Perlindungan Nyawa dan Badan
Hak perlindungan yang ditetapkan bagi Ahludz-Dzimah mencakup perlindungan keselamatan darah (nyawa) dan badanmereka sebagaimana mencakup pula harta dan kehormatan mereka.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرَحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ ، وَإِنَّ رِيحَهَا تُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا
“Siapa yang membunuh kafir mu’ahad ia tidak akan mencium bau surga. Padahal sesungguhnya bau surga itu tercium dari perjalanan empat puluh tahun.” (HR. Bukhari)[1]
Para ahli fiqih bersepakat bahwa pembunuhan terhadap seorang Dzimmi merupakan dosa besar, bahkan termasuk dosa-dosa keji terbesar mengingat ancaman keras dalam hadits tersebut. Akan tetapi, mereka berselisih pendapat, apakah seorang Muslim dapat dihukum mati jika ia melakukan pembunuhan terhadap seorang Dzimmi?
Mayoritas ahli fiqih, di antara mereka termasuk Syafi’i dan Ahmad, berpendapat bahwa seorang Muslim tidak dapat dibunuh atau dijatuhi hukuman mati disebabkan membunuh seorang Dzimmi. Mereka menggunakan dalil sebuah hadits shahih,
وَلَا يُقْتَلُ مُسْـلِمٌ بِكَافِرٍ
“…dan seorang muslim tidak boleh dibunuh karena membunuh orang kafir.” (HR. Bukhari)[2]
Juga hadits lainnya,
وَلَا يُقْتَلُ مُؤْمِنٌ بِكَافِرٍ, وَلَا ذُو عَهْدٍ فِي عَهْدِهِ
“Seorang mukmin tidak boleh dibunuh karena membunuh orang kafir, juga (tidak boleh dibunuh karena membunuh orang kafir) yang terikat dengan perjanjiannya.” [3]
Sedangkan Malik dan Al-Laits berpendapat: “Apabila seorang muslim membunuh seorang Dzimmi secara khianat (yakni bukan untuk membela diri atau peperangan) dia harus dihukum bunuh.” [4] Demikianlah hukuman yang telah dijatuhkan oleh Abanah bin Utsman ketika menjabat sebagai Amir Kota Madinah. Seorang Muslim membunuh seorang Qibti dengan cara khianat, maka ia pun memerintahkan agar si pembunuh dihukum mati karena perbuatan itu (Abanah termasuk diantara ahli fiqih kota Madinah).[5]
Sya’bi, Nakha’i, Ibnu Abi Laila, Utsman Al-Batti, Abu Hanifah dan murid-muridnya berpendapat bahwa seorang Muslim dapat dihukum mati jika ia membunuh seorang Dzimmi. Hal ini mengingat nash-nash umum tentang qishash dalam Al-Qur’an dan Sunnah, dan juga karena Muslim dan Dzimmi sama saja kedudukannya dalam hal perlindungan keselamatan nyawa yang berlaku selama-lamanya. Mengingat pula sebuah riwayat yang menyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjatuhi hukuman mati atas seorang Muslim yang telah membunuh seorang Mu’ahad (Dzimmi). Saat itu beliau bersabda,
أَنَا أَوْلَى مَنْ وَفَى بِذِمَّتِهِ
“Aku orang yang lebih utama melaksanakan perjanjiannya.” (HR. Abdur Razaq dan Baihaqi)[6]
Diriwayatkan pula hadits dari Abu Janubi Al-Asadi,
أُتِيَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ بِرَجُلٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ قَتَلَ رَجُلًا مِنْ أَهْلِ الذِّمَّةِ، قَالَ: فَقَامَتْ عَلَيْهِ الْبَيِّنَةُ فَأَمَرَ بِقَتْلِهِ، فَجَاءَ أَخُوهُ فَقَالَ: إِنِّي قَدْ عَفَوْتُ، قَالَ: فَلَعَلَّهُمْ هَدَّدُوكَ وَفَرَقُوكُ وَفَزَعُوكَ، قَالَ: لَا، وَلَكِنْ قَتْلُهُ لَا يَرُدُّ عَلَيَّ أَخِي، وَعَوَّضُونِي فَرَضِيتُ. قَالَ: ” أَنْتَ أَعْلَمُ مَنْ كَانَ لَهُ ذِمَّتُنَا فَدَمُهُ كَدَمِنَا، وَدِيَتُهُ كَدِيَتِنَا “
“Pernah dihadapkan kepada Ali bin Abi Thalib radiyallahu ‘anhu seorang Muslim yang telah membunuh seorang dzimmi. Ketika terbukti kesalahannya, Ali memerintahkan agar ia dihukum bunuh. Akan tetapi, (sebelum itu terlaksana) datanglah saudara si korban dan berkata, “Saya mengampuninya.” Ali bertanya, “Jangan-jangan ada orang-orang yang mengancam atau menakutimu?” “Tidak,” jawab orang itu. “Tapi, saya pikir pembunuhan terhadap pembunuh tidak akan menyebabkan saudaraku hidup kembali. Berilah aku uang tebusan, aku rela sepenuhnya.” Ali berkata, “Anda lebih mengetahui. Barang siapa terikat dengan dzimmah kami maka darahnya sama seperti darah kami (kaum Muslimin). Dan, uang tebusannya (diyat) seperti diyat kami.” (HR Thabrani dan Baihaqi).[7]
