Berbakti Kepada Kedua Orangtua
Allah Ta’ala berfirman,
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا
“…dan kami telah mewasiatkan kepada manusia agar berbakti terhadap kedua orang tuanya.” (QS. Al-Ankabut: 8).
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ قَالَ الصَّلَاةُ عَلَى وَقْتِهَا قَالَ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ قَالَ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنِي بِهِنَّ وَلَوْ اسْتَزَدْتُهُ لَزَادَنِي.
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Aku bertanya kepada nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Amal apakah yang paling dicintai Allah?’. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ‘Shalat tepat pada waktunya.’ Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bertanya lagi: ‘Kemudian amal apa lagi?’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ‘Berbakti kepada kedua orang tua.’ Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bertanya lagi: ‘Kemudian amal apa lagi? Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ‘Jihad di jalan Allah’. (Setelah menyampaikan hadits ini) Abdullah nin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata: “Telah disampaikan kepadaku dari Rasuluullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hal-hal ini, seandainya aku menambah pertanyaan (kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) tentu akan ditambahkan kepadaku jawaban lainnya” (HR.Bukhari)
Dalam hadits ini disebutkan bahwa ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu—salah satu ahli fiqih di kalangan shahabat—bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ
“Amal apakah yang paling dicintai Allah?”
Diantara jawaban yang beliau sampaikan adalah,
بِرُّ الْوَالِدَيْنِ
“Berbakti kepada kedua orang tua.”
Dalam hadits ini birrul walidain disebut oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah as-shalatu ‘ala waqtiha, dan sebelum al-jihadu fi sabilillah. Hal ini mengisyaratkan bahwa selain as-shalatu ‘ala waqtiha dan al-jihadu fi sabilillah, birrul walidaian adalah termasuk amal yang utama dan perlu diperhatikan dengan sungguh-sungguh oleh setiap muslim.
Imam Ath-Thabari rahimahullah berkata, “Kenapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya menyebutkan tiga perkara ini? Karena, tiga perkara ini merupakan poros dari ketaatan-ketaatan kepada yang lainnya. Sebab, orang yang menyia-nyiakan shalat yang diwajibkan hingga keluar dari waktunya tanpa ada alasan yang bisa diterima, padahal begitu ringan kerjanya namun besar keutamaannya, maka untuk ketaatan-ketaatan lain, orang ini akan lebih menyia-nyiakan lagi. Orang yang tidak berbakti kepada kedua orang tua padahal begitu banyak hak mereka atasnya, maka kepada orang lain akan lebih tidak berbakti lagi. Begitu juga dengan orang yang meninggalkan jihad melawan orang-orang kafir padahal mereka begitu memusuhi agama, maka berjihad melawan orang yang bukan kafir, seperti orang-orang fasik, ia akan lebih meninggalkan lagi. Dengan demikian, nampak jelas bahwa siapa yang memelihara tiga perkara ini maka ia akan lebih memelihara lagi untuk perkara lainnya, dan siapa yang menyia-nyiakannya maka untuk yang lainnya ia akan lebih menyia-nyiakan lagi.”
Makna Birrul Walidain
Birrul walidain artinya berbudi pekerti yang baik kepada walidain (kedua orang tua). Al-Birr dimaknai husnul khuluq (budi pekerti yang baik) berdasarkan hadits An-Nawasi Ibn Sim’an Al-Anshari yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang makna al-birr dan al-itsm; dia berkata,
سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْبِرِّ وَالْإِثْمِ فَقَالَ الْبِرُّ حُسْنُ الْخُلُقِ وَالْإِثْمُ مَا حَاكَ فِي صَدْرِكَ وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ
“Saya bertanya pada Rasul tentang arti al-Bir dan al-Itsm. Maka (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) menjawab: “Al-Birr adalah budi pekerti yang baik. Sedangkan al-Itsm adalah apa yang muncul di hatimu, dan kamu sendiri tidak senang tatkala manusia mengetahuinya.” (HR. Muslim).
