Latar Belakang Munculnya Takfir
Fenomena kemaksiatan di tengah masyarakat Islam memang sudah sedemikian parah. Budaya permisivisme dan hedonisme bebas menyerbu masyarakat kita tanpa ada pencegahan yang berarti. Entah sadar atau tidak, sebagian media informasi turut andil menyiarkan dan menyebarkan kebatilan itu dengan berbagai kemasan. Seks bebas, pelacuran, pemerkosaan, pencurian, miras, narkotika, kolusi di antara penguasa serta pelecehan hukum dan agama terus bergulir menjadi tontonan harian. Sementara itu, sebagian ulama terlihat ‘adem ayem’ dan ‘toleran’. Mereka seolah tak berdaya melawan berbagai penyimpangan agama yang menari-nari di depan batang hidungnya.
Fenomena ini sungguh telah membakar ghirah umat, terutama kalangan generasi muda, yang memiliki niat ikhlas, semangat membara, vitalitas yang tinggi, taat beribadah, dan punya semangat amar ma’ruf nahi mungkar. Kerusakan moral, akhlaq, adab Islam, kemurtadan dan tekanan kekuatan kafir tentu menjadi problem yang demikian menyiksa batin mereka. Realita yang memprihatinkan ini mengeluarkan sebagian mereka dari kearifannya dan masuk ke wilayah yang out of control. Namun energi yang tinggi itu tidak diimbangi dengan kemampuan syar’iyah yang mendasar. Kurangnya latar belakang kafaah syar’iyah dan pendalaman bidang hukum Islam telah membuat mereka cenderung untuk mengambil ayat-ayat yang mutasyabihat dan meninggalkan yang muhkamat. Selain itu karena kurang luasnya wawasan mereka, seringkali mereka hanya menemukan sepotong dalil dan terluput dari dalil lainnya. Akibatnya pemahaman mereka menjadi sepotong-sepotong, tidak lengkap dan tidak komprehensif.
Mereka seringkali tergesa-gesa mengeluarkan vonis kafir kepada siapa saja yang dipandang keluar dari ajaran Islam. Dosa-dosa yang dilakukan oleh sebagian umat Islam ini sudah cukup dijadikan dasar untuk memposisikannya di dalam kekafiran. Lebih jauh lagi, para pemimpin negeri Islam dan termasuk juga ulama pun dikafirkan karena dianggap mendiamkan kemungkaran. Jadi dalam pandangan mereka, tidak harus menjalankan kemungkaran, tapi sekedar mendiamkan kemungkaran pun sudah bisa membuat seseorang atau sebuah pemerintahan menjadi kafir.
Muncul pula fenomena adanya sekelompok orang dari umat ini yang aktif mengkafirkan kelompok lainnya. Mereka memandang bahwa orang-orang yang ada di luar kelompoknya, atau yang tidak berbai’at kepada imam mereka sebagai kafir, murtad dan keluar dari Islam. Maka setiap kali berbeda pendapat dengan orang lain, mereka dengan mudah menyerang lawan bicaranya itu dengan julukan kafir. Seolah-olah di dunia ini hanya dirinya saja yang berhak menganut agama Islam, sedangkan orang lain sangat rentan untuk menjadi kafir.
Bahaya Menuduh Kafir Kepada Seorang Muslim
Sesungguhnya perkataan tafsiq (menuduh fasiq) dan takfir (menuduh kafir) adalah sesuatu perkataan yang berat yang tidak boleh sembarangan diucapkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَلَعْنُ الْمُؤْمِنِ كَقَتْلِهِ وَمَنْ رَمَى مُؤْمِنًا بِكُفْرٍ فَهُوَ كَقَتْلِهِ
“Dan melaknat seorang mukmin sama dengan membunuhnya, dan menuduh seorang mukmin dengan kekafiran adalah sama dengan membunuhnya.” (HR Bukhari).
أَيُّمَا رَجُلٍ قَالَ لِأَخِيْهِ : يَا كَافِرَ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ وَإِلاَّ رَجَعَتْ عَلَيْهِ
“Siapa saja yang berkata kepada saudaranya,” Hai Kafir”. Maka akan terkena salah satunya jika yang vonisnya itu benar, dan jika tidak maka akan kembali kepada (orang yang mengucapkan)nya.” (HR Bukari dan Muslim).