Telah diriwayatkan bahwa Umar bin Abdul Aziz pernah menulis surat kepada salah seorang dari pejabat-pejabat pemerintahannya mengenai seorang Muslim yang telah membunuh seorang Dzimmi. Umar memerintahkan agar menyerahkan kepada wali korban untuk menentukan apakah ia menghendaki dibunuhnya si pelaku pembunuhan ataukah ia bersedia memaafkannya? Maka ia pun memilih untuk dilaksanakan hukuman matiterhadapnya, dan hal itu segera dilaksanakan.[8]
Selanjutnya para ahli fiqih berkata: “Oleh sebab itu pula seorang pencuri Muslim dipotong tangannya sebagai hukuman atas pencurian harta seorang Dzimmi, padahal urusan harta benda sudah tentu lebih ringan daripada jiwa manusia.” Adapun sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “…dan seorang muslim tidak boleh dibunuh karena membunuh orang kafir,” maka yang dimaksud dengan kafir di sini ialah seorang kafir harbi (yakni yang aktif memerangi kaum Mu’min). Dengan begitu, berbagai nash itu bisa bersesuaian dan tidak saling bertentangan.[9]
Dan sebagaimanakeselamatan nyawa mereka dilindungi oleh Islam, demikian pula anggota badan mereka dilindungi pula dari tindakan pemukulan atau penyiksaan. Sama sekali tidak diperbolehkan menimbulkan gangguan apa pun atas tubuh-tubuh mereka walaupun sekiranya mereka terlambat atau menolak melaksanakan suatu kewajiban keuangan yang ditetapkan atas merekaseperti jizyah dan kharaj, batapa pun Islam bersikap tegas terhadap kaum Muslimin yang menolak membayarkan zakat mereka.
عن هشام بن حكيم بن حزام -رضي الله عنهما-: أنه مَرَّ بالشَّام على أُناس من الأَنْبَاطِ، وقد أُقيموا في الشمس، وصُبَّ على رؤوسهم الزَّيْتُ! فقال: ما هذا؟ قيل: يُعَذَّبُون في الخَرَاج – وفي رواية: حُبِسُوا في الجِزْيَةِ – فقال هشام: أشْهَدُ لسَمِعْتُ رسول الله -صلى الله عليه وسلم- يقول: «إن الله يُعَذِّب الَّذِينَ يُعَذِّبُونَ الناس في الدنيا». فدخل على الأمير، فحدثه، فأمر بهم فَخُلُّوا.
Dari Hisyam bin Ḥakim bin Ḥizam -raḍiyallahu ‘anhuma-, bahwa ia pernah melewati beberapa orang petani dijemur di bawah terik matahari di Syam dan disiramkan minyak di atas kepala mereka. Lalu ia berkata, “Mengapa mereka ini dihukum?” Kemudian dikatakan kepadanya, “Mereka dihukum karena tidak membayar kharaj.” Dalam riwayat lain disebutkan: karena mereka tidak membayar jizyah. Lalu Hisyam berkata, “Aku bersaksi sesungguhnya aku benar-benar telah mendengar Nabi -ṣallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda, “Sesungguhnya Allah akan menyiksa orang-orang yang menyiksa orang lain di dunia.” Kemudian ia menghadap kepada penguasa di sana untuk menasihatinya, kemudian penguasa itu memerintahkan agar mereka dibebaskan. (HR. Muslim)
(Bersambung)
Catatan Kaki:
[1] Dirawikan oleh Ahmad dan Bukhari pada Bab Jizyah, dan Nasai serta Ibnu Majah dalam Pasal Diyah dari Abdullah bin Amr. Menurut Ibnu Atsir kata Mu’ahad seringkali digunakan untuk menyebut Ahludz-Dzimah, tetapi adakalanya juga sebagai sebutan untuk orang-orang kafir apabila telah terikat perjanjian damai (Fathul Qadir, Jilid VI, hal. 153).
[2] Dirawikan oleh Ahmad, Bukhari, Nasai, Abu Dawud dan Tirmidzi dari Ali, seperti tersebut dalam Al-Muntaqa dan Syarah-nya. Lihat: Nailul Authar, jilid VII, hal. 15. Cetakan Darul Jil.
[3] Dirawikan oleh Ahmad, Nasai, Abu Dawud dari Ali.
[4] Nailul Authar, Jilid VII, hal. 154.
[5] Lihat: Al-Jauhar An-Naqi dan As-Sunan Al-Kubra, Jilid VIII, hal. 34.
[6] Al-Baihaqi melemahkan hadits ini seperti tersebut dalam As-Sunan, Jilid VIII, hal. 30; lihat pula komentar Ibnu Turkumani dalam Al-Jauhar An-Naqi: Hasyiyah As-Sunan Al-Kubra; lihat juga Al-Mushannaf, jilid X, hal. 101.
[7] As-Sunan Al-Kubra, jilid VIII, hal.34.
[8] Al-Mushannaf, susunan Abdul Razzaq, jilid X, hal. 101-102.
[9] Perhatikan tulisan Al-Imam Al-Jashshash dalam bukunya Ahkamul Qur’an, jilid I, Bab Hukuman Mati terhadap Muslim yang Membunuh Seorang Kafir, hal. 140; Cetakan Istambul.