Pada tahun kedua belas setelah kenabian, dan setahun setelah Baiatul Aqabah pertama, Mush’ab bin Umair datang ke Makkah untuk berhaji dan melaporkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang penerimaan yang baik dari penduduk Yatsrib terhadap Islam.
Bersamaan dengan itu berangkat pula sekelompok kaum Anshar yang telah masuk Islam bersama dengan rombongan haji kaum musyrikin yang juga hendak menunaikan haji. Kaum Anshar juga bermaksud menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena mereka mengetahui kesulitan besar yang dialami kaum muslimin di Makkah. Diantara mereka ada yang berkata,
إِلَى مَتَى نَتْرُكُ رَسُوْلَ اللهِ يَطُوْفُ عَلَى الْقَبَائِلَ وَيُطْرَدُ فِي جِبَالِ مَكَّةَ وَيَخَافُ ؟!
“Sampai kapan kita akan membiarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkeliling ke kabilah-kabilah lalu diusir di pegunungan Makkah dan merasa tidak aman?”
Ketika rombongan ini tiba di Makkah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menemui para pemuka mereka dengan sembunyi-sembunyi. Sehingga Nabi mengetahui kesiapan mereka untuk memikul tanggung jawab membela dakwah. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjanjikan untuk bertemu mereka di Aqabah di tengah malam, di tengah hari tasyriq. Beliau meminta mereka untuk merahasiakan hal ini dari kaum Quraisy dan orang-orang yang musyrik Yatsrib yang menemani mereka agar kaum Quraisy tidak mengacaukannya atau menindas mereka bersama dengan kaum muslimin lainnya.
Pertemuan Rasulullah dengan Kaum Anshar
Ketika kaum Anshar telah selesai menunaikan hajinya, mereka kemudian menuju ke tempat pertemuan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Mereka merahasiakan urusannya dari kaum musyrikin. Mereka satu persatu keluar sehingga genap jumlah mereka tujuh puluh tiga orang; enam puluh dua orang dari Khazraj, dan sebelas orang dari Aus, bersama mereka terdapat dua orang wanita yaitu Nusaibah binti Ka’b dari Bani Najjaar dan Asma’ binti Amr dari Bani Salimah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di tempat pertemuan ditemani oleh Al-Abbas bin Abdul Muththalib yang saat itu masih memeluk agama nenek moyangnya. Ia hanya ingin menyaksikan keponakannya dan merasa tenang atasnya, serta meyakinkan kesungguhan tekad kaum Anshar. Maka ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah duduk di forum itu, Al-Abbas memulai pembicaraan, “Wahai kaum Khazraj! Sesungguhnya Muhammad adalah bagian dari kami yang kalian telah tahu asal usulnya. Kami melindunginya dari gangguan kaumnya, dari orang-orang yang memiliki pendapat seperti kami (orang-orang musyrik). Ia sangat mulia di tengah kaumnya, dilindungi di negerinya. Dan sesungguhnya ia ingin bergabung dengan kalian semua. Jika kalian yakin akan memenuhi itu, dan membelanya dari para penentangnya maka silahkan, dan jika kalian akan menyerahkannya dan membiarkannya setelah keluar bersama dengan kalian, maka dari sekarang tinggalkanlah, karena ia terlindung dan mulia di negerinya.”
Kaum Anshar menjawab, “Kami telah mendengar apa yang kamu katakan.”
Setelah itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbicara, membacakan Al-Qur’an, memberi nasihat tentang Islam, lalu mengatakan:
أُبَايِعُكُمْ عَلَى أَنْ تَمْنَعُونِي مِمَّا تَمْنَعُونَ مِنْهُ نِسَاءَكُمْ وَأَبْنَاءَكُمْ
“Saya minta kalian berbaiat (berjanji) untuk melindungiku sebagaimana kalian melindungi isteri dan anak-anak kalian.”
Al Barra’ bin Ma’rur kemudian memegang tangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata,
وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ لَنَمْنَعَنَّكَ مِمَّا نَمْنَعُ مِنْهُ أُزُرَنَا فَبَايِعْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ فَنَحْنُ أَهْلُ الْحُرُوبِ وَأَهْلُ الْحَلْقَةِ وَرِثْنَاهَا كَابِرًا عَنْ كَابِرٍ
“Demi Yang telah mengutusmu dengan membawa kebenaran, sungguh kami akan melindungimu sebagaimana kami melindungi isteri kami. Maka Baiatlah kami kami Wahai Rasulullah, kami adalah tukang perang dan ahli pedang. Kami warisi ketrampilan ini turun temurun.”
