Apakah Adam ‘alaihis salam Seorang Nabi?
Jawaban terhadap pertanyaan di atas adalah: “Ya, tentu saja, tidak ada perdebatan dalam masalah ini.” Walaupun Al-Quran memang tidak menyatakan dengan tegas tentang kenabian Adam ‘alaihis salam sebagaimana menyebutkan kenabian nabi-nabi lainnya seperti Nuh, Ibrahim, Yunus, dan Musa. Akan tetapi Al-Quran menyebutkan bahwa Allah Ta’ala berbicara langsung kepada Adam (mukhatabah) tanpa perantara lebih dari sekali, dan mukhathabah tanpa perantara adalah salah satu jenis wahyu sebagaimana difirmankan oleh Allah Ta’ala,
“Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.” (QS. As-Syuura, 42: 51)[1]
Dalam seruan langsung ini juga terkandung taklif (pembebanan kewajiban) untuk mengikuti petunjuk dari Allah Ta’ala untuknya dan anak keturunannya:
“Allah berfirman: ‘Turunlah kamu berdua dari surga bersama-sama, sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Maka jika datang kepadamu petunjuk daripada-Ku, lalu barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta’”. (QS. Thaha, 20: 123-124).
Di samping itu, hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun secara tegas menyatakan kenabian Adam ‘alaihis salam.
رَوَى الإِمَامُ أَحْمَدُ عَنْ أَبِيْ ذَرٍّ قَالَ: قُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَيُّ الأَنْبِيَاءِ كَانَ أَوَّل؟ قَالَ: “آدَمُ“. قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ الله أَوَ نَبِيّ كَانَ؟ قَالَ: “نَعَمْ نَبِيٌّ مُكَلَّمٌ“، قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ: كَمِ الْمُرْسَلُوْنَ؟ قَالَ: “ثَلاَثُمِائَةٍ وَبِضْعَةَ عَشْرَ جَمّاً غَفِيْراً” وَقَالَ مَرَّةً أُخْرَى: “خَمْسَةَ عَشَرَ“. قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ: آدَمُ نَبِيٌّ”. قَالَ: “نَعَمْ نَبِيٌّ مكَلَّمٌ.“
Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu bahwa Abu Dzar berkata: “Aku (Abu Dzar) bertanya: ‘Ya Rasulullah, siapakah nabi pertama?’ Nabi bersabda: ‘Adam’ Aku bertanya: ‘Adam seorang nabi?’ Beliau menjawab: ‘Ya, Nabi yang diajak berbicara.’ Aku bertanya: ‘Ya Rasulullah, berapakah jumlah para rasul?’ Beliau menjawab: ‘Tiga ratus sekian belas orang, jumlah yang banyak.’ Kali lain beliau berkata: ‘Lima belas.’ (tiga ratus lima belas). Aku (Abu Dzar) bertanya: ‘Apakah Adam seorang nabi?’ Beliau menjawab: ‘Ya, nabi yang diajak bicara (oleh Allah Ta’ala).”[2]
رَوَى التِّرْمِذِيُّ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا فَخْرَ وَبِيَدِي لِوَاءُ الْحَمْدِ وَلَا فَخْرَ وَمَا مِنْ نَبِيٍّ يَوْمَئِذٍ آدَمَ فَمَنْ سِوَاهُ إِلَّا تَحْتَ لِوَائِي وَأَنَا أَوَّلُ مَنْ تَنْشَقُّ عَنْهُ الْأَرْضُ
Imam At-Tirmidzi telah meriwayatkan dari Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: “Aku adalah pemimpin anak Adam pada hari kiamat, dan aku tak bermaksud membanggakan diri sedikitpun.[3] Di tangankulah bendera Al-hamd (segala pujian)[4], dan aku tak bermaksud membanggakan diri sedikitpun. Tidak ada seorang nabi pun hari itu, Adam dan lainnya, kecuali berada di bawah benderaku. Dan akulah yang pertama kali dibangkitkan dari tanah.”[5]
Apakah Adam ‘alaihis salam Seorang Rasul?
