Dimanakah Kelompok yang Pernah Memiliki Kekuatan Besar di Mesir Setelah Pemimpinnya Meninggal di Pengasingan, Tekanan di Dalam Negeri?
Ibrahim Munir, pemimpin Ikhwanul Muslimin Mesir, meninggal pada 4 November 2022 , dalam pengasingan di London. Sementara berita tersebut menjadi berita utama di seluruh dunia, kematian Munir menjadi momen kritis dalam evolusi kelompok yang didirikan hampir 100 tahun lalu, sebagai gerakan sosial dan keagamaan.
Selama bertahun-tahun, Ikhwan tumbuh menjadi gerakan sosial dan oposisi politik paling signifikan di Mesir. Ideologi Islamnya yang menghendaki kebijakan-kebijakan publik sejalan dengan interpretasinya terhadap Islam, memberikan pengaruh yang luas ke seluruh dunia.
Namun, sejak kudeta militer tahun 2013 yang menggulingkan kekuasaan Presiden terpilih Mohammed Morsi dari Ikhwanul Muslimin, gerakan itu telah dihancurkan, dengan sebagian besar pemimpinnya dipenjara, dibunuh, hingga diasingkan.
Saat ini, gerakan tersebut memiliki pemimpin sementara Muhyeddine al-Zayet, seorang tokoh senior dalam gerakan tersebut, berusia 70 tahun.
Tetapi kenyataan sebenarnya adalah bahwa Ikhwan sedang berada pada titik balik: Gerakan ini harus menemukan Kembali jati dirinya atau bahkan sedikit demi sedikit tenggelam dalam ketidak pastian.
Sebagai sarjana gerakan sosial yang telah mempelajari evolusi Gerakan Ikhwan dan mewawancarai baik para anggota maupun para pembelotnya, saya meyakini bahwa nasib dari gerakan ini tergantung pada tiga masalah: bagaimana merespon tindakan represif Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi terhadap kelompok oposisi, termasuk Ikhwan; bagaimana pemimpin mengarahkan gerakan ini selama periode krisis; dan bagaimana gerakan ini dapat bangkit kembali dalam pengasingan.
Apakah Ikhwan sudah berjalan pada jalurnya?
Ikhwanul Muslimin didirikan pada tahun 1928 oleh Hassan al-Banna, seorang guru sekolah dasar yang memiliki visi bahwa kesalehan dan nilai-nilai Islam dapat mengubah secara individu, mereformasi masyarakat, dan pada gilirannya akan mewujudkan sebuah negara yang islami.
Menarik bagi masyarakat Mesir yang kecewa terhadap institusi agama di negaranya, kritis terhadap sistem politik dan geram terhadap campur tangan Barat di dunia Muslim, Ikhwanul Muslimin tumbuh menjadi gerakan akar rumput dalam sebuah jaringan yang kuat di sekolah-sekolah, surat kabar, dan layanan-layanan sosial.
Pada akhir abad ke-20, Ikhwan mendominasi masyarakat sipil di Mesir dan menjadi sumber oposisi politik yang penting. Gerakan ini juga mendirikan cabang-cabang dan afiliasi-afiliasi di seluruh dunia Muslim.
Pada Arab Spring 2011, keetika banyak terjadi perlawanan masyarakat terhadap pemerintahnya di sejumlah negara Timur Tengah, Ikhwanul Muslimin mendapatkan kekuasaan dalam pemilihan pertama kali di Mesir yang bebas dan adil. Partai politik afiliasinya adalah Partai Kebebasan dan Keadilan, yang memenangkan suara parlementer terbesar, dan kandidatnya Mohammed Morsi, terpilih sebagai presiden. Namun, pada Juni 2013, dengan alasan kecewa terhadap kurangnya kemajuan politik dan kinerja ekonomi negara yang buruk, terjadilah mobilisasi rakyat yang meluas melawan Ikhwanul Muslimin. Sebulan kemudian militer menggulingkan Morsi dari tampuk kekuasaan.
Munculnya dua Ikhwan
Ketika pendukung Ikhwan turun ke jalan dan menuntut agar presiden yang terpilih secara demokratis dilantik kembali, polisi dan pasukan tentara menembaki para demonstran. Pada 14 Agustus 2013, pasukan keamanan secara brutal membubarkan aksi duduk di Lapangan Rab’a di timur Kairo, yang menewaskan lebih dari 800 orang, yang menurut Human Rights Watch merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Bagi sebagian anggota Ikhwan, kebrutalan aparat keamanan memicu keinginan untuk balas dendam dan membenarkan tindakan kekerasan.
Namun, bagi kebanyakan tokoh-tokoh Ikhwan, bagaimanapun, tindakan kekerasan tidak dapat dibenarkan baik secara politik pragmatis maupun secara ideologis. Dengan tidak adanya visi yang jelas tentang bagaimana respon terhadap krisis politik yang terjadi, banyak anggota muda menjadi kecewa dengan organisasi tersebut.
