Syaikh Yusuf Qaradhawi bercerita tentang pengalamannya berdakwah di masa mudanya; saat itu beliau diundang berceramah di bulan Ramadhan, tepatnya di malam ke 17 yang pagi harinya menurut catatan ahli tarikh adalah hari dimana terjadi pertempuran Badar Kubra. Maka Syaikh Qaradhawi kemudian memberikan ceramah berkaitan dengan peristiwa bersejarah itu.
Tampaknya masyarakat yang hadir bisa menerima ceramah dengan baik. Mereka mengakui bahwa diantara hal yang tidak mereka ketahui adalah sejarah agama dan sirah Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam. Namun ternyata ada seorang yang tidak tertarik pada pembahasan ini sama sekali, yaitu seorang Syaikh senior yang biasa mengajar agama di desa tersebut. Bahkan , dia juga imam di masjid tempat Syaikh Qaradhawi berceramah.
Syaikh senior itu lebih senang pembahasan fiqih ibadah. Bahkan di sepanjang malam-malam bulan Ramadhan, ia mengajarkan tentang cara-cara istinja, hal-hal yang wajib dan sunnah dalam wudhu, hal yang mustahab, hal-hal yang membatalkan dan yang menghalanginya, soal air yang boleh untuk bersuci dan yang tidak boleh, dan lain sebagainya.
Syaikh senior tersebut berkata kepada Syaikh Qaradhawi: “Ceramah Anda tadi sangat bagus. Tapi, yang lebih berguna adalah mengajarkan kepada mereka pada malam-malam Ramadhan ini hal-hal yang termasuk urusan agama.”
Syaikh Qaradhawi menjawab: “Sirah Nabi dan berbagai peperangan yang dialaminya, apakah tidak termasuk urusan agama? Padahal Sa’ad bin Abi Waqash—seorang sahabat Nabi—telah mengatakan: ‘Kami menceritakan berbagai peperangan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam kepada anak-anak kami sebagaimana kami mengajarkan kepada mereka surat-surat Al-Qur’an!’”
Syaikh senior itu berkata: “Maksud saya agar mereka mempelajari cara wudhu dan mandi dengan segala syarat dan rukunnya serta wajib dan sunnahnya, dan seterusnya…sebab shalat tanpa itu semua menjadi tidak sah!”
Syaikh Qaradhawi lalu bertanya: “Wahai Syaikh yang mulia, Anda tentu hafal Al-Qur’an, coba tunjukkan dalam berapa ayat Allah menuturkan soal wudhu, mandi dan segala hal yang berkaitan dengan thaharah?”
Syaikh senior itu terdiam, tidak sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. Syaikh Qaradhawi pun lalu berkata kepadanya: “Itu semua hanya disebut dalam satu ayat. Yaitu dalam ayat keenam dari surat Al-Maidah. Disitu telah diungkapkan secara rinci hal-hal yang berkaitan dengan wudhu , mandi dan tahaharah. Ada memang ayat lain yang juga menuturkannya, tapi secara global, yaitu ayat ke 43 dari surat An-Nisa.”
Syaikh Qaradhawi bertanya lagi: “Dan dalam berapa ayatkah, Allah menuturkan soal jihad dan peperangan di jalan Allah?”
Syaikh senior itu diam tidak menjawab lagi. Syaikh Qaradhawi kemudian berkata: “Kita jumpai dalam Al-Qur’an, bahkan sejumlah surat yang nama dan sekaligus temanya menyangkut soal jihad. Misalnya surat Al-Anfal (rampasan perang), At-Taubah (pertobatan dari orang-orang yang enggan berjihad), Al-Ahzab (pasukan koalisi), Al-Fath (kemenangan), As-Shaf (barisan), Al-Hasyr (pengusiran Yahudi), Al-hadid (besi), Al-‘Adiyat (kuda perang), dan An-Nashr (pertolongan Allah).
Ada lagi sejumlah surat, yang dalam menuturkan soal jihad dan peperangan ini hanya dalam beberapa ayat saja, misalnya: Al-Baqarah, Ali Imran, An-Nisa, dan lain sebagainya.
Jadi bagaimana mungkin kita mengabaikan masalah yang oleh Al-Qur’an diperhatikan secara luar biasa dengan menyebutnya di banyak surah dan ayat yang bertebaran, sementara kita selama satu bulan atau lebih hanya berkutat di seputar satu ayat, bagaikan seekor sapi yang berputar di kubangan?”
Kisah di atas mengandung pelajaran bagi kita bahwa Al-Qur’an wajib kita jadikan sebagai standar dalam mengukur perhatian kita terhadap sesuatu dan kita harus memberikan perhatian terhadap sesuatu sesuai dengan Al-Qur’an memberikan perhatian terhadapnya, tidak kurang dan tidak lebih. Al-Qur’an inilah standar yang paling adil.
Wallahu a’lam…