Maka, makna birrul walidain sekurang-kurangnya mencakup sikap: al-ihsaanu ilaihima (berbuat baik kepada keduanya), al-qiyaamu bi huquuqihima (menegakkan hak-hak keduanya), iltizaamu thaa’atihima (komitmen mentaati keduanya), ijtinaabu isaa-atihima (menjauhi perbuatan yang menyakiti keduanya), dan fi’lu maa yurdhiihimaa (melakukan apa-apa yang diridhai keduanya).
Birrul Walidain adalah Perintah Allah Ta’ala
Mengenai birrul walidain ini Allah Ta’ala berfirman,
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا وَإِنْ جَاهَدَاكَ لِتُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
“Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada kedua orangtuanya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya. Hanya kepada-Ku-lah kembalimu, lalu Aku kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. Al-Ankabut: 8).
Sebab turunnya ayat ini ialah berkenaan dengan peristiwa Sa’ad bin Abu Waqas radhiyallahu ‘anhu ketika masuk Islam. Ia adalah salah seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang termasuk as-sabiqunal awwalun; Ibunya bernama Hamnah binti Abu Sufyan. Setelah Hamnah mengetahui bahwa Sa’ad secara sembunyi-sembunyi masuk Islam, maka sang ibu sama sekali tidak rela anaknya meninggalkan agama berhala. Ia memprotes tindakan Sa’ad dan bersumpah, “Hai Sa’ad, agama apa pula yang baru engkau ikuti itu? Demi Allah aku tak akan makan dan minum sampai engkau kembali kepada agama leluhurmu. Atau relakah aku mati sedang engkau menanggung malu sepanjang zaman gara-gara engkau meninggalkan agama kita? Engkau pasti dicap orang kelak sebagai pembunuh ibu kandungmu sendiri”.
Hamnah kemudian tidak makan dan minum sehari semalam lamanya dengan harapan anaknya kembali murtad dari Islam. Sa’ad tampaknya tidak menghiraukan protes dari ibunya itu. Di hari yang lain kembali Hamnah meninggalkan makan dan minum. Waktu itu Sa’ad datang menengok ibunya dan berkata, “Ibuku, andaikata engkau punya seratus nyawa, dan nyawa itu keluar dari tubuhmu satu persatu, aku tetap tidak akan tinggalkan keyakinanku” kata Sa’ad dengan tegas, “Terserah pada ibulah, apa ibu mau makan atau tidak”. Akhirnya Hamnah berputus asa, tidak ada harapan lagi anaknya akan berbalik kepada agama berhala. Karena tak tahan akhirnya ia makan dan minum seperti biasa. Peristiwa tersebut diabadikan oleh Allah Ta’ala dengan menurunkan ayat di atas. Allah Ta’ala membenarkan tindakan Sa’ad, yakni tetap berbuat baik kepada orang tua, tetapi tidak boleh mengikuti kemauannya untuk berbuat syirik.
Mengenai larangan taat kepada siapa pun jika diajak berbuat maksiat kepada Allah Ta’ala disebutkan dalam hadits,
لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِيْ مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ
“Tidak boleh taat kepada makhluk (manusia) dalam mendurhakai Khaliq.” (H.R. Ahmad dan Hakim)
Targhib fi Birril Walidain (Motivasi tentang Birrul Walidain)
Pertama, birrul walidain termasuk akhlak para nabi.
Allah Ta’ala menyebut Nabi Yahya bin Zakariya ‘alaihimas salam dengan ungkapan,
وَبَرًّا بِوَالِدَيْهِ وَلَمْ يَكُنْ جَبَّارًا عَصِيًّا
“Dan seorang yang berbakti kepada kedua orang tuanya, dan bukanlah ia orang yang sombong lagi durhaka.” (QS. Maryam: 14)
Juga menceritakan tentang Nabi Isa ‘alaihis salam dengan ungkapan,
قَالَ إِنِّي عَبْدُ اللَّهِ آَتَانِيَ الْكِتَابَ وَجَعَلَنِي نَبِيًّا وَجَعَلَنِي مُبَارَكًا أَيْنَ مَا كُنْتُ مَا دُمْتُ حَيًّا وَبَرًّا بِوَالِدَتِي وَلَمْ يَجْعَلْنِي جَبَّارًا شَقِيًّا
“Berkata Isa: ‘Sesungguhnya aku ini hamba Allah, Dia memberiku Al Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang nabi, dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup; berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka.’” (QS. Maryam: 30-32)
Kedua, birrul walidain lebih diutamakan dari jihad.
