(Diringkas dari tulisan Ustadz Farid Nu’man hafidzahullah)
Definisi
Secara Bahasa (Lughah): I’tikaf adalah Al-Mulaazim artinya berdiam, membiasakan, menetapi (Lihat: Imam Asy Syaukani, Fathul Qadir, 1/244. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Secara Istilah (Syara’): Syaikh Sayyid Sabiq rahimahullah berkata: “Yang dimaksud i’tikaf disini adalah menetapi masjid dan berdiam di dalamnya dengan niat mendekatkan diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla.” (Fiqhus Sunnah, 1/475)
Dasar Hukum
Al Quran:
وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
“Janganlah kalian mencampuri mereka (Istri), sedang kalian sedang i’tikaf di masjid.” (QS. Al Baqarah : 187)
As Sunnah:
Dari ‘Aisyah radiallahu ‘anha:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ
“Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam beri’tikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan sampai beliau diwafatkan Allah, kemudian istri-istrinya pun i’tikaf setelah itu.” (HR. Bukhari, No. 2026, Muslim No. 1171, Abu Daud No. 2462. Ahmad No. 24613, dan lainnya)
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, katanya:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَكِفُ فِي كُلِّ رَمَضَانٍ عَشْرَةَ أَيَّامٍ فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الَّذِي قُبِضَ فِيهِ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْمًا
“Dahulu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam I’tikaf di setiap Ramadhan 10 hari, tatkala pada tahun beliau wafat, beliau I’tikaf 20 hari.” (HR. Bukhari No. 694, Ahmad No. 8662, Ibnu Hibban No. 2228, Al Baghawi No. 839, Abu Ya’la No. 5843, Abu Nu’aim dalam Akhbar Ashbahan, 2/53)
Ijma’:
Syaikh Sayyid Sabiq rahimahullah menceritakan adanya ijma’ tentang syariat I’tikaf: “Ulama telah ijma’ bahwa I’tikaf adalah disyariatkan, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam beri’tikaf setiap Ramadhan 10 hari, dan 20 hari ketika tahun beliau wafat.” (Fiqhus Sunnah, 1/475)
Hukum I’tikaf
Hukumnya adalah sunnah alias tidak wajib, kecuali i’tikaf karena nazar.
I’tikaf Kaum Wanita
Dari ‘Aisyah radiallahu ‘anha:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ
“Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam beri’tikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan sampai beliau diwafatka Allah, kemudian istri-istrinya pun I’tikaf setelah itu.” (HR. Bukhari, No. 2026, Muslim No. 1171, Abu Daud No. 2462. Ahmad No. 24613, dan lainnya)
Syaikh Al Albani Rahimahullah mengomentari hadits ini: “Dalam hadits ini terdapat dalil bolehnya I’tikaf bagi wanita juga, dan tidak ragu bahwa kebolehan itu terikat dengan izin para walinya, atau aman dari fitnah, dan aman dari berduaan dengan laki-laki lantaran banyak dalil yang menunjukkan hal itu, juga kaidah fiqih: menolak kerusakan lebih diutamakan dibanding mengambil maslahat.” (Qiyamur Ramadhan, Hal. 35. Cet. 2. Maktabah Islamiyah, ‘Amman. Jordan)
Selain itu, hendaknya wanita i’tikaf di masjid yang memungkinkan dan kondusif bagi mereka.
Berkata Syaikh Wahbah Az Zuhaili Hafizhahullah: “Jika wanita i’tikaf di masjid, dianjurkan dia membuat penutup dengan sesuatu, karena para isteri Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika hendak i’tikaf, Beliau memerintahkan mereka untuk menjaga diri, lalu mereka mendirikan kemah di masjid, karena masjid dihadiri kaum laki-laki, dan itu lebih baik bagi mereka (kaum laki-laki) dan bagi wanita, sehingga kaum laki-laki tidak melihat mereka dan sebaliknya.” (Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 3/125)
Keutamaannya
Tidak ada riwayat shahih yang mendefinitifkan keutamaan i’tikaf secara khusus. Namun, adanya berita shahih bahwa nabi, para isterinya, dan para sahabat yang senantiasa melakukannya setiap Ramadhan menunjukkan keutamaan I’tikaf. Sebab, tidak mungkin mereka merutinkan amalan yang dianggap ‘biasa saja.’
