Aqidah Islam menetapkan adanya ma’iyyatullah (kebersamaan Allah), yaitu bahwa Allah Ta’ala senantiasa membersamai hamba-hamba-Nya. Ma’iyyatullah ini memiliki dua konteks, yakni ma’iyyah ‘ammah (kebersamaan dalam arti umum), dan ma’iyyah khashah (kebersamaan dalam arti khusus).
Ma’iyyah ‘Ammah
Ma’iyyah ‘ammah bersifat mutlak mencakup seluruh makhluk ciptaan-Nya. Yaitu bahwa selalu ada muraqabatullah (pengawasan Allah) kepada semua makhluk-Nya, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya,
أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ مَا يَكُونُ مِنْ نَجْوَى ثَلَاثَةٍ إِلَّا هُوَ رَابِعُهُمْ وَلَا خَمْسَةٍ إِلَّا هُوَ سَادِسُهُمْ وَلَا أَدْنَى مِنْ ذَلِكَ وَلَا أَكْثَرَ إِلَّا هُوَ مَعَهُمْ أَيْنَ مَا كَانُوا ثُمَّ يُنَبِّئُهُمْ بِمَا عَمِلُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Tidakkah kamu perhatikan, bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi? Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah yang keempatnya. Dan tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dia-lah yang keenamnya. Dan tiada (pula) pembicaraan antara (jumlah) yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia ada bersama mereka di mana pun mereka berada. Kemudian Dia akan memberitakan kepada mereka pada hari kiamat apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (QS. Al Mujadilah, 58: 7).
Allah Ta’ala pun memiliki Pengawas dari kalangan malaikat yang diperintahkan oleh-Nya untuk mencatat seluruh amal perbuatan manusia termasuk seluruh ucapannya. Hal ini dilakukan untuk menunjukkan keadilan-Nya di yaumul qiyamah kelak.
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
“Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qaf, 50: 18).
Hasan Basri dalam menafsirkan ayat ini berkata: “Wahai anak-anak Adam, telah disiapkan untuk kamu sebuah daftar dan telah ditugasi untuk mencatat segala amalanmu dua malaikat, yang satu di sebelah kananmu dan yang satu lagi di sebelah kirimu. Adapun yang berada di sebelah kananmu ialah yang mencatat kebaikan-kebaikanmu dan yang satu lagi di kirimu mencatat kejahatan-kejahatanmu. Oleh karena itu terserah kepadamu, apakah kamu mau memperkecil atau memperbesar amal dan perbuatan amal jahatmu, kamu diberi kebebasan dan bertanggung jawab terhadapnya dan nanti setelah mati, daftar itu ditutup dan digantungkan pada lehermu, masuk bersama-sama engkau ke dalam kubur sampai kamu dibangkitkan pada Hari Kiamat nanti…”[1]
Ma’iyyah ammah, selain bermakna selalu ada muraqabatullah (pengawasan Allah), juga bermakna bahwa selalu ada Ihsanullah (kebaikan-kebaikan Allah) yang diberikan kepada seluruh makhluk-Nya, termasuk kepada manusia secara umum, baik mu’min maupun kafir. Allah Ta’ala memberikan nikmat udara, cahaya matahari, air, makanan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan atau hewan, dan berbagai macam kenikmatan lainnya kepada seluruh manusia tanpa kecuali.
Oleh karena itu tuntutan dari kesadaran terhadap ma’iyyah ‘ammah ini adalah tha’atullah (ketaatan kepada Allah Ta’ala), yakni menindaklanjuti ihsanullah itu dengan melaksanakan perbuatan baik dan ibadah yang diperintahkan oleh-Nya,
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (keni’matan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al-Qashshas, 28: 77)
إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu ni’mat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah.” (QS. Al-Kautsar: 1-2).
Ma’iyyah Khashah
Ma’iyyah Khashah (kebersamaan Allah dalam arti khusus) bersifat muqayyad (terbatas dan khusus mencakup orang-orang yang beriman dan beramal shalih saja). Hal ini tergambar dalam firman Allah Ta’ala berikut ini.
إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
“Bersabarlah, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bersabar” (QS. Al-Anfal, 8: 46)
لَا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا
“Janganlah bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita” (QS. At-Taubah, 9: 40)
قَالَ لَا تَخَافَا إِنَّنِي مَعَكُمَا أَسْمَعُ وَأَرَى
“Sesungguhnya Aku bersama kalian (Musa dan Harun), Aku mendengar dan melihat kalian” (QS. Thaha, 20: 46)
وَاذْكُرُوا إِذْ أَنْتُمْ قَلِيلٌ مُسْتَضْعَفُونَ فِي الْأَرْضِ تَخَافُونَ أَنْ يَتَخَطَّفَكُمُ النَّاسُ فَآوَاكُمْ وَأَيَّدَكُمْ بِنَصْرِهِ وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Dan ingatlah (hai para muhajirin) ketika kamu masih berjumlah sedikit, lagi tertindas di muka bumi (Mekah), kamu takut orang-orang (Mekah) akan menculik kamu, maka Allah memberi kamu tempat menetap (Madinah) dan dijadikan-Nya kamu kuat dengan pertolongan-Nya dan diberi-Nya kamu rezki dari yang baik-baik agar kamu bersyukur.” (QS. Al-Anfal, 8: 26).
Jadi, ma’iyyah khashah (kebersamaan Allah secara khusus) ini bermakna bahwa senantiasa ada ta’yidullah (dukungan Allah Ta’ala) bagi orang-orang yang beriman dan beramal shalih.
Keyakinan terhadap ma’iyyatullah (kebersamaan Allah) ini—baik mai’yyah ammah maupun ma’iyyah khassah—harus selalu tertanam di dalam diri kita, sehingga kita akan terbentuk menjadi pribadi muslim yang taat dan yakin terhadap ta’yidullah (dukungan/pertolongan Allah Ta’ala) dalam seluruh gerak langkah hidup kita.
Menjadi hamba Allah yang taat dan yakin dengan pertolongan-Nya, inilah al-falah (kemenangan) yang sesungguhnya.
وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَخْشَ اللَّهَ وَيَتَّقْهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَائِزُونَ
“Dan barang siapa yang taat kepada Allah dan rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang- orang yang mendapat kemenangan.” (QS. An-Nur, 24: 52)
Wallahu A’lam.
Catatan Kaki:
[1] Al-Qur’anul Karim wa Tafsiruhu, Depag RI, Jilid IX, hal. 439