Setelah itu Abul Haitsam bin At Tayhan berdiri dan berkata,
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ بَيْنَنَا وَبَيْنَ الرِّجَالِ حِبَالًا وَإِنَّا قَاطِعُوهَا يَعْنِي الْعُهُودَ فَهَلْ عَسَيْتَ إِنْ نَحْنُ فَعَلْنَا ذَلِكَ ثُمَّ أَظْهَرَكَ اللَّهُ أَنْ تَرْجِعَ إِلَى قَوْمِكَ وَتَدَعَنَا
“Ya Rasulallah, sesungguhnya antara kami dan mereka (maksudnya adalah Yahudi) ada hubungan (koalisi) dan kami akan memutuskannya. Apakah nanti setelah kami lakukan hal itu lalu Allah berikan kemenangan kepadamu, apakah kamu akan kembali kepada kaummu dan meninggalkan kami?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tersenyum dan berkata,
بَلْ الدَّمَ الدَّمَ وَالْهَدْمَ الْهَدْمَ أَنَا مِنْكُمْ وَأَنْتُمْ مِنِّي أُحَارِبُ مَنْ حَارَبْتُمْ وَأُسَالِمُ مَنْ سَالَمْتُمْ
“Bahkan darah (ku, red) adalah darah (kalian); kehormatan (ku) adalah kehormatan (kalian). Aku menjadi bagian dari kalian dan kalian menjadi bagian dariku, aku perangi orang yang kalian perangi dan aku berdamai dengan orang yang kalian berdamai dengannya”.
Ibnu Hisyam menerangkan, “Yang dimaksud dengan kata al-hadm al-hadm adalah kehormatan. Maksudnya, tanggunganku adalah tanggungan kalian dan kehormatanku adalah kehormatan kalian.” [1]
Di antara orang yang berbicara adalah As’ad bin Zararah,
سَلْ ياَ مُحَمَّدٌ لِرَبِّكَ مَا شِئْتَ ثُمَّ سَلْ لِنَفْسِكَ بَعْدَ ذَلِكَ مَا شِئْتَ ثُمَّ أَخْبِرْنَا مَا لَنَا مِنَ الثَّوَابِ إِذَا فَعَلْنَا ذَلِكَ
“Wahai Muhammad, mintalah (dari kami) untuk Rabbmu apa yang kamu mau, kemudian mintalah (dari kami) untuk dirimu setelah itu apa yang kamu mau, kemudian beritahukan kepada kami balasan apa yang akan kami terima jika kami melaksanakan apa yang kamu minta itu.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
أسْأَلُكُمْ لِرَبِّي أَنْ تَعْبُدُوْهُ وَلاَ تُشْرِكُوْا بِهِ شَيْئاً وَأَسْأَلُكُمْ لِنَفْسِي وَأَصْحَابِي أَنْ تَأْوُوْنَا وَتَنْصُرُوْنَا وَتَمْنَعُوْنَا مِمَّا تَمْنَعُوْنَ مِنْهُ أَنْفُسَكُمْ
“Aku meminta kalian untuk Rabbku agar kalian menyembah-Nya dan tidak menyekutukan dengan apapun. Dan aku minta untuk diriku dan sahabatku agar kalian menerimanya dan menolongnya, melindungi kami sebagaimana kalian melindungi diri kalian sendiri.”
Mereka berkata,
فَمَا لَنَا إِذَا فَعَلْنَا ذَلِكَ ؟
“Lalu apa yang kami dapatkan jika hal itu kami lakukan?”
Jawab Nabi,
اَلْجَنَّةُ
“Surga”
Mereka berkata,
فَلَكَ ذَلِكَ
“Permintaan itu (kami) penuhi.”
Naskah Baiat
Setelah mengungkapkan iman kepada Allah, mencintai karena Allah dan ukhuwwah diniyah, serta kesiapan berkorban untuk membela Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kaum Anshar bertekad bulat berbaiat dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam; dan yang pertama berbaiat adalah Al Barra’ bin Ma’rur radhiyallahu anhu.
