Segala sesuatu yang keluar dari dua jalan pembuangan (kencing, tinja, angin, madziy, atau wadiy) adalah membatalkan wudhu, kecuali mani yang mengharuskannya mandi. Dalilnya adalah firman Allah, “… atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, …..” (QS. Al Maidah: 6) dan sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam,
لَا يَقْبَلُ اللَّهُ صَلَاةَ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ
“Tidak akan diterima shalat seseorang yang berhadats sehingga dia berwudhu.” (Mutaafaq ‘alaih).
Tentang mani, madzi, dan wadi Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan,
الْمَنِىُّ وَالْمَذْىُ وَالْوَدْىُ ، أَمَّا الْمَنِىُّ فَهُوَ الَّذِى مِنْهُ الْغُسْلُ ، وَأَمَّا الْوَدْىُ وَالْمَذْىُ فَقَالَ : اغْسِلْ ذَكَرَكَ أَوْ مَذَاكِيرَكَ وَتَوَضَّأْ وُضُوءَكَ لِلصَّلاَةِ.
“Mengenai mani, madzi dan wadi; adapun mani, maka diharuskan untuk mandi. Sedangkan wadi dan madzi, Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Cucilah kemaluanmu, lantas berwudhulah sebagaimana wudhumu untuk shalat.” (HR. Al Baihaqi no. 771).
Perkara lain yang membatalkan wudhu tersebut antara lain;
- Tidur lelap yang tidak menyisakan daya ingat, seperti dalam hadits Shafwan bin ‘Assal ra berkata:
كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَأْمُرُنَا إِذَا كُنَّا سَفْرًا أَنْ لَا نَنْزِعَ خِفَافَنَا ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِيَهُنَّ إِلَّا مِنْ جَنَابَةٍ وَلَكِنْ مِنْ غَائِطٍ وَبَوْلٍ وَنَوْمٍ
“Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyuruh kami jika dalam perjalanan untuk tidak melepas sepatu kami selama tiga hari tiga malam, sebab buang air kecil, air besar maupun tidur, kecuali karena junub.” (HR. Ahmad, An Nasa’iy, At Tirmidzi dan menshahihkannya).
Dalam hadits di atas, kata ‘tidur’ disebutkan bersama dengan buang air kecil dan air besar yang telah diketahui sebagai pembatal wudhu. Sedang tidur dengan duduk tidak membatalkan wudhu jika tidak bergeser tempat duduknya. Hal ini tercantum dalam hadits Anas ra, yang diriwayatkan oleh Asy Syafi’iy, Muslim, Abu Daud:
كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْتَظِرُونَ الْعِشَاءَ الْآخِرَةَ حَتَّى تَخْفِقَ رُءُوسُهُمْ ثُمَّ يُصَلُّونَ وَلَا يَتَوَضَّئُونَ
“Adalah para sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pada masa Nabi menunggu shalat isya’ sehingga kepala mereka tertunduk, kemudian mereka shalat tanpa berwudhu.”
- Hilang akal baik karena gila, pingsan, atau mabuk. Karena hal ini menyerupai tidur dari sisi hilangnya kesadaran.
Dua hal di atas disepakati sebagai pembatal wudhu, dan para ulama berbeda pendapat dalam beberapa hal berikut ini:
- Menyentuh kemaluan tanpa sekat, membatalkan wudhu menurut Syafi’iy, dan Ahmad, seperti dalam hadits Buroh binti Shafwan, bahwasannya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ
“Barangsiapa yang menyentuh kemaluannya, hendaklah ia berwudhu.” (HR. Abu Daud no. 181, An Nasa-i no. 447, dan At Tirmidzi no. 82)
Al Bukhari berkata: “Inilah yang paling shahih dalam bab ini. Telah diriwayatkan pula hadits yang mendukungnya dari tujuh belas orang sahabat.”
Menurut madzhab Abu Hanifah, salah satu pendapat Imam Malik dan merupakan pendapat beberapa sahabat, disebutkan bahwa menyentuh kemaluan tidaklah membatalkan wudhu sama sekali.