Abdullah bin Ash ia berkata,
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَاسْتَأْذَنَهُ فِى الْجِهَادِ فَقَالَ أَحَىٌّ وَالِدَاكَ . قَالَ نَعَمْ . قَالَ فَفِيهِمَا فَجَاهِدْ
“Seorang laki-laki datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lalu meminta kepada beliau untuk berjihad. Maka beliau bersabda, ‘Apakah kedua orang tuamu masih hidup?’ Ia menjawab, ‘Ya.’ Beliau pun bersabda, ‘Maka bersungguh-sungguhlah dalam berbakti kepada keduanya.’” (HR. Al Bukhari dan Muslim)
أَقْبَلَ رَجُلٌ إِلَى نَبِىِّ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ أُبَايِعُكَ عَلَى الْهِجْرَةِ وَالْجِهَادِ أَبْتَغِى الأَجْرَ مِنَ اللَّهِ. قَالَ فَهَلْ مِنْ وَالِدَيْكَ أَحَدٌ حَىٌّ. قَالَ نَعَمْ بَلْ كِلاَهُمَا. قَالَ فَتَبْتَغِى الأَجْرَ مِنَ اللَّهِ. قَالَ نَعَمْ. قَالَ فَارْجِعْ إِلَى وَالِدَيْكَ فَأَحْسِنْ صُحْبَتَهُمَا
Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, “Saya berbai’at kepadamu untuk berhijrah dan berjihad, aku mengharapkan pahala dari Allah.” Beliau bertanya, “Apakah salah satu orang tuamu masih hidup?” Ia menjawab, “Ya, bahkan keduanya masih hidup.” Rasulullah bertanya lagi, “Maka apakah kamu masih akan mencari pahala dari Allah?” Ia menjawab, “Ya.” Maka beliau pun bersabda, “Pulanglah kepada kedua orang tuamu lalu berbuat baiklah dalam mempergauli mereka.” (HR. Muslim)
أَنَّ جَاهِمَةَ جَاءَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَدْتُ أَنْ أَغْزُوَ وَقَدْ جِئْتُ أَسْتَشِيرُكَ فَقَالَ هَلْ لَكَ مِنْ أُمٍّ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَالْزَمْهَا فَإِنَّ الْجَنَّةَ تَحْتَ رِجْلَيْهَا
Jahimah pernah datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, “Ya Rasulullah, aku ingin berperang dan sungguh aku datang untuk meminta pendapatmu.” Beliau bertanya, “Apakah engkau masih memiliki ibu?” Ia menjawab, “Ya.” Maka beliau pun bersabda, “Tetaplah bersamanya karena sesungguhnya surga ada di kakinya.” (HR. Ibnu Majah dan An Nasa’i)
Ketiga, kedua orang tua adalah pihak keluarga yang paling berhak diperlakukan dengan baik.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَحَقُّ بِحُسْنِ صَحَابَتِى قَالَ « أُمُّكَ » . قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ « أُمُّكَ » . قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ « أُمُّكَ » . قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ « ثُمَّ أَبُوكَ »
“Seorang pria pernah mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, ‘Siapa dari kerabatku yang paling berhak aku berbuat baik?’ Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, ‘Ibumu’. Dia berkata lagi, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, ‘Ibumu.’ Dia berkata lagi, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, ‘Ibumu’. Dia berkata lagi, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, ‘Ayahmu’.” (HR. Bukhari dan Muslim)
An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Dalam hadits ini terdapat dorongan untuk berbuat baik kepada kerabat dan ibu lebih utama dalam hal ini, kemudian setelah itu adalah ayah, kemudian setelah itu adalah anggota kerabat yang lainnya. Para ulama mengatakan bahwa ibu lebih diutamakan karena keletihan yang dia alami, curahan perhatiannya pada anak-anaknya, dan pengabdiannya. Terutama lagi ketika dia hamil, melahirkan (proses bersalin), ketika menyusui, dan juga tatkala mendidik anak-anaknya sampai dewasa.” (Syarh Muslim, 8/331)
