عَنْ أَبيْ مَسْعُوْدٍ عُقبَة بنِ عَمْرٍو الأَنْصَارِيِّ البَدْرِيِّ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم (إِنَّ مِمَّا أَدرَكَ النَاسُ مِن كَلاَمِ النُّبُوَّةِ الأُولَى إِذا لَم تَستَحْيِ فاصْنَعْ مَا شِئتَ) رواه البخاري.
Dari Abu Mas’ud ‘Uqbah bin ‘Amru Al Anshari Al Badri Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata: Bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam : “Sesungguhnya di antara ucapan kenabian yang pertama kali manusia ketahui adalah; jika engkau tidak malu maka lakukan apa saja sesuai kehendakmu.” (HR. Al Bukhari)
Takhrij Hadits:
- Imam Al Bukhari dalam Jami’ush Shahih 3484, 6120, juga dalam Adabul Mufrad No. 597, 1316
- Imam Ibnu Hibban dalam Shahihnya No. 607
- Imam Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman 7734, 7736, juga As Sunan Al Kubra No. 20576
- Imam Ahmad dalam Musnadnya No. 17131, 17139, 22399, 23302
- Imam Ibnu Al Ju’di dalam Musnadnya No. 819
- Imam Al Qudha’i dalam Musnad Asy Syihab 1153, 1154, 1156
- Imam Abu Daud Ath Thayalisi dalam Musnadnya No. 621, 655
- Imam Abu Ja’far Ath Thahawi dalam Musykilul Aatsar 1327, 1328, 1329
- Imam Abdurrazzaq dalam Al Mushannaf 20149
- Imam Ibnu ‘Asakir dalam Al Mu’jam 582, 1197
Makna Hadits Secara Global:
Hadits ini pendek, namun memiliki beberapa pelajaran yang bisa kita dapatkan darinya. Di antaranya:
- Ad Da’wah bil lisan (seruan dengan perkataan) adalah salah satu bentuk seruan para nabi sejak dahulu. Bahkan secara khusus dakwah model ini mendapatkan pujian dari Allah ‘Azza wa Jalla sebagai ahsanu qaulan (perkataan paling baik):
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?” (QS. Al Fushilat (41): 33)
- Ketersambungan risalah para nabi. Hadits ini bukan satu-satunya pemberitaan dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang perilaku dan perkataan para nabi terdahulu. Banyak penceritaan dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang para nabi terdahulu, baik secara global atau rinci yang beliau sebutkan dalam hadits lainnya. Ini menunjukkan bahwa rantaian risalah kenabian sesama para nabi tidaklah terputus.
Contoh penceritaan lainnya, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah bersabda:
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ
“Adalah Bani Israil, dahulu mereka di-siyasah-kan oleh para nabi.” (HR. Bukhari No. 3455, Muslim No. 1842)
Hadits lain:
وَالْأَنْبِيَاءُ إِخْوَةٌ لِعَلَّاتٍ أُمَّهَاتُهُمْ شَتَّى وَدِينُهُمْ وَاحِدٌ
Para nabi itu bersaudara dari bapak yang sama, tapi ibu mereka berbeda-beda, dan agama mereka satu. (HR. Bukhari No. 3443, Ibnu Hibban No. 6814, Alaudin Al Muttaqi Al Hindi dalam Kanzul Ummal No. 38856, Ahmad No. 9259, 9630, Ishaq dalam Musnadnya No. 43, Al Bazzar No. 8577)
- Mengutip dan menyampaikan kalimat-kalimat yang berisi hikmah dan nasihat orang bijak terdahulu adalah perbuatan yang sangat baik selama memiliki keaslian sumbernya. Dalam hadits ini, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengutip dari ucapan kenabian pada masa lalu. Padahal jika dia mau, bisa saja nasihat-nasihat yang semisal ini cukup datang dari dirinya saja, karena ucapan Beliau telah terjaga dari kesalahan.
Ini menjadi pelajaran bagi para khuthaba dan du’aat agar tidak segan-segan mengutip kalimat-kalimat mengandung hikmah, baik syair, pepatah, dan semisalnya, dari orang lain. Lebih bagus lagi jika kalimat-kalimat tersebut disandarkan kepada orang yang mengucapkannya atau disebutkan sumbernya.
