Matan Hadits:
عَنْ أَبي سَعيدٍ الخُدريِّ رضي الله عنه قَالَ: سَمِعتُ رِسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقولُ: (مَن رَأى مِنكُم مُنكَرَاً فَليُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَستَطعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَستَطعْ فَبِقَلبِه وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإيمَانِ) رواه مسلم.
Dari Abu Sa’id Al Khudri Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran maka ubahlah dengan tangannya, jika dia tidak mampu maka ubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu maka ubahlah dengan hati, dan demikia itu adalah selemah-lemahnya iman. (HR. Muslim)
Makna Kata dan Kalimat:
عَنْ أَبي سَعيدٍ الخُدريِّ رضي الله عنه قَالَ : Dari Abu Sa’id Al Khudri Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata
Siapakan Abu Sa’id Al Khudri Radhiallahu ‘Anhu? Secara ringkas dari Imam Adz Dzahabi Rahimahullah:
“Dia adalah Al Imam Al Mujahid, muftinya kota Madinah, namanya Sa’ad bin Malik bin Sinan bin Tsa’alabah bin ‘Ubaid bin Al Abjar bin ‘Auf bin Al Haarits bin Al Khazraj. Ayahnya (Malik) mati syahid ketika perang Uhud, dan dirinya sendiri ikut perang Khandaq dan Bai’atur Ridhwan (Bai’at di bawah pohon). Dia adalah salah satu ahli fiqih dan mujtahid.
Hanzhalah bin Abi Sufyan meriwayatkan dari guru-gurunya, bahwa tidak ada seorang pun yang lebih mengetahui hadits-hadits para sahabat nabi dibanding Abu Sa’id Al Khudri.
Al Waqidi dan jamaah mengatakan, Abu Sa’id Al Khudri wafat tahun 74 H. Ismail Al Qadhi berkata: Aku mendengar Ali bin Al Madini mengatakan bahwa Abu Sa’id wafat tahun 63 H.
Musnad Abu Sa’id terdapat 1170 hadits. Pada Bukhari dan Muslim terdapat 43 hadits. Pada Bukhari saja ada 16 hadits, pada Muslim saja ada 52 hadits.” (Selengkapnya lihat Siyar A’lamin Nubala, 3/168-172)
سَمِعتُ رِسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقولُ : Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda
Selanjutnya:
مَن رَأى مِنكُم مُنكَرَاً : Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran
Kata “man – siapa” di sini pada dasarnya adalah berlaku untuk umum, yakni siapa saja yang melihat dan mengetahui kemungkaran tanpa kecuali. Ini merupakan hukum dasar yang berlaku. Namun para ulama menyebutkan bahwa kewajiban ini hanya berlaku bagi:
- Para mukallaf (orang yang kena beban syariat), sehingga anak-anak, orang gila, tidur, pingsan, dan semisalnya, tidak termasuk di dalamnya.
- Berlaku bagi yang melihat dan mengetahui, ada pun yang tidak melihat dan tidak mengetahui, tidak terkena kewajiban ini.
Kata “ra’a – melihat” dijelaskan oleh Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr Rahimahullah:
ورؤية المنكر يحتمل أن يكون المراد منها الرؤية البصرية، أو ما يشملها ويشمل الرؤية العلمية
Melihat kemungkaran diartikan maksudnya adalah penglihatan mata (bashariyah), atau yang mencakupinya, dan mencakup pula ru’yah ‘ilmiyah (pendangan dari sisi ilmu pengetahuan/keilmuan). (Fathul Qawwi Al Matin, Hal. 104)
Ada pun kata “minkum – di antara kalian”, berkata Imam Al Munawi Rahimahullah tentang maknanya: ma’syiral muslimin al mukallifiin al qaadiriin– semua kaum muslimin yang mukallaf. (At Taisir bisyarhi Al Jami’ Ash Shaghir, , 2/809, juga At Tuhfah Rabbaniyah, Syarah No. 34)
Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id Rahimahullah menjelaskan dengan penjelasan bagus:
قالوا: ولا يختص الأمر بالمعروف والنهى عن المنكر بأصحاب الولاية بل ذلك ثابت لآحاد المسلمين وإنما يأمر وينهى من كان عالماً بما يأمر به وينهى عنه فإن كان من الأمور الظاهرة مثل: الصلاة والصوم والزنا وشرب الخمر ونحو ذلك، فكل المسلمين علماء بها وإن كان من دقائق الأفعال والأقوال وما يتعلق بالاجتهاد ولم يكن للعوام فيه مدخل فليس لهم إنكاره بل ذلك للعلماء.