Hal senada disebutkan dalam hadits dari Al Miqdam bin Ma’dikarib, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ يُوصِيكُمْ بِأُمَّهَاتِكُمْ ثَلَاثًا إِنَّ اللَّهَ يُوصِيكُمْ بِآبَائِكُمْ إِنَّ اللَّهَ يُوصِيكُمْ بِالْأَقْرَبِ فَالْأَقْرَبِ
“Sesungguhnya Allah telah mewasiyatkan kalian supaya berbakti kepada ibu-ibu kalian -beliau mengucapkan hingga tiga kali-, berbakti kepada bapak-bapak kalian, berbakti kepada kaum kerabat kalian, lalu kepada kerabat yang lebih dekat lagi.” (HR. Ibnu Majah)
Keempat, tetap wajib birrul walidain walaupun mereka tergolong musyrikin.
Di awal risalah ini telah dikemukakan perihal Sa’ad bin Abi Waqash, Allah Ta’ala membenarkan tindakan Sa’ad, yakni tetap berbuat baik kepada orang tua, tetapi tidak boleh mengikuti kemauannya untuk berbuat syirik.
Hadits lain yang menyebutkan kebolehan berbuat baik kepada orang tua yang musyrik dapat kita ketahui dari riwayat berikut,
عَنْ أَسْمَاءَ بِنْتِ أَبِي بَكْرٍ قَالَتْ قَدِمَتْ عَلَيَّ أُمِّي وَهِيَ مُشْرِكَةٌ فِي عَهْدِ قُرَيْشٍ إِذْ عَاهَدَهُمْ فَاسْتَفْتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدِمَتْ عَلَيَّ أُمِّي وَهِيَ رَاغِبَةٌ أَفَأَصِلُ أُمِّي قَالَ نَعَمْ صِلِي أُمَّكِ
Dari Asma` binti Abu Bakar ia berkata, “(Ketika terjadi gencatan senjata dengan kaum Quraisy) ibuku mendatangiku yang ketika itu masih musyrik. Lalu aku meminta pendapat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, saya bertanya, ‘Wahai Rasulullah, Ibuku mendatangiku karena rindu padaku. Bolehkah aku menjalin silaturahmi dengan Ibuku?’ Beliau menjawab, ‘Ya, sambunglah silaturahmi dengan ibumu.’” (HR. Muslim)
Fadhlu Birril Walidain (Keutamaan Birrul Walidain)
Pertama, birrul walidain termasuk amal yang dicintai Allah Ta’ala. Hadits di awal risalah ini menunjukkan hal ini dengan sangat jelas.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ قَالَ الصَّلَاةُ عَلَى وَقْتِهَا قَالَ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ قَالَ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنِي بِهِنَّ وَلَوْ اسْتَزَدْتُهُ لَزَادَنِي.
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Aku bertanya kepada nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Amal apakah yang paling dicintai Allah?’. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ‘Shalat tepat pada waktunya.’ Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bertanya lagi: ‘Kemudian amal apa lagi?’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ‘Berbakti kepada kedua orang tua.’ Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bertanya lagi: ‘Kemudian amal apa lagi? Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ‘Jihad di jalan Allah’. (Setelah menyampaikan hadits ini) Abdullah nin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata: “Telah disampaikan kepadaku dari Rasuluullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hal-hal ini, seandainya aku menambah pertanyaan (kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) tentu akan ditambahkan kepadaku jawaban lainnya” (HR.Bukhari)
Kedua, birrul walidain menjadi sebab diampuninya dosa besar.