- Hadits ini membimbing kita untuk tidak sembarang dalam mengeluarkan kata-kata, dan tidak gegabah dalam berperilaku. Letak kemuliaan dan kehormatan seseorang bisa terlihat dari apa yang dikatakan dan dilakukannya. Orang-orang besar dan mulia akan mengeluarkan kata-kata dan perbuatan yang mulia pula, sebagaimana orang-orang kerdil akan mengucapkan perkataan yang tidak bermanfaat dan memalukan, serta perbuatan yang sia-sia pula. Hendaknya rasa malu yang dimiliki seseorang menghalangi dirinya untuk berbuat yang merusak kemuliaan dan kehormatan diri, kecuali jika orang tersebut tidak ada lagi rasa malu, maka terserah apa yang dilakukannya, dia bebas, baik dan buruk adalah sama saja di sisi orang tidak punya rasa malu.
Sedangkan orang beriman senantiasa menjadikan rasa malu sebagai alat kontrol bagi dirinya. Disebabkan rasa malu seseorang tidak mau menampakkan auratnya, karena rasa malu seseorang mengurungkan niatnya untuk berkata-kata tidak sopan dan kotor, karena rasa malu seseorang tidak mau ber-khalwat dengan bukan mahramnya, karena rasa malu seseorang tidak mau mengambil harta yang bukan haknya, karena rasa malu seseorang tidak mau berjalan menuju tempat-tempat maksiat, karena rasa malu seseorang tidak mau bermaksiat kepada Allah Ta’ala.
Hendaklah kita malu kepada Allah Ta’ala untuk bermaksiat, dan kalau pun sudah tidak malu kepada Allah Ta’ala, malu-lah kepada malaikat sang pencatat, kalau pun tidak malu kepada malaikat, malu-lah kepada manusia, kalau pun tidak malu kepada manusia, malu-lah kepada keluarga di rumah, kalau pun tidak malu kepada keluarga, maka malu-lah kepada diri sendiri dan hendaklah jujur bahwa apa yang dilakukannya adalah kesalahan, minimal meragukan. Fitrah keimanan akan menolaknya, kecuali jika memang kita sudah tidak punya rasa malu.
Makna Kata dan Kalimat
عَنْ أَبيْ مَسْعُوْدٍ عُقبَة بنِ عَمْرٍو الأَنْصَارِيِّ البَدْرِيِّ رضي الله عنه قَال : Dari Abu Mas’ud ‘Uqbah bin ‘Amru Al Anshari Al Badri Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata
Al Hafizh Ibnu Hajar menceritakan tentangnya: Dia adalah ‘Uqbah bin ‘Amru bin Tsa’labah bin Asiirah bin ‘Athiyah bin Khadaarah bin ‘Auf bin Al Haarits bin Al Khazraj Al Anshari Abu Mas’ud Al Badri, dia terkenal dengan gelar (kun-yah) itu (Abu Mas’ud). Manusia telah sepakat bahwa Beliau ikut bai’at ‘aqabah, tapi manusia berselisih pendapat tentang keikutsertaannya dalam perang badar. Tetapi mayoritas menyebutkan bahwa dia lahir di bafar dan namanya disandarkan kepadanya (tempat lahirnya; Badar), sedangkan Imam Al Bukhari memastikan bahwa ‘Uqbah bin Amru ini ikut dalam perang Badar. Begitu pula menurut Abu ‘Utbah, Muslim, dan penduduk Kufah. Sedangkan Al Waqidi mengatakan bahwa tak ada beda pendapat di antara sahabat-sahabatnya bahwa ‘Uqbah bin ‘Amru tidak ikut perang Badar. Khaliifah mengatajn Beliau wafat sebelum tahun 40 H. Sementara Al Madaini mengatakan wafatnya tahun 40 H, sedangkan Al hafizh Ibnu Hajar mengatakan bahwa yang shahih adalah wafatnya setelah tahun 40 H. Disebutkan bahwa Beliau wafat di Kufah, ada juga yang menyebut di Madinah. (Al Hafizh Ibnu Hajar, Al Ishabah fi Tamyiz Ash Shahabah, 4/524)
Imam Ibnu Al ‘Atsir Rahimhullah mengatakan, bahwa ‘Uqbah bin’Amru mengikuti bai’at ‘aqabah yang kedua, dan tinggal di Badar, tapi tidak ikut perang Badar menurut kebanyakan ahli sejarah. (Usadul Ghabah, Hal. 777, 1245)
Telah terjadi perbedaan pendapat tentang kapan wafatnya. Ada yang menyebut tahun 41 H, ada juga 42 H, ada juga yang menyebut 60 H. (Ibid, Hal. 1245) sedangkan Rib’i bin Harrasy dan Abu Wail menyebutkan bahwa Beliau wafat tahun 40 H. (Imam As Suyuthi, Al Is’aaf, Hal. 32)
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam
إِنَّ مِمَّا أَدرَكَ النَاسُ : sesungguhnya di antara apa-apa yang diketahui manusia
Yaitu yang diketahui dari pendahulunya dari zaman ke zaman, hingga zaman ini.
