Matan Hadits:
عَنْ أَبي سَعيدٍ الخُدريِّ رضي الله عنه قَالَ: سَمِعتُ رِسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقولُ: (مَن رَأى مِنكُم مُنكَرَاً فَليُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَستَطعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَستَطعْ فَبِقَلبِه وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإيمَانِ) رواه مسلم.
Dari Abu Sa’id Al Khudri Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran maka ubahlah dengan tangannya, jika dia tidak mampu maka ubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu maka ubahlah dengan hati, dan demikia itu adalah selemah-lemahnya iman. (HR. Muslim)
Takhrij Hadits:
- Imam Muslim dalam Shahihnya No. 49
- Imam Al Baihaqi dalam As sunan Al Kubra 11293
- Imam Ibnu Hibban dalam Shahihnya No. 307
- Imam Ahmad dalam Musnadnya No. 11460, 11514
- Dll
Latar Belakang hadits (sababul wurud):
Berikut adalah sababul wurud hadits ini yang tertera dalam Shahih Muslim:
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ سُفْيَانَ و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ كِلَاهُمَا عَنْ قَيْسِ بْنِ مُسْلِمٍ عَنْ طَارِقِ بْنِ شِهَابٍ وَهَذَا حَدِيثُ أَبِي بَكْرٍ قَالَ
أَوَّلُ مَنْ بَدَأَ بِالْخُطْبَةِ يَوْمَ الْعِيدِ قَبْلَ الصَّلَاةِ مَرْوَانُ فَقَامَ إِلَيْهِ رَجُلٌ فَقَالَ الصَّلَاةُ قَبْلَ الْخُطْبَةِ فَقَالَ قَدْ تُرِكَ مَا هُنَالِكَ فَقَالَ أَبُو سَعِيدٍ أَمَّا هَذَا فَقَدْ قَضَى مَا عَلَيْهِ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ
Berkata kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah, berkata kepada kami Waqi’, dari Sufyan, dan berkata kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna, berkata kepada kami Muhammad bin Ja’far, berkata kepada kami Syu’bah, keduanya berasal dari Qais bin Muslim dari Thariq bin Syihab, dan ini adalah hadits Abu Bakar, katanya: “Marwan adalah orang pertama yang melakukan khutbah pada hari raya sebelum shalat, lalu berdirilah seorang laki-laki kepadanya, lalu berkata: “Shalat itu sebelum khutbah!” Marwan menjawab: “Jamaah di sana telah meninggalkan tempat.” Abu Sa’id Al Khudri berkata: “Adapun orang ini telah menunaikan kewajibannya, aku telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran maka ubahlah dengan tangannya, jika dia tidak mampu maka ubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu maka ubahlah dengan hati, dan demikian itu adalah selemah-lemahnya iman.”
Kandungan Hadits Secara Global:
Hadits ini memiliki beberapa pelajaran penting di antaranya:
- Pentingnya mengikuti petunjuk Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam terlebih lagi dalam ibadah ritual. Tidak dibenarkan bagi siapa pun menyelisihinya, baik karena mengikuti hawa nafsu sendiri atau mengikuti ajaran manusia, padahal telah ada petunjuk dari Allah dan RasulNya.
Allah Ta’ala berfirman:
وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ
Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. (QS. Al Maidah (5): 48)
Dalam konteks hadits ini adalah hendaknya tata cara shalat Id, mengikuti apa yang Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam contohkan.
- Kisah dalam hadits ini menunjukkan bahwa Marwan – Gubernur Madinah Saat itu- adalah orang pertama yang hendak merubah tatacara shalat Id menjadi seperti shalat Jumat, yaitu mendahulukan khutbah baru kemudian shalat.
Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id Rahimahullah menjelaskan:
وفي هذا الحديث دليل على أنه لم يعمل بذلك أحد قبل مروان
Pada hadits ini terdapat petunjuk bahwa tidak ada seorang pun yang melakukan itu sebelum Marwan. (Syarh Al Arbain An Nawawiyah, Hal. 111)
- Kisah ini menunjukkan bolehnya menasihati manusia secara terang-terangan, yaitu jika dia melakukan kesalahan juga terang-terangan. Pada hadits ini ada seorang laki-laki yang menegur Gubernur Marwan di hadapan banyak manusia (jamaah shalat Id), lalu Abu Sa’id mengomentari bahwa dia telah menunaikan kewajibannya; yakni nahi munkar.
Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id Rahimahullah menceritakan tentang beberapa kemungkinan dari kejadian ini:
فإن قيل: كيف تأخر أبو سعيد عن تغيير هذا المنكر حتى أنكره هذا الرجل. قيل: يحتمل أن أبا سعيد لم يكن حاضراً أول ما شرع مروان في تقديم الخطبة وأن الرجل أنكره عليه ثم دخل أبو سعيد وهما في الكلام. ويحتمل أنه كان حاضراً لكنه خاف على نفسه إن غيّر حصول فتنة بسبب إنكاره فسقط عنه الإنكار ويحتمل أن أبا سعيد هم بالإنكار فبدره الرجل فعضده أبو سعيد والله أعلم
Jika ditanyakan: Bagaimana bisa Abu Sa’id terlambat dalam mengubah kemungkaran ini hingga ada seorang laki-laki lain yang mengubahnya. Disebutkan: kemungkinannya adalah Abu Sa’id belum hadir saat pertama Marwan membuat aturan seperti itu saat pembukaan khutbah, dan laki-laki itu mengingkarinya, kemudian barulah Abu Sa’id datang. Dimungkinkan pula bahwa Abu Sa’id sudah hadir tetap dia khawatir terhadap dirinya yang jika dia lakukan perubahan itu akan melahirkan fitnah, maka gugur kewajiban mengingkarinya. Ada pula yang mengatakan bahwa Abu Sa’id hendak melakukan pengingkaran tersebut tetapi laki-laki itu memotong Abu Sa’id. Wallahu A’lam (Syarh Al Arbain An Nawawiyah, Hal. 111)
Namun ada riwayat lain dalam Shahih Bukhari yang menyebutkan bahwa Abu Sa’id Radhiallahu ‘Anhu pernah mencegah Marwan melakukan kesalahan ini.
Berkata Abu Sa’d Al Khudri Radhiallahu ‘Anhu:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى فَأَوَّلُ شَيْءٍ يَبْدَأُ بِهِ الصَّلَاةُ ثُمَّ يَنْصَرِفُ فَيَقُومُ مُقَابِلَ النَّاسِ وَالنَّاسُ جُلُوسٌ عَلَى صُفُوفِهِمْ فَيَعِظُهُمْ وَيُوصِيهِمْ وَيَأْمُرُهُمْ فَإِنْ كَانَ يُرِيدُ أَنْ يَقْطَعَ بَعْثًا قَطَعَهُ أَوْ يَأْمُرَ بِشَيْءٍ أَمَرَ بِهِ ثُمَّ يَنْصَرِفُ
قَالَ أَبُو سَعِيدٍ فَلَمْ يَزَلْ النَّاسُ عَلَى ذَلِكَ حَتَّى خَرَجْتُ مَعَ مَرْوَانَ وَهُوَ أَمِيرُ الْمَدِينَةِ فِي أَضْحًى أَوْ فِطْرٍ فَلَمَّا أَتَيْنَا الْمُصَلَّى إِذَا مِنْبَرٌ بَنَاهُ كَثِيرُ بْنُ الصَّلْتِ فَإِذَا مَرْوَانُ يُرِيدُ أَنْ يَرْتَقِيَهُ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ فَجَبَذْتُ بِثَوْبِهِ فَجَبَذَنِي فَارْتَفَعَ فَخَطَبَ قَبْلَ الصَّلَاةِ فَقُلْتُ لَهُ غَيَّرْتُمْ وَاللَّهِ فَقَالَ أَبَا سَعِيدٍ قَدْ ذَهَبَ مَا تَعْلَمُ فَقُلْتُ مَا أَعْلَمُ وَاللَّهِ خَيْرٌ مِمَّا لَا أَعْلَمُ فَقَالَ إِنَّ النَّاسَ لَمْ يَكُونُوا يَجْلِسُونَ لَنَا بَعْدَ الصَّلَاةِ فَجَعَلْتُهَا قَبْلَ الصَّلَاةِ
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam keluar menuju lapangan ketika hari raya Fitri atau Adha, yang pertama kali dia lakukan sebagai pembukaan adalah shalat, kemudian dia memutarkan badannya ke belakang lalu berdiri dan menghadap kepada manusia, saat itu manusia duduk pada barisannya masing-masing. Beliau memberikan mau’izhah, wasiat, dan memerintahkan mereka kepada kebaikan. Maka, jika Beliau hendak memutuskan mengirim utusan maka dia putuskan, atau memerintahkan sesuatu maka dia perintahkan, kemudian dia berpaling.
