Manusia diciptakan oleh Allah Ta’ala dengan membawa fitrah (naluri). Secara bahasa, fitrah artinya al khilqah yaitu keadaan asal ketika seorang manusia diciptakan oleh Allah.[1]
Fitrah yang dianugerahkan Allah Ta’ala kepada manusia diantaranya adalah:
Pertama, fitrah terhadap wujudul khaliq (eksistensi [keberadaan] Pencipta).
Syeikh Mahmud Syaltut dalam uraiannya tentang adanya naluri bertuhan dalam diri manusia, antara lain menerangkan:
“Bilamana manusia sedang dalam kesulitan yang amat sangat, yang telah mengatasi pendengaran, memecahkan pemikiran dan menghabiskan daya upaya, maka dalam keadaan seperti demikian ia tidak akan mendapai jalan keluar dari kesulitan yang sedang dihadapinya itu, kecuali menyerah kepada Allah, meminta pertolongan dari Kekuasaan, Petunjuk dan RahmatNya”. Firman Allah dalam Al-Quran,
هُوَ الَّذِي يُسَيِّرُكُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ حَتَّى إِذَا كُنْتُمْ فِي الْفُلْكِ وَجَرَيْنَ بِهِمْ بِرِيحٍ طَيِّبَةٍ وَفَرِحُوا بِهَا جَاءَتْهَا رِيحٌ عَاصِفٌ وَجَاءَهُمُ الْمَوْجُ مِنْ كُلِّ مَكَانٍ وَظَنُّوا أَنَّهُمْ أُحِيطَ بِهِمْ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ لَئِنْ أَنْجَيْتَنَا مِنْ هَذِهِ لَنَكُونَنَّ مِنَ الشَّاكِرِينَ
“Dialah Tuhan yang menjadikan kamu dapat berjalan di daratan, (dan berlayar) di lautan. Sehingga ketika kamu berada di dalam kapal, dan meluncurlah (kapal) itu membawa mereka (orang-orang yang ada di dalamnya) dengan tiupan angin yang baik, dan mereka bergembira karenanya; tiba-tiba datanglah badai dan gelombang menimpanya dari segenap penjuru, dan mereka mengira telah terkepung (bahaya), maka mereka berdoa dengan tulus ikhlas kepada Allah semata. (Seraya berkata), “Sekiranya Engkau menyelamatkan kami dari (bahaya) ini, pasti Kami termasuk orang-orang yang bersyukur.” (QS. Yunus, 10: 22).
Jadi, manusia adalah makhluk yang asal kejadiannya bertuhan dan mengakui ada kekuasaan-Nya. Tuhan yang menjadikan alam semesta ini, itulah naluri dan fitrah manusia. Bahkan dalam Al-Quran disebutkan,
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab: ‘Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi’. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)’” (QS. Al-A’raf, 7: 172)
Tersirat dari ayat ini bahwa manusia sejak ia masih di alam ruh telah mengakui Allah sebagai Tuhannya.
Kedua, fitrah untuk ibadatul khaliq (menyembah/beribadah kepada Sang Pencipta). Penjelasan point kedua ini pun dapat dijelaskan dengan penjelasan point pertama di atas. Salah satu bukti yang menunjukkan bahwa ibadah adalah bagian dari fitrah manusia, adalah sebagaimana yang kita lihat dalam sejarah perkembangan manusia itu sendiri. Manakala belum sampai kepada mereka para Nabi dan Rasul yang diutus Allah Ta’ala atau ajaran yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul, maka manusia selalu beribadah atau menyembah “tuhan” yang mereka yakini keberadaannya dengan interpretasi masing-masing. Ada yang menyembah batu, pohon kayu, berhala atau patung yang mereka buat sendiri, dan lain sebagainya.
Ketiga, fitrah terhadap al-hayatul munadzamah (kehidupan yang teratur). Oleh karena itu manusia sebagai mahluk individu maupun sosial, dengan dorongan fitrahnya selalu berupaya menata kehidupannya. Ada aturan-aturan dan norma-norma yang dibuat; ada pemimpin dan yang dipimpin; ada ketetapan sanksi bagi mereka yang melanggar, dan atau sejenisnya.
*****
Ketiga fitrah manusia tersebut di atas, membutuhkan bimbingan Allah Ta’ala. Karena tanpa bimbingan-Nya manusia akan terjerumus pada kesesatan. Oleh karena itu, dengan kasih sayang-Nya, Allah Ta’ala telah mengutus para Rasul untuk memberikan petunjuk yang benar agar mereka ma’rifatul khaliq (mengenal Penciptanya).
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلا بِلِسَانِ قَوْمِهِ لِيُبَيِّنَ لَهُمْ فَيُضِلُّ اللَّهُ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan dengan bahasa kaumnya, agar dia dapat memberi penjelasan kepada mereka..” (QS. Ibrahim, 14: 4)
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
“Dan sungguh, Kami telah mengutus seorang rasul untuk setiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut…” (QS. An-Nahl, 16: 36)
Melalui bimbingan para rasul, manusia pun akan mengenal minhajul hayah (pedoman hidup). Allah Ta’ala berfirman,
كَمَا أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولا مِنْكُمْ يَتْلُو عَلَيْكُمْ آيَاتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ
“Sebagaimana (Kami Telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.” (QS. Al-Baqarah, 2: 151).
*****
Dengan ma’rifatul khaliq (mengenal Pencipta) dan minhajul hayah (pedoman hidup) yang benar itulah manusia dapat melaksanakan al-‘ibadatus shahihah (ibadah yang benar).
Allah Ta’ala berfirman,
فَأَمَّا الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَاعْتَصَمُوا بِهِ فَسَيُدْخِلُهُمْ فِي رَحْمَةٍ مِنْهُ وَفَضْلٍ وَيَهْدِيهِمْ إِلَيْهِ صِرَاطًا مُسْتَقِيمًا
“Adapun orang-orang yang beriman kepada Allah dan berpegang teguh kepada (agama)-Nya, maka Allah akan memasukkan mereka ke dalam rahmat dan karunia dari-Nya (surga), dan menunjukkan mereka jalan yang lurus kepada-Nya.” (QS. An-Nisa, 4: 175)
يَهْدِي بِهِ اللَّهُ مَنِ اتَّبَعَ رِضْوَانَهُ سُبُلَ السَّلامِ وَيُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِهِ وَيَهْدِيهِمْ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
“Dengan kitab itulah Allah memberi petunjuk kepada orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang itu dari gelap gulita kepada cahaya dengan izin-Nya, dan menunjukkan ke jalan yang lurus.” (QS. Al-Maidah, 5: 16)
Wallahu A’lam.
[1] Lihat: Lisaanul Arab 5/56, Al Qamus Al Muhith 1/881