Mereka (para ulama) mengatakan: amar ma’ruf nahi munkar tidak dikhususkan bagi para penguasa pada sebuah wilayah, tetapi itu berlaku secara pasti bagi setiap kaum muslimin. Hanya saja memerintah dan melarang memang berlaku bagi yang mengetahui (‘aalim) terhadap apa yang dia perintah dan larang, jika hal itu termasuk perkara-perkara yang nampak seperti shalat, puasa, zina, minum khamr, dan semisalnya. Maka setiap muslim mengetahui hal itu. Sedangkan jika perkaranya adalah masalah yang detil dan rumit baik tentang perbuatan dan perkataan, yang terkait dengan ijtihad, maka ini bukan domain bagi orang awam, mereka tidak berhak mengingkarinya tetapi ini adalah kewajiban bagi para ulama. (Syarah Al Arbain An Nawawiyah, Hal 113)
Ada pun kata “munkaran – kemungkaran” , Syaikh Ismail Al Anshari menjelaskan maknanya:
شيئا قبحه الشرع فعلا وقولا ، ولو صغيرا.
Sesuatu yang dinilai buruk oleh syariat, baik berupa perbuatan dan ucapan, walaupun urusan yang kecil. (At Tuhfah Ar Rabbaniyah, Syarah No. 34)
Kemungkaran yang bagaimana?
Masalah ini sudah kami bahas pada Syarah Hadits ke-25, namun ada bagian penting yang perlu di-review lagi, yaitu kemungkaran bagaimanakah yang wajib diingkari?
Kemungkaran yang hendak dicegah, hendaknya kemungkaran yang disepakati keharamannya atau kekeliruannya, baik karena ditegaskan oleh nash shahih dan sharih (jelas), serta ijma’, seperti judi, mabuk, zina, korupsi, copet, dan semisalnya. Jika kemungkaran itu ternyata masih diperselisihkan oleh banyak ulama, sebagian mengatakan munkar dan haram, sebagian mengatakan mubah, dengan alasan dan dalil mereka masing-masing –dengan kata lain bukan kategori ijma’– maka tidak boleh dilakukan pengingkaran, kecuali bila mendatangkan mudharat yang jelas. Misalnya, bermain catur, mendengarkan musik, laki-laki yang mencukur habis jenggotnya, isbal (memakai kain, celana panjang, dan gamis melewati mata kaki) dan sebagainya. Dalam hal ini yang kita lakukan adalah tasamuh (toleran), dialog yang baik, dan saling memberikan nasihat karena Allah Ta’ala, dan keluar dari khilafiyah adalah jalan yang lebih selamat dan utama.
Nasihat Para Ulama:
Imam As Suyuthi Rahimahullah menyebutkan:
الْقَاعِدَةُ الْخَامِسَةُ وَالثَّلَاثُونَ ” لَا يُنْكَرُ الْمُخْتَلَفُ فِيهِ ، وَإِنَّمَا يُنْكَرُ الْمُجْمَعُ عَلَيْهِ
Kaidah yang ke-35, “Tidak boleh ada pengingkaran terhadap masalah yang masih diperselisihkan. Seseungguhnya pengingkaran hanya berlaku pada pendapat yang bertentangan dengan ijma’ (kesepakatan) para ulama.” (Imam As Suyuthi, Al Asybah wa An Nazhair, hal. 185)
Imam An Nawawi Rahimahullah mengatakan:
ثُمَّ الْعُلَمَاء إِنَّمَا يُنْكِرُونَ مَا أُجْمِعَ عَلَيْهِ أَمَّا الْمُخْتَلَف فِيهِ فَلَا إِنْكَار فِيهِ
Kemudian, para ulama hanya mengingkari dalam perkara yang disepakati para imam. Adapun dalam perkara yang masih diperselisihkan, maka tidak boleh ada pengingkaran padanya. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 2/23)
Imam Abu Nu’aim mengutip ucapan Imam Sufyan Ats Tsauri, sebagai berikut:
إذا رأيت الرجل يعمل العمل الذي قد اختلف فيه وأنت ترى غيره فلا تنهه.