لاَ يَرْمِى رَجُلٌ رَجُلاً بِالْفُسُوْقِ وَلاَ يَرْمِيْهِ بِالْكُفْرِ إِلاَّ ارْتَدَّتْ عَلَيْهِ إِنْ لَمْ يَكُنْ صَاحِبُهُ كَذَلِكَ
“Tidaklah seseorang memvonis orang lain sebagai fasiq atau kafir maka akan kembali kepadanya jika yang divonis tidak demikian.” (HR Bukhari).
Maka jika seseorang berkata kepada saudaranya: “Hai si Fasiq, hai si Kafir, hai musuh Allah.”, sedangkan orang itu tidak demikian, maka akan kembali ucapan itu kepada yang berkata. Seperti perkataan seseorang: “Demi Allah, Allah tidak akan mengampuni fulan”.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda bahwa Allah Ta’ala berfirman,
مَنْ ذَا الَّذِي يَتَأَلَّى عَلَيَّ أَنْ لَا أَغْفِرَ لِفُلَانٍ فَإِنِّي قَدْ غَفَرْتُ لِفُلَانٍ وَأَحْبَطْتُ عَمَلَكَ
”Siapakah yang bersumpah atas nama-Ku bahwa Aku tidak mengampuni si fulan? Sesungguhnya Aku telah mengampuni dosanya dan Aku telah menghapuskan amalmu.” (HR Muslim IV/2023 dari Jundab)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ مَا فِيْهَا يَهْوِى بِهَا فِي النَّارِأَبْعَدَمَا بَيْنَ الْمَسْرِقِ وَالْمَغْرِبِ
“Sesungguhnya seorang hamba yang mengucapkan suatu perkataan yang tidak dipikirkan apa dampak-dampaknya akan membuatnya terjerumus ke dalam neraka yang dalamnya lebih jauh dari jarak timur dengan barat” (HR. Bukhari No. 6477, Muslim No. 2988)
Syaikh Jum’ah Amin rahimahullah berkata: “Sebagian orang mengira bahwa status kafir atau muslimnya seseorang hanya akan berdampak pada kehidupan akhirat. Pandangan seperti itu tentu saja keliru sebab status tersebut bukan hanya berdampak pada kehidupan akhirat, namun juga mengandung konsekwensi dalam kehidupan bersosial. Dengan status tersebut, kita dapat menentukan hukum Islam yang berlaku atasnya. Jika ia muslim, tentunya akan ada hak dan kewajiban yang harus kita penuhi. Jika ia kafir, tidak ada kewajiban bagi kita untuk menshalatkannya ketika ia meninggal, tidak ada jatah warisan baginya, dan tidak boleh dikuburkan di pekuburan kaum muslimin.” (Fahmul Islam, hal. 324)
Hal senada disampaikan Syaikh Yusuf al-Qaradawi hafizhahullah ketika menjelaskan tentang bahaya dari menuduh atau mengkafirkan seorang muslim. Ia menegaskan, menuduh seorang muslim sebagai kafir, hukumnya amat berbahaya, dan akibat yang akan ditimbulkannya lebih berbahaya lagi. Di antaranya ialah: bagi isterinya, dilarang berdiam bersama suaminya yang kafir, dan mereka harus dipisahkan. Seorang wanita muslimah tidak sah menjadi isteri orang kafir. Bagi anak-anaknya, dilarang berdiam di bawah kekuasaannya, karena dikhawatirkan akan mempengaruhi mereka. Anak-anak tersebut adalah amanat dan tanggungjawab orangtua. Jika orangtuanya kafir, maka menjadi tanggungjawab ummat Islam.
Orang yang murtad itu kehilangan haknya dari kewajiban-kewajiban masyarakat atau orang lain yang harus diterimanya, misalnya ditolong, dilindungi, diberi salam, bahkan dia harus dijauhi sebagai pelajaran. Dia harus dihadapkan ke muka hakim, agar djatuhkan hukuman baginya, karena telah murtad. Jika dia meninggal, tidak perlu diurusi, dimandikan, disalati, dikubur di pemakaman Islam, diwarisi dan tidak pula dapat mewarisi.