Jawaban terhadap pertanyaan ini diperselisihkan oleh para ulama. Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa kerasulan itu dimulai sejak Nuh ‘alaihis salam dengan sandaran firman Allah Ta’ala,
“Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: ‘Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya.’” (QS. Asy-Syura, 42: 13).
Juga dengan hadits tentang syafaat,
((ائْـتُوْا نُوْحاً أوَّلَ رَسُوْلٍ)) (رواه البخاري).
“Datanglah kepada Nuh, rasul pertama.” (HR Bukhari).[6]
Hal ini mendorong kita untuk mengetahui perbedaan antara nabi dengan rasul.
Banyak yang berkata bahwa rasul adalah seseorang yang diberi wahyu oleh Allah Ta’ala dengan sebuah syari’at dan diperintahkan untuk menyampaikannya. Sedangkan nabi adalah seseorang yang diberikan wahyu oleh Allah Ta’ala dengan sebuah syari’at dan tidak diperintahkan menyampaikannya.
Definisi ini dihafal oleh kebanyakan para penuntut ilmu.
Namun ketika diperhatikan, perbedaan seperti ini tidaklah teliti, karena mengabaikan tugas dan fungsi nabi—yakni tabligh—dan menganggap bahwa wahyu yang diberikan kepadanya seperti tersimpan begitu saja dan tak bermanfaat bagi siapapun. Kalau begitu lalu apakah tugas seorang nabi kalau tidak menyampaikan (berdakwah)? Padahal kita tahu sejak kecil bahwa diantara sifat yang lazim (harus ada) pada diri para nabi dan rasul adalah shidiq, amanah, tabligh, dan fathanah?
Dapat kita katakan bahwa mekipun terdapat perbedaan antara nabi dan rasul seperti isyarat Al-Quran, “Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasulpun dan tidak (pula) seorang nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan, syaitan pun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu, Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat-Nya dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Haj, 22: 52).
Di mana huruf wawu (artinya “dan”) antara kata ‘rasul’ dan ‘nabi’ adalah huruf ‘athaf yang berfungsi menunjukkan perbedaan, namun terdapat pula kesamaan antara keduanya dalam fungsi tabsyir (memberi kabar gembira) dan indzar (memberi peringatan). Sehingga yang kita ambil tentang perbedaan antara nabi dengan rasul adalah pendapat Al-Alusi yang mengatakan bahwa:
أنَّ الرَّسُوْلَ هُوَ مَنْ أُوْحِيَ إِلَيْهِ بِشَرْعٍ جَدِيْدٍ، وَالنَّبِيُّ هُوَ الْمَبْعُوْثُ لِتَقْدِيْرِ شَرْعِ مَنْ قَبْلَهُ.
“Rasul adalah seseorang yang diberi wahyu oleh Allah Ta’ala dengan syariat baru, sedangkan nabi adalah orang yang diutus untuk menetapkan dan syariat rasul sebelumnya.”
Maksudnya: rasul datang membawa syariat baru atau hukum-hukum yang terinci sebagaimana makna syariat dalam risalah mereka seperti firman Allah Ta’ala, “Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu.” (QS. Asy-Syura, 42: 13).
Sedangkan nabi diutus tidak membawa syariat baru tapi sekadar menetapkan syariat sebelumnya, atau ia datang dengan membawa prinsip umum dakwah yaitu dasar-dasar keimanan kepada Allah Ta’ala dan kaidah-kaidah akhlak yang suci, serta tidak mengandung hukum-hukum yang baru.
Diantara dalil yang menunjukkan bahwa seorang nabi harus menjalankan perannya menyampaikan wahyu yang telah disampaikan kepadanya ialah:
Pertama, firman Allah Ta’ala, “Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi kabar gembira dan peringatan.” (QS. Al-Baqarah, 2: 213).
Ayat ini menerangkan bahwa para nabi adalah para pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan dan hal itu juga adalah tugas para rasul tanpa perbedaan pendapat di kalangan para ulama seperti difirmankan-Nya, “(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nisa, 4: 165).