“Jika engkau melihat seorang melakukan perbuatan yang masih diperselisihkan, padahal engkau punya pendapat lain, maka janganlah kau melarangnya.” (Imam Abu Nu’aim Al Asbahany, Hilyatul Auliya’, 6/368. Imam Khathib Al Bagdhadi, Al Faqih wal Mutafaqih, 2/355. Imam Ibnul Qayyim, I’lamul Muwaqi’in, 2/204)
Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id Rahimahullah berkata:
والعلماء إنما ينكرون ما أجمع عليه أما المختلف فيه فلا إنكار فيه لأن على أحد المذهبين: أن كل مجتهد مصيب وهو المختار عند كثير من المحققين. وعلى المذهب الآخر: أن المصيب واحد والمخطئ غير متعين لنا والإثم موضوع عنه لكن على جهة النصيحة للخروج من الخلاف فهو حسن مندوب إلى فعله برفق.
Para ulama hanya mengingkari hal-hal yang telah disepakati (ijma’), ada pun apa-apa yang masih diperselisihkan maka hendaknya jangan dingkari, karena hal itu merupakan salah satu di antara dua pendapat: bahwasanya setiap mujtahid adalah benar, dan inilah pendapat yang dipilih oleh mayoritas para muhaqqiqin (peneliti). Pendapat lain menyebutkan bahwasanya kebenaran hanya satu, ada pun pihak yang salah bagi kami tidaklah didustakan dan berdosa, tetapi hendaknya tetap diberikan nasihat supaya keluar dari perselisihan. Dan, ini adalah anjuran yang baik kepada yang melakukannya dengan lembut. (Syarh Al Arbain An Nawawiyah, Hal. 113)
Selanjutnya:
فَليُغَيِّرْهُ : maka ubahlah
Yaitu maka ubahlah kemungkaran menjadi kebaikan atau hilangkanlah kemungkaran itu, paling tidak kecilkanlah dia.
بِيَدِهِ : dengan tangannya
Yaitu dengan kekuatan dan kekuasaannya.
Berkata Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badar Rahimahullah:
وهذا يكون من السلطان ونوابه في الولايات العامة، ويكون أيضاً من صاحب البيت في أهل بيته في الولايات الخاصة
Cara merubah seperti ini adalah tugas penguasa dan wakilnya (aparat) pada wilayah kekuasaan yang umum, dan juga termasuk seorang pemilik rumah pada keluarganya pada wilayah yang lebih khusus. (Fathul Qawwi Al Matin, Hal. 104)
Jadi, mengubah kemungkaran dengan kekuatan adalah bagi “penguasa” di mana pun, pada jenis kekuasaan apa pun, baik besar atau kecil. Dari Presiden hingga ketua RT, dan kepala rumah tangga di rumahnya.
Hal ini bisa berupa mengeluarkan undang-undang anti maksiat, razia lokalisasi maksiat, memusnahkan khamr dan narkoba, atau seorang ayah yang menyita HP dan laptop anaknya yang digunakan untuk maksiat, dan seterusnya.
Contoh-contoh pada masa terdahulu cukup banyak, seperti sikap Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiallahu ‘Anhu terhadap gerakan penolak zakat dengan cara memeranginya, sikap Umar Al Faruq Radhiallahu ‘Anhu terhadap Musailimah Al Kadzdzaab hingga terjadi perang Yamamah.
Selanjutnya:
فَإِنْ لَمْ يَستَطعْ : jika dia tidak mampu
Yaitu jika dia tidak mampu dengan kekuatan, baik disebabkan dia tidak memilikinya, atau tidak cukup keberaniannya, atau dia khawatir dengan keselamatannya, atau pelaku kemungkaran itu orang yang lebih kuat dan berkuasa dibanding dirinya, dan sebab lainnya.
Syaikh Ismail Al Anshari Rahimahullah mengatakan:
فإن لم يستطع : الإنكار بيده ، لكون فاعله أقوى منه ، ويلحقه الضرر بالتغيير باليد
Jika dia tidak mampu mengingkari dengan tangannya, karena keadaan pelakunya lebih kuat darinya dan dia akan mendapatkan celaka jika mengubahnya dengan tangan. (At Tuhfah Ar Rabbaniyah, Syarah no. 34)
Seperti anak sulung terhadap kemungkaran yang dilakukan oleh orang tuanya, penghuni perumahan terhadap kumpulan preman jalanan, penasihat presiden terhadap presiden, dan sebagainya.
Selanjutnya:
فَبِلِسَانِهِ : maka ubahlah dengan lisannya
Yaitu ubahlah dengan ucapan yang hikmah (bil hikmah), pelajaran baik (mau’izhah hasanah), peringatan (tadzkirah), dan alasan yang benar dan ilmiah (hujjah baalighah), atau meminta bantuan orang yang lebih mampu, atau kadang dengan kata-kata yang keras jika memang diperlukan.