Jika dia meninggal dalam keadaan kufur, maka dia mendapat laknat dan akan jauh dari rahmat Allah. Dengan demikian dia akan kekal dalam neraka. Demikianlah hukuman yang harus dijatuhkan bagi orang yang menamakan atau menganggap golongan tertentu atau seseorang sebagai orang kafir; itulah akibat yang harus ditanggungnya. Maka, sekali lagi, amat berat dan berbahaya mengafirkan orang yang belum jelas kekafirannya.
Siapakah yang Berhak Dikafirkan?
- Golongan Komunis atau Atheis yang percaya pada suatu falsafah dan undang-undang yang bertentangan dengan syariat dan hukum-hukum Islam. Mereka itu musuh agama, terutama agama Islam. Mereka beranggapan bahwa agama adalah candu bagi masyarakat.
- Orang-orang atau golongan dari paham yang menamakan dirinya sekular, yang menolak secara terang-terangan agama Allah dan memerangi siapa saja yang berdakwah dan mengajak masyarakat untuk kembali pada syariat dan hukum Allah.
- Orang-orang dari aliran kebatinan, misalnya golongan Duruz, Nasyiriah, Ismailiah dan lain-lainnya. Kebanyakan dari mereka itu berada di Suriah dan sekitarnya.
Al-Imam Ghazali pernah berkata, “Pada lahirnya mereka itu bersifat menolak dan batinnya kufur.” Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga berkata, “Mereka lebih kafir daripada orang-orang Yahudi dan Nasrani. Karena sebagian besar mereka ingkar pada landasan Islam.” Seperti halnya mereka yang baru muncul di masa itu, yaitu yang bernama Bahaiah, agama baru yang berdiri sendiri. Begitu juga golongan yang mendekatinya, yaitu Al-Qadiyaniah, yang beranggapan bahwa pemimpinnya adalah Nabi setelah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Syarat Ke-Islaman: Ikrar Dua Kalimat Syahadat
Syarat utama bagi orang yang baru masuk Islam ialah mengucapkan dua kalimat Syahadat. Yaitu kalimat: “Asyhadu allaa ilaaha ilallaah, wa asyhadu anna Muhammadar Rasuulullah.” Barangsiapa yang mengucapkan dan mengikrarkan dengan lisannya, maka dia menjadi orang Islam; berlaku baginya hukum-hukum Islam, walaupun dalam hatinya dia mengingkari. Karena kita hanya diperintahkan untuk menghukumi secara lahirnya. Adapun batinnya, kita serahkan kepada Allah Ta’ala. Dalil dari hal itu adalah ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima orang-orang yang hendak masuk Islam, beliau hanya mewajibkan mereka mengucapkan dua kalimat Syahadat. Beliau tidak menunggu hingga datangnya waktu shalat atau bulan Puasa Ramadhan.
Di saat Usamah membunuh orang yang telah mengucapkan, “Laa ilaaha illallaah,” dalam peperangan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyalahkannya.
عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ وَهَذَا حَدِيثُ ابْنِ أَبِي شَيْبَةَ قَالَ بَعَثَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَرِيَّةٍ فَصَبَّحْنَا الْحُرَقَاتِ مِنْ جُهَيْنَةَ فَأَدْرَكْتُ رَجُلًا فَقَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ فَطَعَنْتُهُ فَوَقَعَ فِي نَفْسِي مِنْ ذَلِكَ فَذَكَرْتُهُ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَقَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَقَتَلْتَهُ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّمَا قَالَهَا خَوْفًا مِنْ السِّلَاحِ قَالَ أَفَلَا شَقَقْتَ عَنْ قَلْبِهِ حَتَّى تَعْلَمَ أَقَالَهَا أَمْ لَا فَمَا زَالَ يُكَرِّرُهَا عَلَيَّ حَتَّى تَمَنَّيْتُ أَنِّي أَسْلَمْتُ يَوْمَئِذٍ
Dari Usamah bin Zaid ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus kami bersama pasukan kecil maka kami pun menyerang beberapa dusun dari qabilah Juhainah, maka Aku pun berhadapan dengan seseorang, dia mengucapkan la ilaha illallah, namun Aku tetap menikamnya. Namun setelah itu Aku merasa tidak enak akan hal itu maka akupun menceritakan hal itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Apakah ia mengucapkan la ilha illallah lantas engkau tetap membunuhnya?’. Aku berkata, ‘Ya Rasulullah, dia mengucapkannya hanya karena takut pedangku!’, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Mengapa engkau tidak membelah hatinya hingga engkau tahu bahwa dia mengucapkannya karena takut atau tidak!?’. Berkata Usamah, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terus mengulang-ulang perkataannya kepadaku itu hingga aku berangan-angan seandainya aku baru masuk Islam saat itu” (HR Muslim 1/96)
Dalam Musnad Al-Imam Ahmad diterangkan, ketika kaum Tsaqif masuk Islam, mereka mengajukan satu syarat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu supaya dibebaskan dari kewajiban bersedekah dan jihad. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
سَيَصَّدَّقُونَ وَيُجَاهِدُونَ إِذَا أَسْلَمُوا يَعْنِي ثَقِيفًا
“Mereka akan bersedekah dan berjihad jika telah masuk Islam”, yaitu orang-orang Tsaqif. (Kitab Musnad Imam Ahmad, No. 14147)
Dosa Besar Tidak Merusak ke-Islaman
Dalam paham aqidah Ahlus sunnah wal jamaah, dosa-dosa yang dilakukan oleh seseorang meski dilakukan berulang-ulang tidak membatalkan syahadat alias tidak membuatnya berubah statusnya menjadi kafir. Kecuali bila menafikan kewajiban-kewajiban yang mutlak seperti kewajiban shalat, zakat dan lainnya. Yang membuat kafir itu bukan tidak melakukan ibadah shalat atau tidak bayar zakat, tetapi mengingkari adanya kewajiban tersebut. Jadi, bila ada seorang muslim shalatnya jarang-jarang tapi dalam keyakinannya dia sadar bahwa shalat itu wajib, cuma masalahnya dia malas, maka dia tidak bisa dikatakan kafir atau keluar dari Islam.
Pemikiran bila seorang berbuat dosa besar lalu menjadi kafir seperti itu justru datang dari paham aqidah Mu`tazilah. Menurut paham ini tuhan berjanji untuk meberi pahala kepada yang berbuat baik dan mengancam yang berbuat dosa. Sekali orang melakukan dosa, maka tidak ada ampun lagi selamanya. Karena itu bila seorang berdosa dan mati sebelum bertaubat, maka dia akan kekal selamanya di neraka.
Syaikh Musthafa Muhammad Thahhan hafizhahullah dalam Al-Fikr Al-Islamiy Al-Mu’ashir menyatakan bahwa Ahlus sunnah wal ama’ah berpendapat bahwa orang yang melakukan dosa besar adalah mu’min ‘ashi (beriman namun melakukan maksiat). Perkaranya menjadi urusan Allah: jika Allah menghendaki, Allah akan mengampuni dosanya. Namun, jika Allah menghendakinya untuk disiksa, ia akan disiksa sesuai kadar dosanya.
Ta’lif syar’i (kewajiban syariat) seperti jihad, haji, puasa, dan shalat menjadi indikator bertambahnya keimanan jika dikerjakan dan menurunnya keimanan jika ditinggalkan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَخْرُجُ مِنْ النَّارِ مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَفِي قَلْبِهِ وَزْنُ شَعِيرَةٍ مِنْ خَيْرٍ وَيَخْرُجُ مِنْ النَّارِ مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَفِي قَلْبِهِ وَزْنُ بُرَّةٍ مِنْ خَيْرٍ وَيَخْرُجُ مِنْ النَّارِ مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَفِي قَلْبِهِ وَزْنُ ذَرَّةٍ مِنْ خَيْرٍ
“Keluar dari neraka orang yang mengucapkan la ilaha illallah dan di hatinya ada seberat rambut kebaikan. Keluar dari neraka orang yang mengucapkan la ilaha illallah sedang di hatinya ada seberat gandum kebaikan. Dan keluar dari neraka orang yang mengatakan la ilaha illallah sedang di hatinya ada seberat zarrah kebaikan.” (H.R. Bukhari).