Baiat itu berisi dua hal penting, yaitu: penguatan prinsip-prinsip Islam dan membela Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku bertanya, ‘Wahai Rasulullah, untuk hal apa kami membaiatmu?’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
تُبَايِعُوْنَنِي عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي النَّشَاطِ وَالْكَسَلِ وَالنَّفَقَةِ فِي الْعُسْرِ وَالْيُسْرِ وَعَلَى الأَمْرِ بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيِ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأَنْ تَقُوْمُوْا فِي اللهِ لاَ تَخَافُوْنَ لَوْمَةَ لاَئِمٍ وَعَلَى أَنْ تَنْصُرُوْنِي فَتَمْنَعُوْنِي إِذَا قَدِمْتُ عَلَيْكُمْ مِمَّا تَمْنُعَوْنَ مِنْهُ أَنْفُسَكُمْ وَأَبْنَاءَكُمْ وَأَزْوَاجَكُمْ وَلَكُمُ الْجَنَّةُ
“Engkau membaiatku untuk mendengar dan taat dalam semangat dan malas, berinfaq dalam keadaan susah dan mudah, beramar ma’ruf nahi munkar, membela agama Allah, tidak takut celaan pencela, menolongku dan membelaku ketika aku sudah ada bersamamu (di Yatsrib), sebagaimana kamu semua menjaga diri, anak-anak, dan isterimu; dan surga menjadi balasanmu”.
Mutaba’ah Pelaksanaan Baiat
Setelah kaum Anshar berbaiat atas beberapa syarat ini, Rasulullah shallallahu ‘laihi wa sallam meminta kepada mereka untuk menunjuk dua belas orang naqib (pemimpin) yang menjadi perwakilan kaumnya. Lalu mereka menunjuk sembilan orang dari Khazraj dan tiga orang dari Aus. Pemilihan tersebut berdasarkan kemampuan dan bobot tanggung jawab mereka. Dari kalangan Khazraj: As’ad bin Zurarah untuk Kabilah Bani An-Najjar, Sa’ad bin Rabi’ untuk Kabilah Bani Malik, Abdullah bin Rawahah untuk Kabilah Bani Umair, Rafi bin Malik untuk Kabilah Bani Zuraiq, Barra bin Ma’ruf untuk Kabilah Bani Salamah, Abdullah bi Amr untuk Kabilah Bani Hiram, Sa’ad bin Ubadah untuk Kabilah Bani Sa’idah, Ubadah bin Shamit untuk Kabilah Bani Ghanam, Mundzir bin Amr untuk Kabilah Bani Saidah. Dari kalangan Aus: Usaid bin Hudhair untuk Kabilah Bani Asyhal, Sa’ad bin Khaitsamah untuk Kabilah Bani Ka’ab, Abdul Haitam bin At-Taihan untuk Kabilah Bani Asyhal.[2]
Tugas para naqib ini adalah menjadi pengawas dan ketua bagi kaumnya terkait pelaksanaan isi baiat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan tugas mereka dengan mengatakan,
أَنْتُمْ عَلَى قَوْمِكُمْ بِمَا فِيْهِمْ كُفَلاَءُ كَكَفَالَةِ الْحَوَارِيِّيِّنَ لِعِيْسَى بْنِ مَرْيَمَ وَأَنَا كَفِيْلٌ عَلَى قَوْمِي
“Kalian semua bertanggung jawab atas kaum kalian sebagaimana kaum Hawariyyin bertanggung jawab kepada Nabi Isa alaihissalam. Dan saya menjadi penanggung jawab atas kaumku semua”.
Dalam peristiwa ini tergambar kerja sistemik yang sangat detail. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak hanya berhenti pada baiat, akan tetapi memperhatikan pula sisi mutaba’ah aplikasinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membagi mereka dalam beberapa kelompok, dengan menunjuk salah seorang diantaranya menjadi naqib (pemimpin) yang mengawasi proses pelaksanaan, komitmen, dan penerapan yang benar. Naqib bertanggung jawab penuh atas kelompok yang dipimpinnya.
