Mukaddimah
Masyarakat Islam diwarnai oleh pemikiran dan pemahaman yang menentukan pandangannya terhadap segala persoalan, peristiwa, tingkah laku seseorang, nilai dan lain sebagainya. Masyarakat Islam menentukan ini semuanya dari sudut pandang Islam, mereka tidak mengambil hukum kecuali dari sumber referensi Islam yang bersih dan jernih dari kotoran-kotoran dan penambahan-penambahan, sebagai akibat dari rusaknya zaman.
Islam sangat memperhatikannya untuk meluruskan pemahaman pengikutnya, sehingga pandangan dan sikap mereka terhadap permasalahan hidupnya menjadi lurus dan tashawwur (persepsi) umum mereka terhadap sesuatu dan nilai tertentu menjadi jelas. Islam tidak membiarkan mereka memandang sesuatu dengan pemikiran yang dangkal, sehingga menyimpang dari orientasi yang benar dan tersesat dari jalan yang lurus.
Contoh-contoh Koreksi Al-Qur’an terhadap Pemikiran dan Pemahaman yang Keliru
Pertama, dahulu ada orang-orang badui yang menganggap bahwa keimanan itu sekedar pengumuman identitas dan menampakkan perbuatan.
Maka Al-Qur’an turun untuk meluruskan pemahaman seperti itu, sebagaimana Firman Allah SWT: “Orang-orang Arab Badui itu berkata, ‘Kami telah beriman.’ Katakanlah (kepada mereka), ‘Kamu belum beriman, tetapi katakanlah, ‘Kami telah tunduk (Islam).’ Karena keimanan itu belum masuk ke dalam hatimu, dan jika kamu tobat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tiada akan mengurangi sedikit pun (pahala) amalmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya orang -orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka dijalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. Al Hujurat: 14 – 15)
Kedua, telah masyhur di kalangan Ahli Kitab dari kalangan orang-orang Yahudi bahwa kebajikan dan ketaqwaan itu tergantung pada sejauh mana perhatian seseorang terhadap bentuk-bentuk (simbol) tertentu. Oleh karena itu mereka merasa heran ketika melihat Rasulullah SAW mengubah arah kiblatnya dari Baitul Maqdis ke Ka’bah.
Al Qur’an turun menjelaskan hakekat kebajikan dan ketaqwaan serta agama yang benar, Allah SWT berfirman: “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan memerdekakan hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya bila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa.” (Al Baqarah: 177)
Ketiga, sebagian orang mengira bahwa jalan keimanan menuju surga itu penuh mawar dan melati, tidak ada fitnah di dalamnya dan tidak ada tekanan serta tidak ada siksaan.
Maka Al-Qur’an turun untuk membetulkan pemahaman yang salah ini, yaitu dalam firman Allah SWT: “Aliif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, “Kami telah beriman,” sedang mereka tidak diuji lagi? Sesungguuhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS. Al- Ankabut: 1 – 3)
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antaramu, dan belum nyata orang-orang yang sabar.” (QS. Ali Imran: 142)
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang beriman yang bersamanya, “Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.” (QS. Al Baqarah: 214)
Keempat, sebagian orang mengira bahwa orang yang dibunuh di jalan Allah itu telah mati, seperti matinya orang-orang biasa.
Al Qur’an menolak perkiraan itu dan memberikan pemahaman yang baru, yaitu dalam firman Allah SWT:
“Dan janganlah kamu mengatakan kepada orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka hidup, tetapi kamu tidak menyadarnya.” (QS. Al Baqarah: 154)
“Janganlah kamu mengira bahwa orang-oang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannnya dengan mendapat rizki.” (QS. Ali Imran: 169)
Kelima, sebagian orang mengira bahwa perubahan di bidang materi itu merupakan sebab perubahan jiwa manusia.
