Oleh: Taufik M. Yusuf Njong
Ramadhan kemarin, polemik tentang wajib dan tidaknya zakat profesi kembali hangat diperdebatkan. Oleh sebagian agamawan, fatwa tersebut dianggap sebagai ijtihad kontemporer yang layak diapresiasi dan dihormati. Sementara sebagian lain justru menganggapnya sebagai sebuah sikap lancang terhadap syariat, sebuah fatwa mengada-ada yang tak pernah difatwakan oleh para ulama besar umat sepanjang 14 abad perjalanannya. Tak hanya itu, kelompok terakhir ini juga memvonis aktifitas lembaga zakat yang memungut zakat profesi sebagai praktek penipuan dan memakan harta haram. Dan tak jarang, ‘sasaran tembaknya’ biasanya diarahkan kepada Syeikh Yusuf Al-Qaradawi yang dianggap paling berperan dalam mempopulerkan zakat profesi tanpa mensyaratkan haul. Untuk kasus di Indonesia, sebenarnya fatwa MUI tahun 2003 tentang zakat profesi yang diputuskan di masa kepemimpinan K.H Sahal Mahfudh sebagai Ketua Umum dan K.H Ma’ruf Amin sebagai ketua komisi fatwa harusnya juga paling layak di kritik jika mau konsisten.
Secara pribadi, saya termasuk yang meyakini bahwa zakat profesi tidak wajib, meski tetap menghormati fatwa para ulama (yang memang kapabel dalam berijtihad) yang mewajibkan zakat jenis ini. Kita juga berbaik sangka bahwa sikap tegas (bahkan keras) para penolak zakat profesi bisa jadi adalah bentuk dari konsistensi mereka dalam berpegang teguh pada turats dan fatwa-fatwa ‘mainstream’ /mu’tamad dalam mazhab yang empat serta merupakan sebagian dari sikap wara’ (hati-hati) agar tidak terjatuh pada beramal dengan pendapat yang syadz (aneh). Oleh musuh mereka, kelompok terakhir ini sering dijuluki dengan At-Turatsiyun.
Sebelum polemik zakat profesi mereda, umat kembali dikejutkan oleh beberapa ungkapan kontroversial Syeikh Ali Jum’ah dalam program di salah satu stasiun TV Mesir. Ungkapan beliau “siapa yang bilang bahwa hanya umat Islam yang akan masuk surga”? serta ungkapannya “seandainya Allah menghapus neraka” kembali memunculkan kritik pedas, bukan hanya dari mereka yang memang sejak awal anti kepada mantan Mufti Mesir tersebut, tapi juga kritik dari beberapa ulama Asya’irah semisal Syeikh Sa’id Fodah, Syeikh Nizar Hammadi, Syeikh Musthafa Abdunnabi dan lain-lain. Khilaf antara ulama yang seafiliasi biasanya disikapi relatif adem oleh para pengikutnya, alasannya, masing-masing dari keduanya adalah ijtihad yang diperbolehkan. Hal Ini mengingatkan saya dengan sikap sebagian teman-teman salafi yang jika antara sesama ulama salafi berbeda pendapat dalam menghukumi bid’ah suatu perkara, dengan bijak mereka akan menanggapi; “itu khilaf ulama ya akhi.” Adapun jika perbedaan terjadi antara ulamanya dengan yang tidak seafiliasi, tak jarang vonis sesat dijatuhkan kepada yang berbeda. Yang sedikit menggelikan adalah kritik dari sebagian Salafi dan sebagian aktifis gerakan Islam terhadap Syeikh Ali Jum’ah tanpa mengetahui bahwa pendapat fananya neraka adalah salah satu pendapatnya Ibnu Taimiyah dan juga diikuti oleh Syeikh Yusuf Al-Qaradawi.