Pada tahun 2014, Ikhwan tidak hanya kehilangan anggota. Dua poin kesalahan tambahan muncul: pertanyaan tentang kepemimpinan dan pertanyaan tentang pengasingan. Penangkapan massal menyebabkan kosongnya kepemimpinan yang kemudian menyebabkan kader-kader baru dari anggota menengah mengambil alih aktivitasnya di Mesir.
Para pemimpin baru ini mengambil langkah yang lebih revolusioner dan mulai bertindak secara independen dari pada kepemimpinan seniornya. Tuntutan kesetaraan dalam otoritas dan visi yang berbeda tentang bagaimana menanggapi represi politik menyebabkan terjadinya perpecahan antara apa yang disebut “pemimpin historis” dan kepemimpinan baru.
Pada tahun 2016 terdapat dua Ikhwanul Muslimin: kelompok asli, di bawah kepemimpinan Ibrahim Munir sebagai pembina yang beroperasi di luar Inggris, dan apa yang disebut sebagai “General Office”, di bawah kepemimpinan baru. General Office menarik minat banyak pemuda revolusioner, termasuk wanita, tetapi kelompok tersebut memiliki sumber daya yang jauh lebih sedikit, yang akhirnya membuatnya bubar.
Dari yang telah saya pelajari berdasarkan wawancara terhadap anggota-anggota Ikhwan, bahwa dengan posisi Munir sebagai pemimpin yang berada di pengasingan, memunculkan perdebatan internal yang sengit mengenai apakah akan melakukan restrukturisasi gerakan atau menyerahkan pengambilan keputusan strategis kepada para pemimpin di luar negeri. Di luar Mesir, organisasi tersebut mendirikan dewan penasihat regional di banyak negara tuan rumah dengan eksistensi Ikhwan yang signifikan, terutama di Turki.
Meskipun hal ini memungkinkan terjadinya pendirian kembali organisasi, beberapa pemimpin masih bersikeras bahwa semua keputusan besar tentang arah, taktik, dan strategi Ikhwanul Muslimin dibuat di dalam Mesir.
Bisakah Ikhwan bangkit kembali?
Ini bukan pertama kalinya Ikhwanul Muslimin hampir dihancurkan oleh represi pemerintah. Pada tahun 1954 sebuah faksi militan Ikhwanul Muslimin dituduh berusaha membunuh Perdana Menteri Gamal Abdel Nasser, yang dijadikan alasan tindakan keras terhadap kelompok tersebut. Penyiksaan dan pelecehan yang dihadapi anggota Ikhwan di penjara menginspirasi pemikiran para militan baru untuk bereaksi dan memimpin sekelompok kecil anggota Ikhwan untuk mulai merencanakan serangan terhadap pejabat pemerintah. Namun, pemerintah sudah terlebih dahulu menemukan sel-sel tersebut sebelum rencana mereka terlaksana, dimana hal tersebut menjadi alasan terjadinya gelombang represi besar kedua pada tahun 1965.
Tetapi kondisi untuk Ikhwan menemukan jati dirinya saat ini berbeda dari masa-masa represi sebelumnya. Jauh berbeda dari sebelumnya.
The Arab Barometer, sebuah jaringan penelitian non-partisan, menunjukkan bahwa sejak 2013 orang Mesir secara konsisten bersikap skeptis terhadap Islam politik seperti yang diungkapkan oleh Ikhwanul Muslimin, meskipun sebagian besar penduduknya religius. Menurut banyak anak muda Mesir, Ikhwanul Muslimin tidak dapat menawarkan solusi apa pun terhadap kesulitan ekonomi yang dihadapi negara, atau pelanggaran hak asasi manusia yang semakin meningkat.
Menghadapi perpecahan internal dan keadaan politik yang menantang ini, jalan dihadapi Ikhwanul Muslimin tidak akan mudah. Seperti yang diakui beberapa mantan anggotanya, ada ketegangan antara menjadi gerakan sosial atau menjadi partai politik.
Ikhwan mengetahui bahwa banyak orang Mesir sepakat dengan nilai-nilai agama gerakan tersebut, dan pada saat yang sama bahwa mereka juga sangat kritis terhadap ambisi politiknya.
Jika Ikhwan ingin menjadi kekuatan perubahan lagi dan menarik generasi baru dari para aktivis Islam, maka menurut saya, Ikhwan perlu mengembangkan visi dan teori yang baru tentang organisasi politik yang dapat menginspirasi generasi muda, baik yang merasa tersisihkan, yang berbicara tentang keterlibatan, perbedaan dan revolusi, maupun generasi muda Mesir yang haus akan kebebasan dan peluang-peluang ekonomi.