Al Qur’an menegaskan sebaliknya bahwa perubahan ruhi dan ma’nawi itulah asas perubahan yang sebenarnya, Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’du: 11)
Keenam, sebagian manusia mengira bahwa wanita itu adalah syetan-syetan yang diciptakan untuk menyesatkan kaum laki-laki dan sesungguhnya wanita itu merupakan laknat yang nyata dan fitnah yang berjalan di atas bumi.
Al Qur’an menafikan persangkaan ini, Allah SWT berfirman: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaannnya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isten dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadannya, dan dijadikan di antaramu rasa kasih sayang. Sesungguhrya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (Ar-Ruum: 21)
***
Sunnah Nabi juga datang untuk menjelaskan dan menafsirkan ayat-ayat tersebut, baik secara teoritis maupun praktis. Rasulullah terus menerus membetulkan dan menjelaskan, membangun dan merobohkan, hingga masyarakat Islam itu memiliki persepsi yang lurus benar, pemahaman yang wadhih (jelas) dan memiliki bashirah (pandangan hati) dari Tuhannya. Sebagaimana firman Allah SWT kepada Rasul-Nya: “Katakanlah, “Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.” (QS. Yusuf: 108)
“Katakanlah, “Sesungguhnya aku telah ditunjukki oleh Tuhanku kepada jalan yang lurus, (Yaitu) agama yang benar; agama lbrahim yang lurus, dan Ibrahim itu bukanlah termasuk orang-orang yang musrik.” (QS. Al An’am: 161)
Contoh-contoh Koreksi Rasulullah terhadap Pemikiran dan Pemahaman yang Keliru
Perkara Iman
Keimanan itu bukanlah sekedar berangan-angan, tetapi iman adalah sesuatu yang meresap ke dalam hati dan dibuktikan dengan perbuatan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadist-hadistnya sebagai berikut:
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian, sehingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya.” (HR. Bukhari-Muslim)
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُوْنَ هَوَاهُ تَبَعًا لِمَا جِئْتُ بِهِ
“Tidak sempurna iman di antara kalian, sehingga hawa nafsunya mau mengikuti (risalah) yang aku bawa.” (Imam Nawawi mengatakan dalam Arba’in, kami meriwayatkannya dalam Al Hujjah dengan sanad Shahih)
مَا آمَنَ بِى مَنْ بَاتَ شَبْعَانٌ وَ جَارُهُ جَائِعٌ إِلَى جَنْبِهِ وَ هُوَ يَعْلَمُ
“Tidaklah beriman kepadaku seseorang yang bermalam dalam keadaan kenyang padahal tetangganya yang di sampingnya dalam keadaan lapar sedangkan ia mengetahuinya.” (HR. Thabrani).
الإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيمَانِ
“Iman itu ada tujuh puluh atau enam puluh cabang lebih, yang paling utama adalah ucapan ‘Laailaahaillallah’, sedangkan yang paling rendahnya adalah menyingkirkan sesuatu yang mengganggu dari jalan, dan malu itu salah satu cabang keimanan” (HR. Bukhari dan Muslim)
Perkara Amal
Islam telah meletakkan pemahaman baru dalam hal diterimanya amal, sehingga amal itu dihubungkan dengan maksud dan niat yang memotivasi terlaksanannya amal tersebut, Islam telah memfokuskan pandangannya kepada hati, bukan pada bentuk lahiriahnya saja, Rasulullah bersabda:
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَلِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Sesungguhnya nilai amal tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya tiap-tiap (amal) itu tergantung pada niatnya.” (HR. Bukhari-Muslim)
إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
“Sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk dan tubuh kamu, tetapi Ia melihat pada hati dan amal kamu.” (HR. Muslim)
أَلاَ وَإِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ . أَلاَ وَهِىَ الْقَلْبُ
“Ingatlah! Bahwa sesungguhnya di dalam tubuh itu ada segumpal daging, apabila ia baik, baiklah seluruh tubuh, dan apabila ia rusak, maka rusaklah seluruh tubuh, itulah hati.” (HR. Bukhari Muslim)