Setelah itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh mereka untuk segera membubarkan diri, dan berpesan agar pertemuan itu tetap terjaga kerahasiaannya, tidak diketahui orang Quraisy. Saat itu, Al-Abbas bin Ubadah ibn Nudhlah berkata,
وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ لَئِنْ شِئْتَ لَنَمِيلَنَّ عَلَى أَهْلِ مِنًى غَدًا بِأَسْيَافِنَا قَالَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ أُومَرْ بِذَلِكَ
“Demi Allah yang telah mengutusmu atas dasar kebenaran, sekirang engkau mengizinkan niscaya orang-orang yang ada di Mina itu akan kami habisi besok dengan pedang kami.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Saya belum diperintahkan untuk melakukan itu”. (HR. Ahmad dari Ka‘b ibn Malik)
Kaum Musyrikin dan Baiatul Aqabah Kedua
Betapapun sudah sangat hati-hati, sangat menjaga rahasia, ternyata sampai juga berita baiat ini ke telinga kaum Quraisy. Para pemimpin Quraisy datang ke tempat kaum Anshar di pagi hari, dan mengatakan kepada mereka:
يَا مَعْشَرَ الْخَزْرَجِ إِنَّهُ قَدْ بَلَغَنَا أَنَّكُمْ قَدْ جِئْتُمْ إِلَى صَاحِبِنَا هَذَا تَسْتَخْرِجُوْنَهُ مِنْ بَيْنِ أَظْهُرِنَا وَتُبَايِعُوْنَهُ عَلَى حَرْبِنَا وَإِنَّهُ وَاللهِ مَا مِنْ حَيِّ مِنَ الْعَرَبِ أَبْغَضُ إِلَيْنَا أَنْ تَنْشِبَ الْحَرْبُ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ مِنْكُمْ
“Wahai orang-orang Khazraj, telah sampai berita kepada kami bahwa kalian telah mendatangi sahabat kami (Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam), kalian mengajak dia untuk meninggalkan dari tengah-tengah kami dan kalian berbaiat kepadanya untuk memerangi kami. Demi Allah, tidak ada orang Arab yang lebih kami benci jika berkobar peperangan antara kami dengan dia daripada kalian.”
Saat itu kaum musyrikin Yatsrib bersumpah dengan nama Allah bahwa mereka tidak tahu menahu soal ini sama sekali. Kaum muslimin tetap merahasiakan baiat itu. Kaum musyrikin Yatsrib tidak tahu apa yang sudah terjadi. Kaum muslimin tutup mulut, saling berpandangan satu sama lain. Orang Quraisy membenarkan ucapan musyrikin Yatsrib, kemudian membubarkan diri.
Ketika rombongan haji sudah kembali ke negerinya, kaum Quraisy yakin dengan kebenaran berita baiat. Mereka segera keluar mencari kaum Anshar untuk menangkapnya. Mereka tidak menemuinya kecuali Sa’d bin Ubadah dan Al- Mundzir bin Amr, keduanya adalah naqib. Al Mundzir berhasil melarikan diri dan tidak terkejar oleh kaum Quraisy. Sedangkan Sa’d bin Ubadah berhasil ditangkap dan diikat tangan ke lehernya, dibawa kembali ke Makkah. Mereka memukulinya, menarik rambutnya yang panjang, sampai kemudian diamankan oleh Bujair bin Muth’im dan Al-Harits bin Harb bin Umayyah. Keduanya mengamankannya dari tangan kaun Quraisy karena keduanya mengamankan dagangannya kepada Sa’d ketika melintasi Madinah. Kemudian keduanya melepaskannya kembali ke Madinah.[3]
Pengaruh Baiatul Aqabah Kedua
Bai’at ini telah menetapkan dukungan dan jaminan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan baiat ini Yatsrib menjadi tempat berlindung kaum muslimin. Mereka menemukan kebebasan dalam menunaikan ibadahnya. Mereka pun menjadi leluasa untuk menyampaikan dakwah kepada seluruh penduduk Yatsrib dan yang lainnya agar menjadi masyarakat muslim yang semua urusannya tunduk kepada rambu-rambu Al Qur’an.
Mereka menemukan saudara baru yang mencintai, memprioritaskan mereka dalam semua kebaikan, mengorbankan jiwa dan hartanya untuk membela Islam, Nabinya, dan kaum muslimin seluruhnya.
Baiat ini berperan penting dalam merubah fase perjalanan dakwah Islam. Belenggu yang selama ini mengekang mereka telah hancur. Kondisi umat Islam berubah dari umat minoritas dan lemah menjadi umat mayoritas dan kuat; dari kondisi tidak berdaya melawan para pengganggunya menjadi kuat menangkis serangan yang diarahkan kepadanya. Kondisi kaum muslimin telah berubah dari orang-orang tertindas di Makkah, mengungsi ke Habasyah menjadi umat yang eksis bernegara di antara bangsa-bangsa lainnya.
(Bersambung)
Catatan Kaki:
[1] Sirah Ibnu Hisyam, 2/84-85
[2] Nama-nama ini disebutkan oleh KH. Moenawar Cholil dalam Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad, hal. 405
[3] Lihat: As-Siratun Nabawiyah fi Dhauil Qur’an was Sunnah, DR. Muhammad bin Abi Syuhbah, Juz 1, hal. 473