Berkata Syaikh Ismail bin Muhammad Al Anshari Rahimahullah: “Tuwaaritsuhu qarnan ba’da qarnin – yang mereka wariskan dari zaman ke zaman. (At Tuhfah Ar Rabbaniyah, Syarah hadits No. 20)
Selanjutnya:
مِن كَلاَمِ النُّبُوَّةِ الأُولَى: terhadap perkataan kenabian yang pertama-tama
Yakni perkataan yang pertama kali para nabi sampaikan kepada umatnya sejak zaman dahulu, yang masih ada hingga sampai saat ini.
Berkata Imam Ash Shan’ani Rahimahullah tentang jenis ucapan tersebut:
ما اتفق عليه الأنبياء ولم ينسخ كما نسخت شرائعهم
Yaitu ucapan yang telah disepakati para nabi dan belum dihapus sebagaimana dihapusnya syariat mereka. (Subulus Salam, 4/206. Lihat juga Imam Al ‘Aini, ‘Umdatul Qari, 23/500. Juga Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, 6/523. Darul Ma’rifah)
Sedangkan Imam Al Munawi Rahimahullah sedikit berbeda, katanya:
أي مما اتفق عليه شرائع الأنبياء
Yaitu ucapan yang disepakati oleh syariat-syariat para nabi. (At Taisir bisy Syarhi Al Jami’ Ash Shaghir, 1/711)
Imam Ibnu Rajab Al Hambali Rahimahullah menjelaskan secara detil:
يشير إلى أنَّ هذا مأثورٌ عن الأنبياء المتقدِّمين، وأنَّ الناس تداولوه بينهم وتوارثوه عنهم قرناً بعد قرن، وهذا يدلُّ على أنَّ النبوةَ المتقدِّمة جاءت بهذا الكلام، وأنَّه اشتهر بين الناس حتى وصل إلى أوَّل هذه الأمَّة
Ini mengisyaratkan bahwa perkataan tersebut merupakan jejak (atsar) dari para nabi terdahulu, dan manusia telah silih berganti di antara mereka dan saling mewarisi dari zaman ke zaman. Ini menunjukkan bahwa perkataan ini telah datang sejak kenabian terdahulu, dan ini begitu terkenal di tengah-tengah manusia hingga ucapan ini bersambung pada generasi awal umat ini. (Jami’ Al ‘Ulum wal Hikam, 1/497)
Selanjutnya:
إِذا لَم تَستَحْيِ : jika kamu tidak merasa malu
Yaitu jika kamu tidak merasa terhalang untuk melakukannya, sebab rasa malu adalah penghalang bagi seseorang untuk melakukan perbuatan, khususnya perbuatan yang buruk.
Sebagian riwayat menyebut Idzaa lam tastahi, tanpa huruf ya’, namun maknanya sama. Asal katanya bisa Al Hayaa’ dan Al Istihyaa’. Makna Al Hayaa’ adalah Al Khulqu wal Ghariizah (akhlak dan insting). (Syaikh ‘Athiyah bin Muhammad Salim, Syarhul Arbain An Nawawiyah, Syarah No. 20. Syabkah Al Islamiyah)
Maka, rasa malu sebenarnya merupakan akhlak yang sifatnya instinktif, tanpa usah diperintah dan dipaksa setiap manusia memilikinya. Tetapi, karena sifat buruk juga menjadi energi potensial dalam diri manusia, maka rasa malu seringkali kalah oleh ganasnya hawa nafsu. Saat itu, keadaan diri manusia berbanding lurus dengan suasana iman dalam hatinya. Ketika iman sedang bagus dan naik, rasa malu juga meninggi, dan sebaliknya ketika iman sedang terkikis rasa malu juga berkurang, karena rasa malu sebagian dari iman.