Yang dimaksud dengan kebaikan pada hadits di atas adalah keimanan.
Kafir yang Bukan Kafir
Jika seseorang tidak mengerti bahwa itu adalah suatu bentuk kekafiran, maka ia tidak berhak divonis kafir. Dasarnya adalah firman Allah taala:
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
“Barangsiapa menentang Rasul setelah jelas baginya kebenaran, dan mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa bergelimang dalam kesesatan dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa: 115)
وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِلَّ قَوْمًا بَعْدَ إِذْ هَدَاهُمْ حَتَّىٰ يُبَيِّنَ لَهُمْ مَا يَتَّقُونَ ۚ إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Dan Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, sesudah Allah memberi petunjuk kepada mereka hingga dijelaskan-Nya kepada mereka apa yang harus mereka jauhi.” (QS. At-Taubah: 115)
وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّىٰ نَبْعَثَ رَسُولًا
“Dan Kami tidak akan mengadzab sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (QS. Al-Isra: 15)
Namun jika seseorang sangat berlebihan di dalam meninggalkan thalabul ilmi dan mencari kejelasan (tentang permasalahannya), maka ia tidak diberi udzur. Contohnya, ketika disampaikan kepada seseorang bahwa ia telah mengerjakan sebuah perbuatan kekafiran, namun ia tidak mau peduli dan tidak mau mencari kejelasan tentang permasalahannya, maka sungguh ketika itu ia tidak mendapat udzur. Namun jika seseorang tidak bermaksud untuk mengerjakan perbuatan kekafiran, maka ia tidak divonis kafir. Misalnya seseorang yang dipaksa untuk mengerjakan kekafiran, namun hatinya tetap kokoh di atas keimanan.
Juga seseorang yang tidak sadar atas apa yang diucapkan baik disebabkan sesuatu yang sangat menggembirakannya ataupun yang lainnya, sebagaimana ucapan seseorang yang kehilangan untanya, kemudian ia berbaring di bawah pohon sambil menunggu kematian, ternyata untanya telah berada di dekat pohon tersebut. Lalu ia pun memeluknya seraya berkata,
أَنْتَ عَبْدِي وَأَنَا رَبُّكَ
“Ya Allah, Engkau hambaku dan aku Rabb-Mu.”
Orang ini salah mengucap karena sangat gembira. Namun bila seseorang mengerjakan kekafiran untuk gurauan (main-main) maka ia dikafirkan, karena adanya unsur kesengajaan di dalam mengerjakannya, sebagaimana yang dinyatakan oleh ahlul ilmi (para ulama). (Majmu’ Fatawa Wa Rasail Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 2/125-126, dinukil dari Fitnatut Takfir, hal. 70-71)
Maksud Kata-kata Kafir dan Syirik dalam Al-Qur’an
Syaikh Musthafa Muhammad Thahhan hafizhahullah menjelaskan bahwa kata-kata kafir ataupun syirik dalam Al-Qur’an terkadang ditujukan kepada sebagian dari perbuatan maksiat. Hal itu merupakan majaz (kiasan) untuk menjelaskan bahwasanya perbuatan maksiat itu sangat besar dosanya. Sebagai contoh dari hal tersebut adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللَّهِ فَقَدْ كَفَرَ أَوْ أَشْرَكَ
“Barangsiapa yang bersumpah dengan menyebut selain nama Allah, maka sungguh dia telah kafir atau musyrik” (HR. At-Tirmidzi)
Kata kafir di atas bukanlah dimaksudkan kafir yang menyebabkan seseorang keluar dari agama Allah.
