Terjadi perbedaan pendapat tentang bolehkah jima’ ketika istri sudah suci dari haid, tetapi belum mandi janabah. Dalam Tafsir Ath Thabari disebutkan tentang makna “Suci” dalam ayat tersebut:
فقال بعضهم: هو الاغتسال بالماء، لا يحل لزوجها أن يقربها حتى تغسل جميع بدنها.
وقال بعضهم: هو الوضوء للصلاة.
وقال آخرون: بل هو غسل الفرج، فإذا غسلت فرجها، فذلك تطهرها الذي يحلّ به لزوجها غشيانُها.
“Sebagian mereka berkata: maksudnya adalah mandi dengan air, tidak halal bagi seorang suami mendekati isterinya (maksudnya bersetubuh), sebelum dia memandikan seluruh badannya.
Sebagian mereka berkata: maksudnya adalah wudhu untuk shalat
Sedangkan yang lain mengatakan: maksudnya adalah mencuci kemaluan, jika sudah mencuci kemaluannya, maka itu telah mensucikannya, yang dengannya maka suaminya halal untuk bersetubuh dengannya.” ( Imam Abu Ja’far bin Jarir Ath Thabari, Jami’ al Bayan fi Ta’wilil Qur’an, Juz. 4, Hal. 384. Mu’asasah Risalah, cet.1, 2000M/1420H)
Keterangan dari Imam ath Thabari ini membuktikan bahwa memang telah terjadi perselisihan pendapat dalam masalah ini.
Imam Ath Thabari Rahimahullah melanjutkan:
فتأويل الآية إذًا: ويسألونك عن المحيض قل هو أذى، فاعتزلوا جماع نسائكم في وقت حيضهنّ، ولا تقربوهن حتى يغتسلن فيتطهرن من حيضهن بعد انقطاعه.
“Maka, takwil ayat tersebut adalah: “Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang haid, katakanlah dia adalah penyakit, maka jauhilah bersetubuh dengan wanita kalian pada waktu haid mereka, dan jangan dekati mereka (bersetubuh) sampai mereka mandi, yang bisa mensucikan mereka dari haidnya setelah terhentinya darah.” (Ibid, 4/385)
Berkata Imam Hasan Al Bashri Radhiallah ‘Anhu :
لا يغشاها زوجُها حتى تغتسل وتحلَّ لها الصلاة.
“Suami tidak boleh bersetubuh dengan isterinya, sampai isterinya mandi, yang dengan mandi itu dibolehkan baginya shalat.” (Ibid, 3/486)
Demikian pula yang dikatakan oleh Ibnu Abbas, Mujahid, Ikrimah, Utsman bin al Aswad, dan Ibrahim an Nakha’i.
Wallahu A’lam