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah menulis sebagai berikut:
“Berkata Abu Daud: ‘Saya berkata kepada Ahmad Rahimahullah: ‘Apakah engkau mengatahui tentang keutamaan I’tikaf?’ Beliau berkata: ‘Tidak, kecuali suatu riwayat yang dhaif.’” (Fiqhus Sunnah, 1/475)
Syarat-Syarat I’tikaf
Syarat bagi orang yang beri’tikaf adalah: muslim, mumayyiz (sudah mampu membedakan salah benar, baik buruk), suci dari junub, haid, dan nifas, tidak sah jika kafir, anak-anak yang belum mumayyiz, junub, haid, dan nifas. (Fiqhus Sunnah, 1/477)
Rukun-Rukun I’tikaf
Hakikat dari i’tikaf adalah tinggal di masjid dengan niat taqarrub ilallah Ta’ala. Seandainya tidak menetap di masjid atau tidak ada niat melaksanakan ketaatan, maka tidak sah disebut i’tikaf . (Ibid)
Jadi, ada dua rukun: niat untuk ibadah dan menetap di masjid.
I’tikaf Wajib di Masjid; Masjid yang bagaimanakah?
Para fuqaha berselisih tentang jenis masjid yang boleh dilakukan i’tikaf di dalamnya:
- Sahnya I’tikaf hanya di masjid yang di dalamnya dilakukan shalat yang lima dan shalat Jumat (istilahnya: masjid jami’). Inilah pendapat Abu Hanifah, Ahmad, Abu Tsaur, Malik, dll .
- I’tikaf sah di lakukan di semua masjid, termasuk masjid yang tidak mendirikan shalat Jumat. (istilahnya: masjid ghairu Jami’ – surau), inilah pendapat, Syafi’i, Daud, dll. Inilah pendapat jumhur (mayoritas ulama).
- I’tikaf hanya sah dilakukan di tiga masjid: Masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan Masjidil Aqsa. Ini pendapat Hudzaifah bin Yaman Radhiallahu ‘Ahu, ini yang nampak dari pendapat Syaikh Al Albani Rahimahullah, dalam As Silsilah Ash Shahihah No. 2786.
- Hanya masjid di Mekkah dan Madinah, apa pun masjid itu. Ini pendapat ‘Atha.
- Hanya masjid di Madinah, apa pun masjid itu. Ini pendapat Sa’id bin Al Musayyib.
Nampak bahwa pendapat jumhur adalah pendapat yang lebih kuat.
Pembatal-Pembatal I’tikaf
- Secara sengaja Keluar dari masjid tanpa ada keperluan walau sebentar
- Murtad
- Hilang akal
- Gila
- Mabuk
- Jima’ (hubungan badan). (Lihat semua dalam Fiqhus Sunnah, 1/481-483)
Aktifitas Selama I’tikaf
Hendaknya para mu’takifin memanfaatkan waktunya selama i’tikaf untuk aktifitas ketaatan, seperti membaca Al Quran, dzikir dengan kalimat yang ma’tsur, muhasabah, shalat sunnah mutlak, boleh saja diselingi dengan kajian ilmu.
‘Ibrah dari I’tikaf
Pelajaran yang bisa kita petik dari I’tikaf adalah:
- Menegaskan kembali posisi Masjid sebagai sentral pembinaan umat
- Sesibuk apa pun seorang muslim harus menyediakan waktunya untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala secara fokus dan totalitas
- Hidup di dunia hanya persinggahan untuk menuju keabadian akhirat