Di antara dalil dari pendapat ini adalah hadits dari Tholq bin ‘Ali di mana ada seseorang yang mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bertanya,
مَسِسْتُ ذَكَرِى أَوِ الرَّجُلُ يَمَسُّ ذَكَرَهُ فِى الصَّلاَةِ عَلَيْهِ الْوُضُوءُ قَالَ « لاَ إِنَّمَا هُوَ مِنْكَ
“Aku pernah menyentuh kemaluanku atau seseorang ada pula yang menyentuh kemaluannya ketika shalat, apakah ia diharuskan untuk wudhu?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Kemaluanmu itu adalah bagian darimu.” (HR. Ahmad 4/23. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa ada seseorang yang mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas ia bertanya,
يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا تَرَى فِى رَجُلٍ مَسَّ ذَكَرَهُ فِى الصَّلاَةِ قَالَ « وَهَلْ هُوَ إِلاَّ مُضْغَةٌ مِنْكَ أَوْ بَضْعَةٌ مِنْكَ ».
“Wahai Rasulullah, apa pendapatmu mengenai seseorang yang menyentuh kemaluannya ketika shalat?” Beliau bersabda, “Bukankah kemaluan tersebut hanya sekerat daging darimu atau bagian daging darimu?” (HR. An Nasa-i no. 165. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Dan juga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berhujah dengan hadits ini, maka itu pertanda beliau menshahihkannya. Lihat Majmu’ Al Fatawa, 21/241)
- Darah yang mengucur, membatalkan wudhu menurut Abu Hanifah, seperti dalam hadits Aisyah ra bahwasannya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَصَابَهُ قَيْءٌ أَوْ رُعَافٌ أَوْ قَلَسٌ أَوْ مَذْيٌ فَلْيَنْصَرِفْ فَلْيَتَوَضَّأْ ثُمَّ لِيَبْنِ عَلَى صَلَاتِهِ وَهُوَ فِي ذَلِكَ لَا يَتَكَلَّمُ أَخْرَجَهُ اِبْنُ مَاجَ ه وَضَعَّفَهُ أَحْمَدُ وَغَيْرُهُ
“Barangsiapa yang muntah atau mengeluarkan darah dari hidung (mimisan) atau mengeluarkan dahak atau mengeluarkan madzi maka hendaklah ia berwudlu lalu meneruskan sisa shalatnya namun selama itu ia tidak berbicara” (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah namun dianggap lemah oleh Ahmad dan Al Baihaqi).
Menurut Asy Syafi’iy dan Malik bahwasannya keluarnya darah tidak membatalkan wudhu. Karena hadits yang menyebutkannya tidak kokoh menurutnya, juga karena hadits Anas ra:
ﺃَﻥَّ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲَّ ﺻﻠّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺍﺣْﺘَﺠَﻢَ ﻭَﺻَﻠَّﻰ ﻭﻟَﻢْ ﻳَﺘَﻮَﺿَّﺄ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbekam dan shalat setelahnya tanpa berwudhu.” (HR. Ad-Daraquthni, 1/157 dan Al-Baihaqi, 1/141)
Hadits ini meskipun tidak sampai pada tingkat shahih, tetapi banyak didukung hadits lain yang cukup banyak. Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata,
مَا زَالَ الْمُسْلِمُونَ يُصَلُّونَ فِى جِرَاحَاتِهِمْ
“Kaum muslimin (yaitu para sahabat) biasa mengerjakan shalat dalam keadaan luka.”(HR Al Bukhariy).
- Muntah yang banyak dan menjijikkan, seperti dalam hadits Ma’dan bin Abi Thalahah dari Abu Darda’,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَاءَ فَأَفْطَرَ فَتَوَضَّأَ فَلَقِيتُ ثَوْبَانَ فِي مَسْجِدِ دِمَشْقَ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ صَدَقَ أَنَا صَبَبْتُ لَهُ وَضُوءَهُ
”Bahwasannya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam muntah lalu berwudhu. Ia berkata: Kemudian aku berjumpa dengan Tsauban di masjid Damaskus, aku tanyakan kepadanya tentang ini. Ia menjawab: “Betul, saya yang menuangkan air wudhunya.” (HR At Tirmidziy dan mensahihkannya).
Demikianlah madzhab Hanafiy. Dan menurut Syafi’iy dan Malik bahwa muntah tidak membatalkan wudhu, karena tidak ada hadits yang memerintahkannya. Hadits Ma’dan di atas dimaknai Istihbab/sunnah.
- Menyentuh lawan jenis atau bersalaman, membatalkan wudhu menurut Syafi’iyah, karena firman Allah, “…dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih)…” (QS. Al Maidah:6).