أَتَى النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّى أَصَبْتُ ذَنْبًا عَظِيمًا فَهَلْ لِى مِنْ تَوْبَةٍ قَالَ هَلْ لَكَ مِنْ أُمٍّ. قَالَ لاَ. قَالَ هَلْ لَكَ مِنْ خَالَةٍ. قَالَ نَعَمْ. قَالَ فَبِرَّهَا
Seorang laki-laki datang menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, “Sesungguhnya aku telah melakukan satu dosa yang sangat besar. Apakah aku bisa bertaubat?” Beliau balik bertanya, “Apakah engkau masih memiliki ibu?” ia menjawab, “Tidak.” Beliau bertanya lagi, “Apakah engkau masih memiliki bibi (saudari ibu)?” Ia menjawab, “Ya.” Maka beliau bersabda, “Berbaktilah kepadanya.” (HR. Tirmidzi)
Ketiga, birrul walidain menjadi salah satu sebab dipanjangkannya umur dan ditambahnya rizki.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُمَدَّ لَهُ فِى عُمْرِهِ وَيُزَادَ لَهُ فِى رِزْقِهِ فَلْيَبَرَّ وَالِدَيْهِ وَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
“Siapa yang ingin dipanjangkan umurnya dan ditambah rezekinya, maka hendaklah ia berbakti kepada kedua orang tuanya dan menyambung silaturahim” (HR. Ahmad)
Keempat, birrul walidain adalah salah satu bentuk ketaatan kepada Allah Ta’ala dan menjadi sebab teraihnya keridhaan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
طَاعَةُ اللَّهِ طَاعَةُ الْوَالِدِ، وَمَعْصِيَةُ اللَّهِ مَعْصِيَةُ الْوَالِدِ
“Taat kepada Allah (salah satu bentuknya) adalah taat kepada orang tua. Durhaka terhadap Allah (salah satu bentuknya) adalah durhaka kepada orang tua” (HR. Thabrani)
رِضَا الرَّبِّ فِى رِضَا الْوَالِدِ وَسَخَطُ الرَّبِّ فِى سَخَطِ الْوَالِدِ
“Keridhaan Tuhan ada pada keridhaan orang tua dan kemurkaan Tuhan ada pada kemurkaan orang tua” (HR. Tirmidzi)
Kelima, birrul walidain adalah salah satu amal yang menghantarkan ke surga.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« رَغِمَ أَنْفُهُ ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُهُ ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُهُ ». قِيلَ مَنْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « مَنْ أَدْرَكَ وَالِدَيْهِ عِنْدَ الْكِبَرِ أَحَدَهُمَا أَوْ كِلَيْهِمَا ثُمَّ لَمْ يَدْخُلِ الْجَنَّةَ »
“Sungguh terhina, sungguh terhina, sungguh terhina.” Ada yang bertanya, “Siapa, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “(Sungguh hina) seorang yang mendapati kedua orang tuanya yang masih hidup atau salah satu dari keduanya ketika mereka telah tua, namun justru ia tidak masuk surga.” (HR. Muslim)
الْوَالِدُ أَوْسَطُ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ فَإِنْ شِئْتَ فَأَضِعْ ذَلِكَ الْبَابَ أَوِ احْفَظْهُ
“Orang tua adalah paling pertengahan dari pintu-pintu surga. Jika kamu mau, sia-siakanlah pintu itu (kau tidak mendapat surga) atau jagalah ia (untuk mendapatkan pintu surga itu).” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Unsur-unsur Birrul Walidain
Ketika kita ingin berbakti kepada kedua orang tua, ada unsur-unsur sikap dan akhlak yang harus kita penuhi, yaitu:
Pertama, al–muhafadhatu ‘alal qaul (memelihara tutur kata)
Seorang anak hendaknnya menjaga dan memelihara tutur katanya di hadapan orang tua, terlebih terhadap mereka yang sudah berusia lanjut; jangan sampai perkataan atau perbuatannya menyinggung perasaan mereka, sebagaimana dijelaskan oleh Allah Ta’ala,
وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS. Al-Isra, 17: 23)
Kedua, al-khafdhul janaah (merendahkan ‘sayap’, yakni bersikap sopan).
