(Diringkas dari Ghairul Muslimin fil Mujtama’ Al-Islami, karangan DR. Yusuf Qaradhawi)
Hak-hak Ahludz-Dzimah
Dasar pertama dalam perlakuan terhadap Ahludz-Dzimah dalam negeri Islam ialah bahwa mereka memiliki hak-hak yang sama seperti yang dimiliki kaum Muslimin kecuali dalam beberapa hal tertentu, sebagaimana mereka dibebani kewajiban-kewajiban yang sama seperti yang dibebankan atas kaum Muslimin kecuali dalam beberapa hal tertentu.
Hak Perlindungan
Yang pertama di antara hak-hak non-Muslim ialah hak menikmati perlindungan negeri Islam dan masyarakat Islam.
Perlindungan ini meliputi perlindungan terhadap segala macam serangan yang berasal dari luar negeri maupun terhadap segala macam kezaliman yang berasal dari dalam negeri, sehingga mereka benar-benar menikmati rasa aman dan tenteram.
Perlindungan dari Kezaliman dari Luar Negeri
Dalam kitab Mathalib Ulin Nuha (kitab madzhab Imam Ahmad bin Hambali) disebutkan, “Seorang Imam wajib menjaga keselamatan Ahludz-Dzimah dan mencegah siapa saja yang mengganggu mereka, melepaskan mereka dari tindakan penawanan dan menolak kejahatan siapa saja yang hendak ditujukan kepada mereka. Hal ini berlaku selama mereka berdiam di negeri kita, bukan di Darul-Harb (negeri yang berperang dengan negeri Islam), walaupun mereka hanya seorang diri di suatu kota atau daerah. Mereka itu diperlakukan dengan hukum-hukum Islam karena akad dzimmah dengan mereka berlaku selama-lamanya, sehingga kewajiban perlindungan itu menjadi kewajiban Imam seperti halnya yang berlaku untuk kaum Muslimin.”[1]
Dalam bukunya Al-Furuq, Imam Qarafi Al-Maliki menukil ucapan Ibn Hazm (Imam kaum Zahiri) dalam bukunya Maratibul Ijma’: “Apabila kaum kafir datang ke negeri kita karena hendak mengganggu orang yang berada dalam perlindungan akad dzimmah, maka wajib atas kita menghadang dan memerangi mereka dengan segala kekuatan dan senjata, bahkan kita harus siap mati untuk itu demi menjaga keselamatan orang yang berada dalam dzimmah Allah SWT dan dzimmah Rasul-Nya. Meneyerahkannya kepada mereka tanpa upaya-upaya tersebut dianggap menyia-nyiakan akad dzimmah.” [2] Hal ini adalah sesuatu yang disepakati oleh umat.
Perlindungan dari Kezaliman di Dalam Negeri
Masyarakat Islam juga harus melindungi non-Muslim dari kezaliman yang muncul dari dalam negeri. Amat banyak hadits-hadits yang secara umum mengharamkan kezaliman dan mencelanya dengan keras serta mengingatkan akan akibatnya yang sangat buruk di akhirat maupun di dunia.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ ظَلَمَ مُعَاهِدًا أَوْ انْتَقَصَهُ أَوْ كَلَّفَهُ فَوْقَ طَاقَتِهِ أَوْ أَخَذَ مِنْهُ شَيْئًا بِغَيْرِ طِيبِ نَفْسٍ فَأَنَا حَجِيجُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barangsiapa bertindak zalim terhadap seorang mu’ahid (non-Muslim yang terikat perjanjian damai/perlindungan keamanan) atau mengurangi haknya atau membebaninya lebih dari kemampuannya atau mengambil sesuatu darinya tanpa ridhanya, maka akulah yang akan menjadi lawan si zalim itu kelak di hari kiamat.” (HR. Abu Dawud dan Al-Baihaqi, lihat As-Sunan Al-Kubra, jilid V, hal. 205)
Sabda beliau pula,
مَنْ آذَى ذِمِّيًا فَقَدْ آذَانِيْ، وَمَنْ آذَانِيْ فَقَدْ آذَى اللهِ
“Barang siapa menyakiti seorang zimmi (Non-Muslim yang tidak memerangi umat Muslim), maka sungguh dia telah menyakitiku. Barang siapa yang telah menyakitiku, maka sesungguhnya dia telah menyakiti Allah.” (HR. Thabrani)
(Bersambung)
Catatan Kaki:
[1] Mathalib Ulin Nuha, jilid II, hal. 602-603.
[2] Al-Furuq, jilid III, hal. 14-15.