Hakikat Kekayaan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan hakekat orang yang kaya:
لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ ، وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ
“Kaya bukanlah diukur dengan banyaknya kemewahan dunia. Namun kaya (ghina’) adalah hati yang selalu merasa cukup.” (HR. Bukhari no. 6446 dan Muslim no. 1051)
Hakikat Kekuatan
Hakekat kekuatan itu dikembalikan pada kekuatan mental, bukan kekuatan fisik:
لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِى يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ
“Bukanlah orang kuat (yang sebenarnya) dengan (selalu mengalahkan lawannya dalam) pergulatan (perkelahian), tetapi tidak lain orang kuat (yang sebenarnya) adalah yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah”(HR. Bukhari-Muslim)
Hakikat Keutamaan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membatasi keutamaan itu terletak pada keimanan, ketaqwaan dan amal shalih, dan menolak pemahaman yang berkembang pada umumnya yang mengukur dengan perhiasan, pangkat, harta, kekayaan, kebangsaan dan keturunan atau yang serupa dengan itu semua dari standar-standar materi duniawi. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
رُبَّ أَشْعثَ أغبرَ مدْفُوعٍ بالأَبْوَابِ لَوْ أَقْسمَ عَلَى اللَّهِ لأَبرَّهُ.
“Banyak orang yang kusut dan berdebu, bahkan tertolak dari semua pintu, tetapi apabila ia bersungguh-sungguh minta kepada Allah, niscaya Dia akan menerimanya.” (H.R Muslim)
لاَفَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى عَجَمِيٍّ وَلاَ لِأَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ إِلاَّ بِالتَّقْوَى
“Dan tidak ada kelebihan bagi orang Arab atas orang ‘Ajam, dan tidak ada keutaman bagi orang berkulit merah atas orang yang berkulit hitam kecuali dengan ketaqwaan.” (HR. Al Bazzar)
وَمَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ، لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ
“Barang siapa yang amalnya Iambat, maka tidak bisa dipercepat oleh nasabnya.” (HR. Muslim)
***
Pemikiran Islam, pemahaman dan persepsinya yang bersih itulah satu-satunya yang bisa mewarnai masyarakat Islam dan menguasai fikiran orang-orangnya, yang mengarahkan moral dan seninya, ilmu dan mass medianya dan yang mengarahkan pendidikan dan pengajarannya.
Islam memiliki konsep dan pandangan yang jelas dan khas tentang manusia, kehidupan dan dunia, harta kekayaan dan kemiskinan, agama, kebajikan dan ketakwaan, keadilan dan kebaikan, kemajuan dan kemunduran, modern dan primitif, zuhud dan qanaah (menerima), sabar dan ridha; laki-laki dan wanita, serta hubungan antara keduanya; si kaya dan si miskin, serta bagaimana hubungan antara keduanya; penguasa dan rakyat, serta bagaimana hubungan di antara keduanya; pribadi dan masyarakat serta hubungan antara keduanya.
Karakter Pemikiran dan Pemahaman Islam
Pemikiran dan pemahaman Islam memiliki karakteristik yang khas, yaitu:
- Rabbaniyyah, artinya konsep pemikiran Islam telah diambil dari sumber ilahi yang terpelihara, “Itulah kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan, dan Allah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu.” (Hud: 1), dan diambil dari Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tidak berbicara dari hawa nafsunya, “Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (An-Najm: 4)
- Syamil, artinya mencakup semua bidang kehidupan, mendalam dan seimbang dalam menentukan ukuran dari segala sesuatu dan keterkaitan hubungan satu sama lain.
- Tawazun, artinya pertengahan; antara material dan spiritual, jasmani dan rohani.
Bukan Masyarakat Islam
Setelah kita memahami uraian di atas dapatlah kita katakan:
Bukanlah masyarakat Islam yang benar keislamannya itu, masyarakat yang pemahaman hidupnya seperti pemahaman orang-orang Barat dan orang-orang Budha.