Abu Sa’id berkata: “Manusia senantiasa melakukan seperti itu hingga ketika Aku bersama Marwan –saat itu Beliau gubernur Madinah- keluar pada saat hari raya Adha atau Fitri. Tatkala kami sampai di lapangan, mendekati mimbar yang dibuat oleh Katsir bin Shalt, lalu Marwan mendekati mimbar dia hendak menaikinya sebelum shalat, lalu aku menarik pakaiannya dan dia menarik aku, lalu dia naik mimbar dan berkhutbah sebelum shalat. Maka aku katakan kepadanya: “Demi Allah! Engkau telah merubahnya!” Dia berkata: “Wahai Abu Sa’id, Mereka pergi seperti yang engkau tahu.” Abu Sa’id menjawab: “Demi Allah, apa yang aku ketahui lebih baik dari yang tidak aku ketahui.” Marwan menjawab: “Sesungguhnya manusia tidak duduk bersama kita setelah shalat oleh karena itulah aku berkhutbah dulu sebelum shalat.” (HR. Bukhari No. 956)
Lalu, apakah kejadian ini terjadi pada waktu yang sama dengan peristiwa “laki-laki” yang menegur Gubernur Marwan ataukah dua peristiwa yang berlainan? Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id mengatakan: fayahtamilu annahumaa qadhiyataani – kemungkinannya adalah ini merupakan dua permasalahan yang berbeda. (Syarh Al Arbain An Nawawiyah, Hal. 112)
- Hadits ini menjadi salah satu dasar aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, bahwa iman itu adalah pada hati (qalb), ucapan (lisan), dan perbuatan (‘amal). Contoh kasus dalam hadits ini adalah nahi munkar –yang merupakan perbuatan badan- sebagai buah dan bukti keimanan.
Iman letaknya memang di hati, tetapi Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memberikan contoh keimanan adalah mengingkari kemungkaran, minimal mengingkari dengan hati dan itu merupakan selemahnya iman. Maka, hadits ini menjadi sanggahan telak buat firqah murji’ah, sebuah sekte yang berpemahaman bahwa iman itu hanyalah hati dan lisan, tanpa perbuatan.
Senada dengan hadits ini adalah riwayat dari dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنْ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنْ الْإِيمَانِ
Iman itu memiliki 70 lebih atau 60 lebih cabang, yang paling tinggi adalah ucapan Laa Ilaha Illallah dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan, malu adalah sebagian dari iman. (HR. Muslim No. 35)
Hadits ini jelas menyebutkan bahwa perbuatan badan yakni menyingkirkan gangguan adalah refleksi keimanan. Maka, sangat tidak benar orang yang mengaku mukmin tapi kosong amal shalih yang nyata. Sebagai contoh tidak sedikit wanita yang mengatakan: jilbab itu yang penting di hati! Ini tentu sangat keliru.
- Hadits ini menunjukkan bolehnya melakukan amal shalih secara terang-terangan sehingga manusia mengetahuinya. Perintah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk merubah kemungkaran menunjukkan kewajiban nahi munkar, dan Rasulullah Shallalllahu ‘Alaihi wa Sallam menyebutnya secara umum, tidak sembunyi-sembunyi saja atau terang-terangan saja. Maka kedua cara ini benar dan baik, tergantung konteks masing-masing kasus dan mana yang lebih selamat bagi keikhlasan pelakunya.
- Hadits ini juga mengajarkan tahapan dalam melakukan inkarul munkar dari yang paling berat dan besar resikonya hingga yang paling ringan dan lebih kecil resikonya, yaitu dengan tangan (kekuatan dan kekuasaan), kalau tidak mampu maka dengan lisan (hujjah, dalil, dan peringatan), kalau tidak mampu maka dengan hati (dengan membencinya), dan inilah yang paling ringan karena kecil resikonya.
Alhasil, inkarul munkar mesti disesuaikan dengan kemampuan, tetapi hendaknya dilakukan dengan kemampuan yang terbaik.
Syaikh Ismail bin Muhammad Al Anshari Rahimahullah mengatakan:
وجوب تغيير المنكر بكل ما أمكنه مما ذكر ، فلا يكفي الوعظ لمن تمكنه إزالته بيده ، ولا القلب لمن تمكنه إزالته باللسان
Kewajiban mengubah kemungkaran dengan cara yang paling memungkinkan seperti yang disebutkan, maka tidak cukup hanya dengan nasihat bagi yang mampu menghilangkannya dengan tangan, dan tidak cukup dengan hati bagi yang mampu menghilangkannya dengan lisan. (At Tuhfah Ar Rabbaniyah, syarah No. 34)
Oleh karenanya setiap muslim, khususnya para pejuang Islam, mesti melihat dengan benar dan teliti pada posisi mana kemampuan dirinya, lalu dia jujur dengan itu. Jangan sampai seorang ayah hanya membenci di hati kepada perbuatan buruk keluarganya, padahal dia mampu dengan power-nya. Seorang kepala daerah hanya dengan himbauan, padahal dia mampu memukul kemunkaran dengan aparat dan instruksinya.