Dari Salim bin Abdullah dari ayahnya, katanya:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ عَلَى رَجُلٍ مِنْ الْأَنْصَارِ وَهُوَ يَعِظُ أَخَاهُ فِي الْحَيَاءِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعْهُ فَإِنَّ الْحَيَاءَ مِنْ الْإِيمَانِ
Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melewati laki-laki dari kaum Anshar yang sedang menasehati saudaranya tentang rasa malu, maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Biarkan dia, sesungguhnya rasa malu bagian dari iman.” (HR. Bukhari No. 24, juga dalam Adabul Mufrad No. 602, An Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra No. 11764, Ath Thabarani dalam Al Ausath No. 4932, juga Ash Shaghir No. 744, Malik dalam Al Muwaththa No. 950, dari Muhammad bin Al Hasan, juga No. 1611, dari Yahya Al Laitsi, Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman No. 7701, Ibnu Hibban No. 610, Ahmad No. 5183, dll)
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
الحياءُ شُعبةٌ من الإيمان
Rasa malu merupakan cabang dari keimanan. (HR. Bukhari No. 9, Muslim No. 57, 58)
Selanjutnya:
فاصْنَعْ مَا شِئتَ : maka lakukan apa saja sesuai kehendakmu
Yaitu kamu bebas melakukan apa saja yang kamu inginkan, yang kamu sukai, dan yang kamu impikan, karena halangan untuk melakukan hal itu semua sudah tidak ada. Tidak ada lagi yang menghalangi kamu untuk melakukannya, sebab rasa malu sebagai benteng terakhir sudah tidak ada.
Kalimat ini walaupun menggunakan kata perintah (fi’il amr); fashna’ – maka lakukanlah! Tidak berarti para Nabi Ridhwanullah ‘alaihim jami’an memerintahkan perbuatan yang memalukan atau buruk kepada manusia. Justru, perkataan ini menunjukkan celaan dan ancaman bagi mereka-mereka yang tidak punya rasa malu. Sebagian lain mengatakan, hadits ini adalah berisi tentang berita, bukan perintah.
Dalam kehidupan sehari-hari kita pun pernah mendengar yang semisal ini. Ketika ada seseorang yang melihat kawannya berperilaku tidak simpati, serakah terhadap makanan misalnya, maka orang itu berkata kepadanya: “Kalau kamu mau, nih bawa semua, jangan sisakan yang lainnya.” Tentu kalimat ini tidak bermaksud agar orang tersebut membawa semua, tetapi ini bentuk celaan, ancaman, bahkan marah kepadanya.
Al Imam Ibnu Rajab Rahimahullah menyebutkan bahwa menurut para ulama kalimat ini memiliki dua arti:
Pertama, bermakna celaan dan larangan.
أنَّه ليس بمعنى الأمر : أنْ يصنع ما شاء ، ولكنه على معنى الذمِّ والنهي عنه
Itu tidak bermakna perintah untuk melakukan apa yang dia inginkan, tetapi itu maknanya adalah celaan (Adz Dzamm) dan larangan darinya. (Jami’ Al ‘Ulum wal Hikam, 1/497)
Makna ini pun terbagi menjadi dua lagi, yakni:
- Perintah sebagai At Tahdid (menakuti) dan Al Wa’iid (ancaman). Berkata Imam Ibnu Rajab:
والمعني : إذا لم يكن لك حياء ، فاعمل ما شئت ، فإنَّ الله يُجازيك عليه ، كقوله : { اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ } ، وقوله : { فَاعْبُدُوا مَا شِئْتُمْ مِنْ دُونِهِ } وقول النَّبيِّ – صلى الله عليه وسلم –
: (( من باع الخمر ، فَليُشَقِّص الخنازير ))
Maknanya: jika kamu tidak punya rasa malu, maka lakukanlah apa saja yang kamu mau, sesungguhnya Allah tidak mempedulikanmu atas perbuatan itu. Sebagaimana firmanNya: (Lakukanlah apa saja sesuai kehendakmu, sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu lakukan), dan firmanNya: (maka sembehlah apa saja yang kamu hendaki selainNya), dan sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: (barang siapa yang menjual khamr, hendaknya dia memotong babi)[1]. (Ibid) Ini pendapat segolongan ulama di antaranya Abul ‘Abbas Tsa’lab.
