta biasanya tidak akan ragu berkorban untuk kekasihnya. Waktu, tenaga, pikiran, dan harta serta seluruh apa yang dimilikinya selalu siap dikorbankan kapanpun jika dia sanggup.
Seseorang yang mencintai Allah Ta’ala pun akan selalu siap berkorban demi meraih cinta dan keridhaan dari-Nya,
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاةِ اللَّهِ وَاللَّهُ رَءُوفٌ بِالْعِبَادِ
“Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.” (QS. Al-Baqarah, 2: 207)
Berkata Ibnu Abbas, Anas, Said bin Musayyab dan beberapa sahabat yang lain bahwa ayat di atas diturunkan berhubungan dengan peristiwa Suhaib bin Sinan Ar-Rumi, yang akan mengikuti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berhijrah ke Madinah. Oleh orang-orang Quraisy, ia dilarang berhijrah dengan membawa kekayaannya. Suhaib tidak mengindahkan larangan orang-orang Quraisy itu bahkan dengan segala senang hati dan penuh keikhlasan ia menyerahkan semua kekayaannya asal ia dibolehkan berhijrah ke Madinah, maka turunlah ayat tersebut.[1]
Begitulah selayaknya orang yang cinta kepada Allah Ta’ala. Ia harus berani mengorbankan apa yang ada pada dirinya secara optimal. Dengan demikian mereka akan termasuk ke dalam golongan yang disebutkan dalam firman Allah Ta’ala.
إِنَّ اللَّهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ وَعْدًا عَلَيْهِ حَقًّا فِي التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ وَالْقُرْآنِ وَمَنْ أَوْفَى بِعَهْدِهِ مِنَ اللَّهِ فَاسْتَبْشِرُوا بِبَيْعِكُمُ الَّذِي بَايَعْتُمْ بِهِ وَذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah lalu mereka membunuh atau terbunuh (itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah dalam Taurat, Injil dan Alquran. Siapakah yang lebih menepati janjinya daripada Allah. Sebab itu bergembiralah dengan jual-beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.” (QS. At-Taubah, 9: 111).
Kelima, al-khauf (takut) dan Keenam, ar-raja’ (berharap). Seorang pecinta biasanya merasa takut, cemas dan penuh harap terhadap apa yang dicintainya. Ia merasa takut jangan-jangan cintanya tak berbalas atau ada kelakuannya yang tidak disenangi oleh kekasihnya. Ia selalu berharap agar sang kekasih ridha dan membalas cintanya, atau memaafkan segala kekurangan dan kesalahannya.
Dalam konteks mahabbatullah (cinta kepada Allah Ta’ala), khauf artinya ketakutan dan kekhawatiran atas siksa dan azab Allah Ta’ala akibat perbuatan dosanya. Penggunaan kata khauf dalam al-Qur’an misalnya dijumpai dalam ayat berikut.
إِنَّا نَخَافُ مِنْ رَبِّنَا يَوْمًا عَبُوسًا قَمْطَرِيرًا
“Sesungguhnya kami takut akan (azab) Tuhan kami pada suatu hari yang (di hari itu) orang-orang bermuka masam penuh kesulitan.” (QS. Al-Insaan, 76: 10)
Sedangkan raja’ artinya adalah pengharapannya atas kemurahan, pengampunan dan kasih sayang Allah Ta’ala. Penggunaan kata raja’ dalam Al-Qur’an disebutkan misalnya dalam ayat berikut.
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَةَ اللَّهِ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Al-Baqarah, 2: 218)
Khauf dan Raja’ ini hendaknya tumbuh seimbang dalam diri seorang muslim. Jangan sampai khauf menyebabkan manusia putus asa dari rahmat dan ampunan Allah Ta’ala, dan jangan sampai raja’ menyebabkan manusia menganggap remeh ancaman dan siksa-Nya,
لَوْ يَعْلَمُ اْلمُؤْمِنُ مَا عِنْدَ اللهِ مِنَ الْعُقُوْبَةِ ، مَا طَمِعَ بِجَنَّتِهِ أَحَدٌ ، وَلَوْ يَعْلَمُ الْكَافِرُ مَا عِنْدَ اللهِ مِنَ الرَّحْمَةِ ، مَا قَنَطَ مِنْ جَنَّتِهِ أَحَدٌ
“Seandainya seorang mukmin mengetahui siksa yang ada di sisi Allah, maka dia tidak akan berharap sedikitpun untuk masuk syurga. Dan seandainya orang kafir mengetahui rahmat yang ada di sisi Allah, maka dia tidak akan berputus asa sedikitpun untuk memasuki Syurga-Nya.” (HR. Muslim)
Ketujuh, at-tha’ah (ketaatan). Seorang pecinta cenderung akan menuruti apa kehendak sang kekasih. Dia akan berupaya memenuhi permintaan dan keinginan kekasihnya itu dengan sungguh-sungguh.
Begitupun orang yang mencintai Allah Ta’ala dituntut untuk mentaati seluruh kehendak dan perintah-Nya,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَلَا تُبْطِلُوا أَعْمَالَكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada rasul dan janganlah kamu merusakkan (pahala) amal-amalmu” (QS. Muhammad, 47: 33).
Semoga ‘alamatul mahabbah kepada Allah Ta’ala ini ada pada diri kita. Amin.
[1] Al-Qur’anul Karim wa Tafsiruhu, Depag RI, Jilid I, Hal. 302.
4 comments
Izin reshare tulisan penuh hikmah ini ya, masya allah..