Kekaguman saya kepada mereka yang konsisten berpegang teguh kepada turats dan fatwa-fatwa mu’tamad dalam mazhab yang empat sebenarnya sedikit ternodai oleh anomali sikap sebagian mereka yang justru cenderung ‘progresif’ dalam menyikapi (menerima) halalnya bunga bank. Pendapat yang dipopulerkan oleh Syeikh Ali Jum’ah (sebelumnya oleh Syeikh Muhammad Sayyid Thantawi) ini dianggap sebagai pendapat syadz yang sangat berbahaya oleh banyak ulama besar dunia. Nama-nama beken seperti Syeikh Mutawalli As-Sya’rawi, Syeikh Muhammad Al-Ghazali, Syeikh Ahmad Thaha Rayyan, Syeikh Wahbah Zuhaili, Syeikh Al-Buthi hingga Syeikh Al-Qaradawi yang biasanya sangat terbuka dengan ‘tajdid kontemporer’ adalah sebagian dari ulama yang menolak dengan tegas fatwa kehalalan bunga bank.
Dalam tulisan ini, saya tak bermaksud mendiskusikan argumentasi dari kedua belah pihak terkait halal atau haramnya bunga bank (konvensional), karena argumentasi dan jawaban dari kedua belah pihak memang sudah dibukukan dan dibahas sedemikian panjang (bahkan dalam satu buku khusus). Yang membuat saya herman adalah kenapa sebagian Turatsiyun begitu bersemangat mengecam zakat profesi yang sebenarnya tidak banyak merugikan umat mengingat kalaupun ijtihad yang mewajibkan zakat profesi adalah salah, toh harta yang diinfaqkan tersebut kan masih bisa menjadi sedekah dan bermanfaat untuk kaum muslimin. Beda dengan fatwa halalnya bunga bank yang ditentang oleh banyak ulama besar dan bertentangan dengan ijtihad kolektif yang sudah diputuskan oleh banyak majma’-majma’ Fiqih, serta ditakutkan menjadi salah satu sebab terbukanya pintu riba dan merajalela riba di akhir zaman sebagaimana yang dinubuwatkan oleh Rasulullah Saw.
‘Ala kulli hal, meskipun Syeikh Mutawalli As-Sya’rawi menarasikan fatwa halalnya bunga bank sebagai sebuah fatwa yang menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah, saya dan kita tetap harus mendudukkan permasalahan ini pada satu titik proporsional bahwa sejatinya halal atau haramnya bunga bank bukanlah perkara Al-ma’lum Min Ad-diin Biddharurah yang berimplikasi kufurnya orang yang mengingkarinya, sama dengan wajib atau tidaknya zakat profesi. Menurut Syeikh Ahmad Thayyeb, semua tajdid yang dilakukan oleh para ulama Al-Azhar tidak mengotak-atik apa yang merupakan tsawabit agama. Ini perlu ditegaskan agar sebuah kritikan tetap proporsional dan bukan karena sentimen kelompok atau aliran.
Kalau mau jujur, ‘kerancuan’ manhaj berfatwa berupa fatwa-fatwa baru yang berani dan menyalahi fatwa mainstream serta mentarjih fatwa-fatwa non mu’tamad diluar Mazhab yang empat yang seringkali dituduhkan kepada Syeikh Yusuf Al-Qaradawi sejatinya adalah manhaj yang sama yang ditempuh oleh ulama-ulama Al-Azhar khususnya Syeikh Ali Jum’ah dan Syeikh Ahmad Thayyeb yang pro tajdid dimana sedikit banyaknya mereka terpengaruh dengan madrasah tajdid Syeikh Muhammad Abduh. Atau meminjam ungkapan Syeikh Nizar Hammadi: sebenarnya, kebanyakan ulama-ulama Al-Azhar kontemporer sejatinya adalah murid Syeikh Yusuf Al-Qaradawi atau terpengaruh dengan manhajnya, meskipun mereka berbeda dalam beberapa masalah politik.
Sekali lagi, saya tidak hendak menuduh bahwa setiap kritik yang dialamatkan kepada pendapat ulama tertentu sebagai kritik tendensius dan didasari sentimen negatif, walaupun sebagai manusia hal itu mungkin saja terjadi. Tapi seharusnya, setiap kritik dan pembelaan haruslah berangkat dari sikap ilmiah terlepas kita suka atau tidak suka dengan pribadi seseorang atau kelompok tertentu. Agar, kesalahan-kesalahan manusiawi seperti yang dilakukan Ning Umi Laila dan Ustadz Adi Hidayat tidak dijadikan momentum untuk menyerang dan menjatuhkan pribadi-pribadi baik yang sebagai manusia takkan pernah lekang dari kesalahan.
Wallahu A’lam.