Bukan pula masyarakat Islam itu masyarakat yang memahami manusia dengan pemahaman orang-orang ahli ruhani yang pesimis, bukan pula pemahaman orang-orang materialis yang berlebihan.
Bukan pula masyarakat Islam yang shahih adalah masyarakat yang memahami ketaqwaan itu sekedar dengan pakaian yang banyak tambalan atau jenggot yang dipanjangkan, atau tasbih yang diputar-putar di tangan, sementara di balik itu tidak memiliki dasar ilmu yang bermanfaat, hati yang khusyu’ dan amal yang shalih.
Bukanlah masyarakat Islam itu masyarakat yang memahami agama sekedar melaksanakan syiar-syiar ibadah tertentu, seperti shalat, puasa,. haji dan umrah. Tetapi ia juga berhubungan dengan riba dalam bisnisnya atau membiarkan isterinya terbuka auratnya atau membiarkan anaknya menjadi sasaran pendidikan guru yang kafir dan fasiq. Mereka melihat kemunkaran dan kerusakan berada di segala penjuru, sementara dia hanya mengatakan “nafsi-nafsi” dengan melalaikan kewajiban beramar ma’ruf nahi munkar, serta berjihad untuk melawan kebathilan.
Bukan pula masyarakat Muslim itu masyarakat yang memahami keadilan sosial itu dengan merampas harta yang bertumpuk-tumpuk kemudian disedekahkan hanya beberapa dirham kepada sebagian fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan.
Bukan pula masyarakat Islam itu masyarakat yang memandang kemiskinan dan kekayaan itu seperti pandangan orang sufi yang mengatakan, “Jika kamu melihat kemiskinan itu tiba, maka katakanlah, ‘Marhaban'(selamat datang) syiar orang-orang shalih!’, dan jika kamu melihat kekayaan itu tiba, maka katakanlah, ‘Ini dosa yang cepat mendatangkan siksa.”
Bukan pula masyarakat Islam itu masyarakat yang memandang kedudukan wanita sebagai perangkap syetan dan iblis, dan dialah yang telah mengeluarkan Adam dari surga. Sebagaimana difahami oleh Taurat yang diyakini oleh kaum Yahudi dan Nasrani.
Bukan pula masyarakat Islam itu masyarakat yang berkembang di dalamnya pemahaman yang keliru dalam masalah persamaan hak antara laki-laki dan wanita, padahal ciptaan Allah membedakan antara keduanya dan menjadikan kepemimpinan dan tanggung jawab itu berada di tangan laki-laki. Allah SWT berfirman: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dan harta mereka.” (An-Nisa’: 34)
Sumber pemikiran dan pemahaman Umat Hari Ini
Pemikiran dan pemahaman yang berkembang saat ini di tengah-tengah umat terdiri dari tiga sumber:
- Berasal dan nilai-nilai dan ajaran Islam yang benar.
- Berasal dari sisa-sisa peninggalan masa-masa terakhir, saat pemikiran Islam mengalami kemunduran di segala bidang, sehingga kehilangan orisinalitasnya. Sementara kaum Muslimin sedang dilanda kesalah fahaman terhadap Islam itu sendiri, sebagaimana mereka juga salah dalam penerapan/pengamalan terhadap Islam.
- Berasal dan pemikiran asing yang ditransfer masuk ke dalam negara-negara Islam bersama kaum imperalis yang stressingnya adalah merubah pemikiran dan persepsi kaum muslimin serta selera mereka agar mudah bagi mereka untuk mengendalikan kaum Muslimin ke arah yang mereka inginkan
Maka, tugas masyarakat Islam saat ini adalah menolak seluruh pemahaman yang tidak bersumber dari Islam yang shahih, baik dari sisa peninggalan keterbelakangan dan penyimpangan berbagai aliran dalam Islam itu sendiri atau dari pemikiran-pemikiran yang ditransfer dari penjajah Barat.
Wallahu A’lam…