- Hadits ini menjadi metode Ahlus Sunnah dalam mengingkari kemungkaran. Menggunakan cara terkuat dan efektif hingga ke yang paling lemah, lalu serahkan hasilnya kepada Allah Ta’ala. Masing-masing cara ada domainnya sendiri, tidak diberikan secara sembarang manusia.
Ada pun firqah Khawarij mereka justru memulai dengan hati, kalau belum berubah maka dengan lisan, jika belum berubah maka mereka mengubahnya dengan tangan, yakni kekerasan atau pemberontakan.
- Hadits ini menunjukkan bahwa amar ma’ruf nahi munkar adalah wajib.[1]
Berkata Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id Rahimahullah:
وأما قوله: “فليغيره” فهو أمر إيجاب بإجماع الأمة وقد تطابق الكتاب والسنة على وجوب الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر وهو أيضا من النصيحة التي هي الدين.
Ada pun sabdanya “maka hendanya dia merubahnya” maka ini merupakan perintah yang menunjukkan wajib menurut ijma’ umat. Hal ini sesuai dengan Al Quran dan As Sunnah tentang wajibnya amar ma’ruf nahi munkar, dan ini juga bermakna nasihat yang merupakan pokoknya agama ini. (Syarh Al Arbain Nawawiyah, Hal. 112)
Sebagian orang ada yang menahan diri dari amar ma’ruf nahi munkar, karena mereka merasa belum layak dan masih banyak kesalahan alias masih merasa belum sempurna. Sikap ini tidak benar, sebab kesempurnaan diri bukanlah syarat untuk melakukan da’wah dan amar ma’ruf nahi munkar.
Berkata Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id Rahimahullah:
قال العلماء: ولا يشترط في الآمر بالمعروف والناهي عن المنكر أن يكون كامل الحال، ممتثلاً ما يأمر به. مجتنباً ما ينهى عنه بل عليه الأمر وإن كان مرتكباً خلاف ذلك لأنه يجب عليه شيئان: أن يأمر نفسه وينهاها. وأن يأمر غيره وينهاها. فإذا أخذ بأحدهما لا يسقط عنه الآخر.
Berkata para ulama: tidak menjadi syarat dalam amar ma’ruf nahi munkar menjadi orang yang keadaannya sempurna, bahwa dia sudah menjalankan apa yang diperintahkannya, atau sudah menjauhi apa yang dia larangnya, bahkan wajib baginya untuk memerintahkannya. Jika dia masih melakukan hal-hal yang berbeda dengan apa yang diperintahkannya, karena itulah dia wajib melakukan dua hal: memerintahkan diri sendiri dan melarangnya, dan memerintahkan orang lain dan melarangnya. Jika dia baru melakukan salah satunya saja, maka tidak gugur kewajiban atas lainnya. (Syarh Al Arbain Nawawiyah, Hal. 113)
(Bersambung)
Catatan Kaki:
[1] Allah Ta’ala berfirman:
Dan hendaklah ada di antara kamu (minkum) segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar ; merekalah orang-orang yang beruntung. (QS. Ali ‘Imran (3): 104)
Berkata Al Imam Asy Syaukani Rahimahullah:
“Ayat ini merupakan dalil kewajiban amar ma’ruf nahi munkar, kewajibannya adalah pasti dalam Al Quran dan As Sunnah, dan termasuk kewajiban yang besar menurut syariat yang suci, dan termasuk dari dasar syariat dan penyangganya, yang dengannya dapat menyempurnakannya dan meninggikannya.” (Fathul Qadir, 2/8. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Lalu kewajibannya apakah fardhu kifayah atau fardhu ‘ain? Berkata Imam Ibnu Katsir Rahimahullah:
“Maksud dari ayat ini adalah adanya firqah (kelompok) yang berorientasi dalam urusan ini, jika hal ini wajib bagi setiap orang maka ini sudah mencukupinya.” (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 2/91. Dar Ath Thayyibah Lin Nasyr wat Tauzi’)
Jadi, kata minkum (di antara kalian) menunjukkan sebagian, bukan semuanya. Kata Min (dari/di antara) pada kata minkum di ayat ini menunjukkan tab’idhiyah (sebagian).
Ulama lain mengatakan fardhu ‘ain, sebab min di sini adalah bermakna ta’kidiyah (penegas) dan bayaniyah (penjelas), sehingga bermakna hendaknya kalian melakukan amar ma’ruf nahi munkar.
Contoh ayat:
لَمْ يَكُنِ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ مُنْفَكِّينَ حَتَّى تَأْتِيَهُمُ الْبَيِّنَةُ
Orang-orang kafir Yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata, (QS. Al Bayyinah: 1)
Kata min dalam ayat ini bukan berarti sebagian Ahli Kitab adalah kafir, tetapi mereka semua adalah kafir, yakni Ahli Kitab dan Musyrikin. Wallahu A’lam