- Perintah bermakna pemberitaan (Al Khabar). Imam Ibnu Rajab berkata:
أنَّه أمرٌ ، ومعناه : الخبر ، والمعنى : أنَّ من لم يستحي ، صنع ما شاء ، فإنَّ المانعَ من فعل القبائح هو الحياء ، فمن لم يكن له حياءٌ ، انهمك في كُلِّ فحشاء ومنكر
Perintah ini maknanya adalah pemberitaan, artinya: bahwasanya orang yang tidak punya rasa malu akan melakukan apa saja sesuai kehendaknya, karena yang menjadi penghalang bagi manusia untuk melakukan berbagai keburukan adalah rasa malu. Maka, siapa saja yang tidak punya rasa malu, akan mengajakmu rakus pada setiap kekejian dan kemungkaran. (Ibid)
Hal ini sama dengan hadits:
مَنْ كَذَب عليَّ متعمدا ، فليتبوَّأ مقعده من النارِ
Barangsiapa yang sengaja berdusta atas diriku, maka disediakan kursi baginya di neraka. (Hadits shahih, mutawatir)
Hadits ini menggunakan lam lil amr (huruf lam untuk perintah) pada kata falyatabawwa’, secara lafaz maknanya: maka hendaknya disediakan. Tatapi, hadits ini tidak bermakna perintah, sebab tidak mungkin Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan masuk ke neraka, makna hadits ini mengabarkan orang yang sengaja berdusta atas namanya, yaitu disediakan neraka.
Imam Ibnu Rajab menjelaskan:
فإنَّ لفظه لفظُ الأمر ، ومعناه الخبر ، وإنَّ من كذب عليه تبوأ مقعده من النار ، وهذا اختيارُ أبي عبيد القاسم بن سلام – رحمه الله – ، وابنِ قتيبة ، ومحمدِ بن نصر المروزي وغيرهم ، وروى أبو داود عن الإمام أحمد ما يدلُّ على مثل هذا القول .
Sesungguhnya lafaznya adalah lafaz perintah, namun maknanya adalah berita: sesungguhnya orang yang berdusta atas namaku disediakan bagunya kursi di neraka. Inilah yang dipilih oleh Abu ‘Ubaid Al Qasim bin Salam Rahimahullah, Ibnu Qutaibah, Muhammad bin Nashir Al Marwazi dan selain mereka. Diriwayatkan oleh Abu Daud dari Imam Ahmad yang menunjukkan perkataan yang semisal ini. (Ibid)
Kedua, maknanya adalah dampak yang diperoleh para hambaNya dari berma’rifah kepada Allah, kepada keagunganNya, mendekatkan diri kepadaNya, yaitu Allah Ta’ala mengetahui keadaan mereka baik yang tersembunyi di dada atau pandangan mata yang berkhianat. Ini adalah bagian iman yang tertinggi, bahkan derajat tertinggi dari Al Ihsan. (Ibid)
Dua Macam Malu
Pada dasarnya rasa malu selalu membawa pada kebaikan, sebab malu itu sendiri adalah hal yang baik. Sebagaimana hadits:
الحياءُ لا يأتي إلاَّ بخيرٍ
Rasa malu tidaklah mendatangkan melainkan kebaikan. (HR. Bukhari No. 6117, Muslim No. 37, 60)
Tapi kenyataannya, tidak sedikit manusia yang salah kaprah dalam menerapkan rasa malu. Mereka tidak malu ketika dalam keadaan yang seharusnya menuntut mereka untuk malu, tapi justru mereka malu ketika dalam keadaan mereka harusnya untuk tidak malu.
Oleh karenanya, rasa malu ada yang terpuji dan tercela. Rasa malu yang terpuji adalah rasa malu untuk melakukan maksiat dan larangan-laranganNya. Baik yang membawa dampak pada kehidupan agama maupun sosial. Seperti malu zina, mabuk, gunjing, membuka aurat, dan sebagainya.
Rasa malu yang tercela adalah rasa malu untuk menampakkan syiar-syiar Islam. Malu beribadah dan hadir di majelis ta’lim karena takut dikatakan sok alim. Malu tidak ikut-ikutan terbawa arus pergaulan bebas. Intinya, malu untuk berbuat kebaikan secara umum adalah rasa malu yang tidak pada tempatnya.
Wallahu A’lam
[1] Hadits tersebut diriwayatkan oleh Abu Daud No. 3489, Ath Thabarani dalam Al Awsath No. 8532, dan Al Kabir No. 884, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 10829, Ad Darimi No. 2102, Ahmad No. 18239, dan lain-lain. Syaikh Syau’aib Al Arnauth mendhaifkannya. (Tahqiq Musnad Ahmad No. 18239), juga Syaikh Al Albani. (As Silsilah Adh Dhaifah No. 4566)