Dalam hadits lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata kepada salah seorang shabiyah,
يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ، تَصَدَّقْنَ وَأَكْثِرْنَ الِاسْتِغْفَارَ، فَإِنِّي رَأَيْتُكُنَّ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ فَقَالَتِ امْرَأَةٌ مِنْهُنَّ جَزْلَةٌ: وَمَا لَنَا يَا رَسُولَ اللهِ أَكْثَرُ أَهْلِ النَّارِ؟ قَالَ: تُكْثِرْنَ اللَّعْنَ، وَتَكْفُرْنَ الْعَشِير
“Wahai para wanita bersedekahlah dan perbanyaklah istighfar (memohon ampun kepada Allah), karena sesungguhnya aku telah diperlihatkan bahwa kalian para wanita yang terbanyak menghuni neraka.” Maka berkatalah seorang wanita yang pandai: “Mengapa kami para wanita yang terbanyak menghuni neraka?” Beliau bersabda: “Karena kalian banyak melaknat dan kufur terhadap suami.” (HR. Al-Bukhari dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu’anhu dan Muslim dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu’anhuma, dan ini lafaz Muslim)
أُرِيتُ النَّارَ فَإِذَا أَكْثَرُ أَهْلِهَا النِّسَاءُ يَكْفُرْنَ قِيلَ أَيَكْفُرْنَ بِاللَّهِ قَالَ يَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ وَيَكْفُرْنَ الإِحْسَانَ لَوْ أَحْسَنْتَ إِلَى إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا قَالَتْ مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَط
“Aku diperlihatkan neraka, ternyata kebanyakan penghuninya adalah wanita, karena mereka kufur.” Beliau ditanya: “Apakah mereka kufur kepada Allah?” Beliau menjawab: “Mereka kufur kepada suami dan mengingkari kebaikan. Andaikan engkau berbuat baik kepada seorang istri sepanjang waktu, kemudian sekali saja ia melihat kesalahanmu, maka ia mengatakan: ‘Aku tidak pernah melihat kebaikan sedikit pun darimu.’” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Berdasarkan hadits-hadits tersebut, yang namanya kekufuran, kezhaliman, dan kefasikan memiliki tingkatan. Ibnu Abbas menjelaskan, “Ia telah kufur, namun tidak menjadi kafir. Seorang mukmin terkadang disifati dengan sifat fasik, zhalim, syirik, dan tidak beriman karena kemungkaran yang dikerjakannya. Akan tetapi, mereka tidak dianggap murtad (keluar dari agama). Rasulullah melarang melaknat orang-orang yang dijatuhi hukum hudud karena meminum khamar.”
عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ أَنَّ رَجُلًا عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ اسْمُهُ عَبْدَ اللَّهِ وَكَانَ يُلَقَّبُ حِمَارًا وَكَانَ يُضْحِكُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ جَلَدَهُ فِي الشَّرَابِ فَأُتِيَ بِهِ يَوْمًا فَأَمَرَ بِهِ فَجُلِدَ فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ الْقَوْمِ اللَّهُمَّ الْعَنْهُ مَا أَكْثَرَ مَا يُؤْتَى بِهِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَلْعَنُوهُ فَوَاللَّهِ مَا عَلِمْتُ إِنَّهُ يُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ
Dari Umar bin khattab, “Ada seorang laki-laki dimasa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam Shallallahu’alaihi wa sallam namanya Abdullah, dia dijuluki keledai, ia suka membuat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tertawa, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mencambuknya karena ia mabuk. Suatu hari ia ditangkap lagi dan Nabi memerintahkan agar dia dicambuk. Lantas salah seorang sahabat berujar; ‘Ya Allah, laknatilah dia, betapa sering ia ketangkap, ‘ Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah kalian melaknat dia, demi Allah, setahuku dia mencintai Allah dan rasul-Nya.” (HR. Bukhari, No. 6282)
Umumnya kelompok takfir menggunakan ayat Al-Quran secara zahir. Misalnya ayat berikut ini:
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
”Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Maidah: 44)
Maka dalam pandangan mereka (jamaah takfir), muslim mana pun sudah dianggap kafir lantaran tidak menjalankan hukum Allah dalam kehidupan sehari-hari. Bukan hanya penguasa, tapi semua orang Islam yang tidak menjalankan hukum Islam.
Sedangkan dalam pemahaman aqidah ahlus sunnah wal Jamaah, mereka tidak kafir yang menyebabkan gugurnya status ke-Islaman dan murtad dari agama Islam. Tentang ayat di atas, Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata, “Kafir yang dimaksud bukanlah kafir yang membuat seseorang keluar dari millah (agama). Tidak seperti kafir kepada Allah dan hari akhir.”