Kedua, Allah Ta’ala menjelaskan bahwa tugas para nabi Bani Israil dalam firman-Nya terkait dengan Taurat,
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerahkan diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya.” (QS. Al-Maidah, 5: 44).
Mereka memutuskan dengan Taurat dan tentunya menyampaikannya (hukm wa tabligh).
Ketiga, demikian pula ayat yang mengisyaratkan perbedaan antara nabi dan rasul yaitu: “Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasulpun dan tidak (pula) seorang nabi…” (QS. Al-Haj, 22: 52).
Ayat ini dengan tegas menyebutkan kata ‘arsalna’ (Kami telah mengutus) para nabi sebagaimana Allah Ta’ala mengutus para rasul.[7]
Keempat, hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
((إِنَّهُ لَمْ يَكُنْ نَبِيٌّ قَبْلِيْ إِلاَّ كَانَ حَقًّا عَلَيْهِ أَنْ يَدُلَّ أُمَّتَهُ عَلَى خَيْرِ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ وَيُنْذِرُهُمْ شَرَّ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ)). (رواه مسلم).
“Sesungguhnya tidak ada seorang nabi pun sebelumku kecuali diwajibkan kepadanya menunjuki umatnya kepada kebaikan yang ia ketahui dan memperingatkan mereka terhadap keburukan yang ia ketahui.” (HR. Muslim).[8]
Sedangkan pendapat yang mengatakan bahwa nabi diberi wahyu berupa syariat namun tidak menyampaikannya kepada ummatnya, hal ini jelas bertentangan dengan konsekuensi kenabian bahkan masuk kategori menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah swt dan kita wajib menyucikan para nabi dari perbuatan tersebut.
Bersambung:
- Apakah Adam ‘alaihis salam Manusia Pertama?
- Penghormatan dan Pemuliaan Adam ‘alaihis salam
- Pelajaran dari Kisah Adam ‘alaihis salam
Catatan Kaki:
[1] Di belakang tabir artinya ialah seorang dapat mendengar kalam Ilahi akan tetapi dia tidak dapat melihat-Nya seperti yang terjadi kepada nabi Musa ‘alaihis salam.
[2] Musnad Imam Ahmad: V/178, cetakan Al-maktab Al-islami, Beirut.
[3] Maksudnya beliau tidak merasa bangga karena hal itu beliau peroleh semata-mata karena pemberian Allah swt. Dan beliau menyampaikannya semata menaati perintah-Nya agar diketahui oleh ummatnya. (Lihat Tuhfah Al-Ahwadzi tentang syarah hadits ini – Penerjemah).
[4] Maksudnya: karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah makhluk Allah Ta’ala yang paling terpuji, maka beliau pantas mendapatkan panji atau bendera pujian tersebut. (Penerjemah).
[5] Juga diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibnu Majah. Lihat: Al-Fath Al-Kabir: I/274, cetakan Al-Halabi.
[6] Ibnu ‘Asakir dalam At-Tarikh dari Anas. Lihat: Faidul Qadir III/961.
[7] Kata “mengutus” menunjukkan ada ummat atau objek dakwah bagi setiap nabi. Ini menunjukkan bahwa seorang nabi ditugaskan untuk menyampaikan (tabligh) kepada ummatnya. (Penerjemah).
[8] Shahih Muslim: Kitab Al-Imarah. Lihat: An-Nawawi ‘ala Muslim: XII/234, Mathba’ah Mishriyyah.
3 comments
أنَّ الرَّسُوْلَ هُوَ مَنْ أُوْحِيَ إِلَيْهِ بِشَرْعٍ جَدِيْدٍ، وَالنَّبِيُّ هُوَ الْمَبْعُوْثُ لِتَقْدِيْرِ شَرْعِ مَنْ قَبْلَهُ
Mulai Nabi Musa setidaknya sampai kpd Nabi Yahya Nabi Nabi yg diutus ke bani israel memakai hukum taurat,trmasuk Nabi Daud yg menerima zabur,ini membuktikan Rasul belum tentu memakai syariat baru.
Kata Sayyidina Ali Arridha Nabi2 yg memperbarui syariat adalah Nabi2 Ulul azmi sekian dan mohon maaf