Imam Al Munawi Rahimahullah mengatakan:
أي بالقول كاستغاثة أو توبيخ أو اغلاظ بشرطه
Yaitu ubahlah dengan perkataan seperti meminta bantuan, atau teguran, atau teguran keras jika memenuhi syaratnya. (At Taisir, 2/809)
Selanjutnya:
فَإِنْ لَمْ يَستَطعْ : jika dia tidak mampu
Yaitu jika dia tidak mampu mengubahnya dengan lisan, baik karena dia bodoh, tidak tahu masalah, atau pelaku kemungkaran itu lebih pintar darinya, dan sebagainya.
Imam Al Munawi Rahimahullah mengatakan:
( فان لم يستطع ) ذلك بلسانه لجود مانع كخوف فتنة أو خوف على نفس أ عضو أو مال
(Jika dia tidak mampu) merubah hal itu dengan lisannya karena keselamatan si pencegahnya seperti takut fitnah atas jiwanya, anggota badan atau hartanya. (Ibid)
Selanjutnya:
فَبِقَلبِه : maka ubahlah dengan hatinya
Yaitu dengan membencinya, itulah perbuatan yang paling minimal dilakukan oleh orang beriman, yaitu membencinya di hati. Ini bisa dilakukan oleh siapa saja, baik yang kuat dan lemah.
Imam Ibnu ‘Allan Rahimahullah mengatakan:
ينكره بأن يكره ذلك ويعزم أن لو قدر عليه بقول أو فعل أزاله لأنه يجب كراهة المعصية فالراضي بها شريك لفاعلها وهذا واجب على كل أحد بخلاف اللذين قبله، فعلم من الحديث وما تقرر فيه وجوب تغيير المنكر بأيّ طريق أمكن
Mengingkari dengan cara membenci hal itu dan bertekad jika seandainya dia memiliki kemampaun dengan ucapan dan perbuatan maka dia akan menghilangkannya, karena adalah hal yang wajib membenci kemaksiatan, maka ridha terhadap kemaksiatan merupakan bentuk partisipasi bersama pelakunya, dan ini adalah kewajiban bagi setiap orang berbeda dengan dua cara sebelumnya. Maka, dari hadits ini bisa diketahui bahwa apa-apa yang disebutkan di dalamnya adalah tentang kewajiban mengubah kemungkaran dengan cara yang paling memungkinkan. (Dalilul Falihin, 2/162)
Selanjutnya:
وَذَلِكَ : dan hal itu
Yaitu cara mengubah kemungkaran dengan hati, yang merupakan pilihan terakhir dan paling minim resikonya.
Imam Ibnu ‘Allan mengatakan:
(وذلك) أي: الإنكار بالقلب للعجز عنه بغيره
(dan yang demikian itu) yaitu mengingkari dnegan hati karena kelemahan dirinya untuk mengubahnya. (Ibid)
Selanjutnya:
أَضْعَفُ الإيمَانِ : selemah-lemahnya iman
Yaitu selemah-lemahnya amalan yaitu mengikari kemaksiatan di hati, dan ini merupakan buah dari keimanan.
Imam Ibnu ‘Allan Rahimahullah mengatakan:
(أضعف الإيمان) أي: أقله ثمرة. وفي رواية «وهو أضعف الإيمان» وليس وراء ذلك من الإيمان حبة خردل، ومنه يستفاد أن عدم إنكار القلب للمنكر دليل على ذهاب الإيمان منه، ومن ثم قال ابن مسعود: هلك من لم يعرف بقلبه المعروف والمنكر
(Selemah-lemahnya iman) yaitu buah yang paling kecil. Pada riwayat lain (dan dia adalah iman yang paling lemah), setelah itu tidak ada lagi iman walau sebij sawi. Dari hadits ini kita bisa mengambil faidah bahwa hati yang tidak mengingkari kemungkaran merupakan petunjuk hilangnya iman, oleh karena itu Ibnu Mas’ud berkata: “Binasalah orang yang tidak bisa mengenal ma’ruf dan munkar melalui hatinya.” (Ibid)
Diam karena strategi
Tidak selalu orang yang tidak mengambil tindakan dengan ucapan dan perbuatan menandakan dia mengalami lemah iman, karena hanya mengingkari di hati. Bagi seorang muslim, kita mesti memberikan zhan yang baik kepada saudaranya.
Bisa jadi diamnya karena sedang menyusun strategi, atau menunggu timing (waktu) yang tepat untuk melakukan perubahan, atau bisa jadi ketidakpeduliannya adalah bentuk nasihat bagi pelaku kemaksiatan.
Wallahu A’lam