Thawus Al-Yamani, seorang tabi’in terkenal mengatakan, “Yang tergolong kafir adalah siapa saja yang tidak memberlakukan hukum Allah karena pengingkarannya. Sedangkan mereka yang meyakini harus diberlakukan hukum Allah, namun belum mampu melakukannya, ia termasuk zhalim dan fasik.” (Du’at La Qudhat, Syaikh Hasan Al-Hudahaibi).
Ibnul-Qayyim menerangkan tentang kandungan ayat itu sebagai berikut, “Kufur itu ada dua macam. Kufur akbar (besar) dan kufur ashghar (kecil). Kufur akbar adalah kufur yang mewajibkan pelakunya masuk neraka dengan kekal. Sedangkan kufur ashghar akan menjadikan pelakunya diazab di neraka tapi tidak abadi selamanya.”
“Yang benar adalah bahwa berhukum dengan selain hukum Allah mencakup dua jenis kekafiran, kecil dan besar, sesuai dengan keadaan pelakunya. Jika ia yakin akan wajibnya berhukum dengan hukum Allah (dalam permasalahan tersebut) namun ia condong kepada selain hukum Allah dengan suatu keyakinan bahwa karenanya ia berhak mendapatkan hukuman dari Allah, maka kafirnya adalah kafir kecil (yang tidak mengeluarkannya dari Islam-pen).
Jika ia berkeyakinan bahwa berhukum dengan hukum Allah itu tidak wajib -dalam keadaan ia mengetahui bahwa itu adalah hukum Allah- dan ia merasa bebas untuk memilih (hukum apa saja), maka kafirnya adalah kafir besar (yang dapat mengeluarkannya dari Islam -pen). Dan jika ia sebagai seorang yang buta tentang hukum Allah lalu ia salah dalam memutuskannya, maka ia dihukumi sebagai seorang yang bersalah (tidak terjatuh ke dalam salah satu dari jenis kekafiran -pen).” (Madarijus Salikin, 1/336-337).
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata tentang tafsir Surat Al-Maidah ayat 44: “Berhukum dengan selain hukum Allah termasuk perbuatan Ahlul Kufur, terkadang ia sebagai bentuk kekafiran yang dapat mengeluarkan pelakunya dari Islam bila ia berkeyakinan akan halal dan bolehnya berhukum dengan selain hukum Allah tersebut dan terkadang termasuk dosa besar dan bentuk kekafiran (yang tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam -pen), namun ia berhak mendapatkan adzab yang pedih.” (Taisirul Karimir Rahman, hal. 195).
Beliau juga berkata, “Ibnu ‘Abbas berkata: Kufrun duna kufrin (kufur kecil -pen), zhulmun duna zhulmin (kedzaliman kecil) dan fisqun duna fisqin (kefasikan kecil). Disebut dengan zhulmun akbar (yang dapat mengeluarkan dari keislaman) di saat ada unsur pembolehan berhukum dengan selain hukum Allah, dan termasuk dari dosa besar (yang tidak mengeluarkan dari keislaman -pen) ketika tidak ada keyakinan halal dan bolehnya perbuatan tersebut.” (Taisirul Karimir Rahman, hal. 196)
Maka demikian teliti dan hati-hatinya Imam As-Syahid Hasan Al-Banna rahimahullah ketika mengatakan, “Kita tidak mengkafirkan seorang muslim yang telah mengikrarkan dua kalimat syahadat, mengamalkan tuntutan-tuntutannya dan melaksanakan kewajiban-kewajibannya, baik karena pendapatnya maupun karena kemaksiatannya, kecuali jika ia mengatakan kata-kata kufur, mengingkari suatu yang telah diakui sebagai asas dari agama, atau mendustakan ayat-ayat Al-Qur’an yang sudah jelas maknanya, menafsirkannya dengan cara yang tidak sesuai dengan kaidah bahasa Arab, atau melakukan suatu perbuatan yang tidak mungkin ditafsirkan, kecuali kekufuran.”
Wallahu A’lam…