Gestur seorang anak hendaknya menunjukkan sikap merendahkan diri kepada kedua orangtuanya dengan penuh kasih sayang dan mendoakan mereka agar keduanya dikasihi Allah Ta’ala.
Allah Ta’ala berfirman,
وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: ‘Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil’” (QS. Al-Isra, 17: 24)
.Ketiga, at-tha’atul mushahabah (taat dan akrab)
Seorang anak hendaknya menanamkan ketaatan dan keakraban terhadap kedua orang tuanya. Manakala terpaksa harus tidak mentaatinya pun—karena perintah keduanya mengarah kepada kemaksiatan—sikap mushahabah (keakraban) tetap harus dijaga. Allah Ta’ala berfirman,
وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَىٰ أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا ۖ وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا ۖ وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ۚ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. Luqman, 31:15)
Keempat, tsabatul birri ba’da wafatihima (tetap berbakti setelah keduanya wafat).
Kita tetap berkewajiban berbakti kepada kedua orang tua meski keduanya telah wafat. Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa Allah Ta’ala memberikan kesempatan kepada manusia untuk memiliki simpanan amal kebaikan setelah wafatnya yang dapat diperoleh diantaranya dari anak-anaknya yang shaleh dan shalehah.
وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَىٰ وَأَنَّ سَعْيَهُ سَوْفَ يُرَىٰ ثُمَّ يُجْزَاهُ الْجَزَاءَ الْأَوْفَىٰ
“…dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya, dan bahwasanya usaha itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya). Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna…” (QS. An-Najm ayat, 53: 39-41)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang shaleh” (HR. Muslim)
Juga diriwayatkan dari Abu Usaid Malik bin Rabi’ah As-Sa’idi, ia berkata,
بَيْنَا نَحْنُ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا جَاءَهُ رَجُلٌ مِنْ بَنِى سَلِمَةَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلْ بَقِىَ مِنْ بِرِّ أَبَوَىَّ شَىْءٌ أَبَرُّهُمَا بِهِ بَعْدَ مَوْتِهِمَا قَالَ « نَعَمِ الصَّلاَةُ عَلَيْهِمَا وَالاِسْتِغْفَارُ لَهُمَا وَإِنْفَاذُ عَهْدِهِمَا مِنْ بَعْدِهِمَا وَصِلَةُ الرَّحِمِ الَّتِى لاَ تُوصَلُ إِلاَّ بِهِمَا وَإِكْرَامُ صَدِيقِهِمَا ».
“Suatu saat kami pernah berada di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika itu ada datang seseorang dari Bani Salimah, ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, apakah masih ada bentuk berbakti kepada kedua orang tuaku ketika mereka telah meninggal dunia?’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Iya (yaitu dengan) mendo’akan keduanya, meminta ampun untuk keduanya, memenuhi janji mereka setelah meninggal dunia, menjalin hubungan silaturahim (kekerabatan) dengan keluarga kedua orang tua yang tidak pernah terjalin dan memuliakan teman dekat keduanya.’” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)
Sekilas Kisah-kisah Para Nabi dan Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Mempraktekkan Birrul Walidain
Nabi Ibrahim ‘alaihis salam
Nabi Ibrahim ‘alaihis salam mempunyai ayah yang bernama Azar yang aqidah-nya berseberangan dengan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Tetapi beliau tetap menunjukan sikap birrul walidain yang dilakukan seorang anak kepada bapaknya. Dalam menegur ayahnya, beliau menggunakan kata-kata yang santun dan ketika mengajaknya agar mengikuti jalan yang lurus, dipilihnya tutur kata yang lemah lembut. Hal ini dikisahkan oleh Allah Ta’ala melalui firman-Nya,
وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِبْرَاهِيمَ ۚ إِنَّهُ كَانَ صِدِّيقًا نَبِيًّا إِذْ قَالَ لِأَبِيهِ يَا أَبَتِ لِمَ تَعْبُدُ مَا لَا يَسْمَعُ وَلَا يُبْصِرُ وَلَا يُغْنِي عَنْكَ شَيْئًا يَا أَبَتِ إِنِّي قَدْ جَاءَنِي مِنَ الْعِلْمِ مَا لَمْ يَأْتِكَ فَاتَّبِعْنِي أَهْدِكَ صِرَاطًا سَوِيًّا يَا أَبَتِ لَا تَعْبُدِ الشَّيْطَانَ ۖ إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ لِلرَّحْمَٰنِ عَصِيًّا يَا أَبَتِ إِنِّي أَخَافُ أَنْ يَمَسَّكَ عَذَابٌ مِنَ الرَّحْمَٰنِ فَتَكُونَ لِلشَّيْطَانِ وَلِيًّا
“Ceritakanlah (Hai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam Al Kitab (Al Quran) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan lagi seorang Nabi. Ingatlah ketika ia berkata kepada bapaknya; ‘Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu sedikitpun? Wahai bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebahagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus. Wahai bapakku, janganlah kamu menyembah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pemurah. Wahai bapakku, sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa azab dari Tuhan Yang Maha Pemurah, maka kamu menjadi kawan bagi syaitan’” (QS. Maryam, 19 : 41- 45)
Muhammad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditinggal wafat oleh ayahnya, Abdullah bin Abdul Muthalib, saat beliau masih dalam kandungan ibunya, Aminah. Ketika berusia 6 tahun, beliau diajak ibunya untuk berziarah ke makam ayahnya dengan perjalanan yang cukup jauh. Dalam perjalanan pulang, ibunda beliau jatuh sakit tepatnya didaerah Abwa hingga akhirnya meninggal dunia. Setelah itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diasuh oleh pamannya Abu Thalib. Rasulullah shallallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukan sikap yang mulia kepada pamannya walaupun berbeda aqidah. Rasulullah shallallallahu ‘alaihi wa sallam pun menunjukkan sikap berbakti kepada bibinya yang bernama Shafiyah binti Abdil Mutthalib.
Abu Bakar As–Shiddiq radhiyallahu ‘anhu
Abu Bakar As-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu adalah sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang patut diteladani dalam hal berbaktinya terhadap orang tua. Disaat orang tuanya telah memasuki usia yang sangat udzur, bukan hanya perkataan yang lemah lembut dan sikap yang baik saja yang ditunjukkannya, melainkan beliau juga dapat mengajak bapaknya, yakni Abu Quhafah untuk masuk Islam pada peristiwa Futuh Makkah. Hal ini telah dinanti oleh Abu Bakar As-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu dengan cukup lama.
Sa’ad bin Abi Waqash radhiyallahu ‘anhu
Kisahnya telah disebutkan sebelumnya; Sa’ad bin Abi Waqash radhiyallahu ‘anhu menerapkan bagaimana birrul walidain kepada orangtuanya yang musyrik dengan tetap mempertahankan keimanan kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya. Saat ibunya mengetahui bahwa Sa’ad memeluk agama Islam, ibunya mempengaruhinya agar dia keluar dari Islam, sedangkan Sa’ad terkenal sebagai anak muda yang sangat berbakti kepada orang tuanya. Ibunya sampai mengancam jika Sa’ad tidak keluar dari Islam, maka ia tidak akan makan dan minum sampai mati. Dengan kata-kata yang lembut Sa’ad merayu ibunya , “Jangan kau lakukan hal itu wahai Ibunda, tetapi saya tetap tidak akan meninggalkan agama ini walau apapun resikonya”. Tidak bosan-bosannya Sa’ad menjenguk ibunya dan tetap berbuat baik kepadanya serta menegaskan hal yang sama dengan lemah lembut sampai suatu ketika ibunya menyerah dan menghentikan mogok makannya.
Demikianlah sekelumit pembahasan tentang birrul walidain. Semoga Allah Ta’ala senantiasa membimbing kita menjadi orang-orang yang mampu berbakti kedua orang tua.
Wallahu A’lam….