Diasuh Sang Ibu
Syaikh Shafiyur Rahman al-Mubarakfuri menyebutkan, dengan adanya peristiwa pembelahan dada atas diri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itulah yang membuat Halimah as-Sa’diyah mengembalikannya ke pangkuan ibunya Aminah. Halimah khawatir terjadi apa-apa dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun hidup bersama dengan ibundanya tercinta.
Setelah beberapa lama tingal bersama ibunya, pada usia enam tahun, sang ibu mengajaknya berziarah ke makam suaminya tak jauh dari Yatsrib. Maka berangkatlah mereka keluar dari Makkah, menempuh berjalan sepanjang sekitar 500 km, ditemani Ummu Aiman dan dibiayai Abdul Muththhalib. Di tempat tujuan, mereka menetap selama sebulan.
Setelah itu mereka kembali ke Makkah. Namun di tengah perjalanan, ibunya menderita sakit dan akhirnya meninggal di perkampungan Abwa’ yang terletak antara Makkah dan Madinah.
Ini ujian yang sangat besar bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di masa usianya yang belum masuk SD dalam umur anak-anak hari ini, ia sudah kehilangan kedua orangtuanya. Ayahnya wafat saat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kandungan ibunya. Sedangkan sang ibu meninggal kala usia Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam belum sempurna enam tahun.
Di Bawah Asuhan Kakek
Sang kakek Abdul Muththalib, sangat iba terhadap cucunya yang sudah menjadi yatim piatu di usianya yang masih dini. Maka, dibawalah sang cucu ke rumahnya, diasuh dan dikasihi melebihi anak-anaknya sendiri.
Saat itu Abdul Muththalib memiliki tempat duduk khusus di bawah Ka’bah, tidak ada seorang pun yang berani duduk di atasnya, sekalipun anak-anaknya. Mereka hanya berani duduk di sisinya. Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam—yang saat itu masih anak-anak—justru bermain-main dan duduk di atasnya. Tentu saja paman-pamannya mengambil dan menariknya. Namun ketika sang kakek melihat hal tersebut, ia malah melarang mereka seraya berkata, “Biarkan dia, demi Alah, anak ini punya kedudukan sendiri.”
Akhirnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali duduk di majlisnya, diusapnya punggung cucunya tersebut dengan suka cita melihat apa yang mereka perbuat.
Abdul Muththalin sangat menyayangi cucunya itu. Ia sering kali meminta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melakukan sesuatu dan selalu berhasil. Abdul Muththalib sangat senang ketika cucunya mampu melakukan apa yang diminta.
Dikisahkan, suatu saat Abdul Muththalib meminta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mencarikan seekor untanya yang belum kembali. Namun hingga cukup lama, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tak kunjung datang. Muncul kekhawatirang yang sangat dalam diri Abdul Muththalib.
Ketika tiba-tiba Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang sambil menggiring unta, betapa senangnya Abdul Muththalib. Ia pun berseru, “Sungguh aku merasa sedih kehilanganmu, seperti seorang wanita yang meratapi kehilangan anak selamanya,” (HR ath-Thabrani dan dishahihkan oleh Ibrahim al-Ali dalam kitabnya Shahih as-Sirah Nabawiyah).
Ini juga pelajaran bagi kita bahwa pendidikan kemandirian kepada anak sejak kecil harus dilakukan. Abdul Muththalib sangat sayang kepada cucunya. Namun bukan lantaran sayang, ia lalu memanjakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak pernah menyuruhnya melakukan apa pun. Justru Abdul Muththalib sering meminta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melakukan sesuatu untuk mendidik jiwa kemandirian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Abdul Muththalib juga sering membawa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam pertemuan-pertemuan besar bersama tokoh-tokoh Quraisy. Beliau mempersilakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk duduk di sampingnya dan memperkenalkannya kepada orang banyak. Tidak heran jika di usianya yang masih kecil, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah dikenal banyak kalangan. Dikenal sebagai anak yang mandiri, jujur dan bisa dipercaya.
Namun lagi-lagi kasih sayang sang kakek tak berlangsung lama dirasakan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam kecil. Saat Rasullullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berusia 8 tahun, kakeknya meninggal dunia di Makkah. Sebelum wafat beliau berpesan agar cucunya tersebut dirawat oleh paman dari pihak bapaknya yaitu Abu Thalib.
Di Pangkuan Sang Paman
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berada dalam asuhan pamannya yang juga sangat mencintainya. Abu Thalib merawatnya bersama anak-anaknya yang lain, bahkan lebih disayangi dan dimuliakan. Begitu seterusnya Abu Thalib selalu di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, merawatnya, melindungi dan membelanya, bahkan hingga beliau di angkat menjadi Rasul. Hal tersebut berlangsung tidak kurang selama 40 tahun.
Selama berada dalam pangkuan pamannya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati masa tarbiyah ilahiyah. Allah menyiapkan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai calon seorang nabi yang akan memimpin umat sedunia. Untuk itu, ada beberapa hal yang disiapkan Allah atas nabi-Nya sebelum menjadi Rasul.
Pertama, manajerial dan leadership. Hal ini tampak pada aktivitas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menggembali ternak di usianya yang belia. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah tidak mengutus seorang nabi melainkan ia pernah menggembali kambing.”
Para shahabat bertanya, “Apakah engkau juga?”
“Ya, aku pernah menggembalakan kambing milik salah seorang penduduk Makkah dengan imbalan beberapa qirath,” jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (HR Bukhari).
Bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, menggembalakan kambing adalah pekerjaan yang bisa menenangkan jiwanya. Ia bisa menikmati indahnya hamparan rumput di tengah sahara.
Al-Hafidzh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani berkata, “Para ulama menyampaikan, bahwa hikmah di balik profesi para nabi sebagai penggembala kambing ialah agar memiliki pribadi yang tawadhu’ (rendah hati), terbiasa hati mereka dengan pengasingan (mandiri), dan sebagai tahapan sebelum mengatur umat-umatnya..” [Fat-hul Bari, 6/439].
Lebih dari itu, aktivitas menggembala adalah ajang latihan mengembangkan beberapa sisi leadership. Menggembala akan memiliki manfaat kepemimpinan:
- Pathfinding (mencari) padang gembalaan yang subur;
- Directing (mengarahkan) menggiring ternak ke padang gembalaan;
- Controlling (mengawasi) agar tidak tersesat atau terpisah dari kelompok;
- Protecting (melindungi) dari hewan pemangsa dan pencuri;
- Reflecting (perenungan) alam, manusia, dan ciptaan Allah
Selain itu, profesi menggembalakan kambing bagi Nabi adalah sarana memupuk jiwa kemandirian secara ekonomi. Sebab, dengan menggembala kambing ia menerima upah. Bukan jumlahnya yang penting tapi nilai dari hasil usaha itu sendiri.
Kedua, belajar berbisnis. Saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berusia 12 tahun, Abu Thalib mengajaknya berdagang ke negeri Syam. Sesampainya di perkampungan Bushra yang waktu itu masuk wilayah negeri Syam, mereka disambut oleh seorang pendeta bernama Buhaira. Semua rombongan turun memenuhi jamuan Bahira kecuali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallama.
Pada pertemuan tersebut, Abu Thalib menceritakan perihal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sifat-sifatnya kepada pendeta Buhaira. Setelah mendengar ceritanya, sang pendeta langsung memberitahukan bahwa anak tersebut akan menjadi pemimpin manusia sebagaimana yang dia ketahui ciri-cirinya dari kitab-kitab dalam agamanya. Maka dia meminta Abu Thalib untuk tidak membawa anak tersebut ke negeri Syam, karena khawatir di sana orang-orang Yahudi akan mencelakainya. Akhirnya Abu Thalib memerintahkan anak buahnya untuk membawa pulang kembali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Makkah.
Namun bukan berarti karir Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berbisnis berhenti. Setelah kondisi cukup nyaman dan usia Nabi sudah memasuki usia 15 tahun ke atas, ia pun ikut kembali melakukan pengembaraan bisnis. Sejarah mencatat bahwa beliau pernah ke Yaman, Irak, Bushra, Yordania, Damaskus, dan Bahrain (Lihat di buku Muhammad Sebagai Seorang Pedagang karya Afzalurahman hlm 6-7).
Bahkan, profesi inilah yang mengantarkan beliau berkenalan dengan Khadijah. Selanjutnya, setelah menikah dengan Khadijah, perjalanan bisnis Nabi semakin luas. Dengan demikian, di usianya yang muda, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah menjadi pedagang regional karena wilayah yang ia jelajahi sudah meliputi hampir semua jazirah Arab (Baca: Beginilah Rasulullah Berbisnis karya Hepi Andi Bastoni, terbitan Pustaka al-Bustan).
Ketiga, berkecimpung di dunia militer. Pada usia 15 tahun, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ikut serta dalam perang Fijar yang terjadi antara suku Quraisy yang bersekutu dengan Bani Kinanah melawan suku Qais Ailan. Dan peperangan dimenangkan oleh suku Quraisy. Pada peperangan tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membantu paman-pamannya menyiapkan alat panah.
Ini juga pelajaran bagi kita agar memperkenal dunia militer sejak kecil kepada anak. Generasi kita harus mendapatkan tarbiyah askariyah, pendidikan ketentaraaan. Bukan untuk berkelahi tapi memupuk jiwa perlawanan dalam diri mereka dan melatih fisik agar menjadi kuat.
Keempat, belajar diplomasi dan negosiasi. Setelah perang Fijar usai, diadakanlah perdamaian yang dikenal dengan istilah Hilful Fudhul, disepakati pada bulan Dzulqaidah yang termasuk bulan Haram, di rumah Abdullah bin Jud’an At-Taimi.
Semua kabilah dari suku Quraisy ikut dalam perjanjian tersebut. Di antara isinya adalah kesepakatan dan upaya untuk selalu membela siapa saja yang dizalimi dari penduduk Mekkah. Mereka akan menghukum orang yang berbuat zalim sampai dia mengembalikan hak-haknya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ikut serta menyaksikan perjanjian tersebut. Bahkan setelah menjadi Rasul, beliau masih mengingatnya dan memujinya, seraya berkata, “Saya telah menyaksikan perjanjian damai di rumah Abdullah bin Jud’an yang lebih saya cinta dari unta merah. Seandainya saya diundang lagi setelah masa Islam, niscaya saya akan memenuhinya.”
Bagian ini juga tak kalah pentingnya. Jauh sebelum menjadi Nabi, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah dilatih menjadi seorang negosiator yang ulung. Beliau hadir dalam majelis tersebut untuk belajar memutuskan perkara. Berbekal pengalaman ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mampu memenangkan berbagai negosiasi, termasuk di antaranya Shulhul Hudaibiyah.