Namun tidak membatalkan menurut jumhurul ulama, karena banyaknya hadits yang menyatakan tidak membatalkannya. Diantaranya hadits,
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : كُنْتُ أَنَامُ بَيْنَ يَدَيْ رَسُول اللَّهِ وَرِجْلاَيَ فِي قِبْلَتِهِ فَإِذَا سَجَدَ غَمَزَنِي فَقَبَضْتُ رِجْلِي فَإِذَا قَامَ بَسَطْتُهُمَا
Dari Aisyah radhiyallahuanha berkata, “Aku sedang tidur di depan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan kakiku berada pada arah kiblatnya. Bila Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam sujud, beliau beliau sentuh kakiku sehingga kutarik kedua kakiku. Jika beliau bangkit berdiri kembali kuluruskan kakiku.”(HR Bukhari Muslim).
وَعَنْهَا أَنَّهُ قَبَّل بَعْضَ نِسَائِهِ ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الصَّلاَةِ وَلَمْ يَتَوَضَّأْ
Dari Aisyah radhiyallahuanha berkata bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam mencium sebagian istrinya kemudian keluar untuk shalat tanpa berwudhu’ lagi. (HR. Tirmizy)
- Tertawa terbahak-bahak membatalkan wudhu menurut madzhab Hanafi, karena ada hadits,
أَنَّ أَعْمَى تَرَدَّى فِي بِئْرٍ , فَضَحِكَ نَاسٌ خَلْفَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , فَأَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ ضَحِكَ أَنْ يُعِيدَ الْوُضُوءَ وَالصَّلاةَ
“Bahwasannya ada seorang buta yang terjatuh ke dalam sumur, lantas tertawalah orang-orang yang sholat di belakang Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh siapa saja yang tertawa agar mengulangi sholat dan wudhu.” (HR. Ad-Daruqutni)
Sedang menurut jumhurul ulama tertawa terbahak-bahak membatalkan shalat tetapi tidak membatalkan wudhu.
Juga karena hadits Nabi:
الضَّحِكُ يُنْقِضُ الصَّلَاةَ وَلَا يُنْقِضُ الْوُضُوءَ
“Tertawa itu membatalkan shalat, dan tidak membatalkan wudhu.” (Sunan Ad-Daruquthni, no. 658).
- Jika orang yang berwudhu ragu apakah sudah batal atau belum, maka hal itu tidak membatalkan wudhu sehingga ia yakin bahwa telah terjadi sesuatu yang membatalkan wudhu. Karena hadits Nabi menyatakan,
إِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِي بَطْنِهِ شَيْئًا, فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ: أَخَرَجَ مِنْهُ شَيْءٌ, أَمْ لَا? فَلَا يَخْرُجَنَّ مِنْ اَلْمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا, أَوْ يَجِدَ رِيحًا – أَخْرَجَهُ مُسْلِم
“Jika salah seorang di antara kalian mendapati ada terasa sesuatu di perutnya, lalu ia ragu-ragu apakah keluar sesuatu ataukah tidak, maka janganlah ia keluar dari masjid hingga ia mendengar suara atau mendapati bau.” Diriwayatkan oleh Muslim. (HR. Muslim no. 362).
Sedang jika ragu apakah sudah wudhu atau belum maka ia wajib berwudhu sebelum shalat.
4 comments
Apakah makan dan minum membatalkan wudhu?? Dan merokok apakah membatalkan wudhu.trmksh…
Makan dan minum tidak membatalkan wudhu, berdasarkan hadits dari ‘Amru bin Umayyah radhiallahu ‘anhu, dia berkata:
يَحْتَزُّ مِنْ كَتِفِ شَاةٍ فَدُعِيَ إِلَى الصَّلَاةِ فَأَلْقَى السِّكِّينَ فَصَلَّى وَلَمْ يَتَوَضَّأْ
“Nabi memotong daging paha kambing (yang sudah dipanggang), saat panggilan shalat tiba, beliau langsung meletakkan pisaunya dan shalat tanpa berwudlu lagi.” (HR. Muttafaq ‘Alaih).
Begitupun merokok tidak membatalkan wudhu. Tapi, merokok sebaiknya dihindari karena merugikan kesehatan. Sebagian pihak memfatwakan haram, sebagian yang lain mengatakan makruh.
Help,Seseorang pernah bilang, Apabila menyentuh KecoaTerbang Maka Wudhu-mu batal
Apakah itu benar?