Konsekwensi Iman Kepada Al-Qur’an
Salah satu tuntutan keimanan bagi seorang muslim adalah al-imanu bi-Qur’an (iman kepada Al-Qur’an). Keimanan tersebut mengandung beberapa konsekuensi berikut.
Pertama, al-ansu bihi (akrab dengannya).
Keakraban tersebut diimplementasikan dengan ta’allumuhu (mempelajarinya) dan ta’limuhu (mengajarkannya), yakni tilawatan (membacanya), fahman (memahaminya), tathbiqan (melaksanakannya), dan hifdzan (menghafalnya).
Tilawatan
Allah Ta’ala menyebutkan keutamaan tilawah Al-Qur’an melalui firman-Nya,
إِنَّ الَّذِينَ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَنفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرّاً وَعَلَانِيَةً يَرْجُونَ تِجَارَةً لَّن تَبُورَ. لِيُوَفِّيَهُمْ أُجُورَهُمْ وَيَزِيدَهُم مِّن فَضْلِهِ إِنَّهُ غَفُورٌ شَكُورٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi, agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.” (QS. Fathir, 35: 29-30)
Ayat di atas menyebutkan bahwa orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dikelompokkan ke dalam golongan orang-orang yang mengaharapkan bisnis yang tidak akan merugi; mereka mendapat pahala yang berlipat ganda dan mendapat curahan karunia-Nya.
Dalam pembahasan Ta’riful Qur’an kita telah mengetahui beberapa hadits tentang keutamaan tilawah; sebagai tambahannya perhatikanlah dua hadits berikut ini,
مَثَلُ الْمُؤْمِنِ الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَمَثَلِ الْأُتْرُجَّةِ رِيحُهَا طَيِّبٌ وَطَعْمُهَا طَيِّبٌ وَمَثَلُ الْمُؤْمِنِ الَّذِي لَا يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَمَثَلِ التَّمْرَةِ لَا رِيحَ لَهَا وَطَعْمُهَا حُلْوٌ
“Perumpamaan seorang muslim yang membaca Al-Qur’an adalah seperti buah utrujah, baunya enak dan rasanya juga enak. Adapun perumpamaan seorang muslim yang tidak membaca al Qur’an adalah seperti buah kurma, tidak ada baunya dan rasanya manis”. (HR. Bukhari dan Muslim)
الْمَاهِرُ بِالْقُرْآنِ مَعَ السَّفَرَةِ الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ وَالَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَيَتَتَعْتَعُ فِيهِ وَهُوَ عَلَيْهِ شَاقٌّ لَهُ أَجْرَانِ
“Orang yang mahir membaca al Qur’an bersama malaikat yang mulia lagi taat. Adapun orang yang membaca al Qur’an dengan terbata-bata dan berat atasnya maka baginya dua pahala” (HR. Bukhari dan Muslim)
Fahman
Mempelajari dan memahami Al-Qur’an adalah sebuah keniscayaan karena ia adalah kitab petunjuk kehidupan bagi orang-orang yang beriman,
إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ يَهْدِيْ لِلَّتِيْ هِيَ أَقْوَمُ وَيُبَشِّرُ الْمُؤْمِنِيْنَ الَّذِيْنَ يَعْمَلُوْنَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا كَبِيْراً
“Sesungguhnya al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan amal shalih bahwa bagi mereka ada pahala yang besar.” (QS. Al-Isra, 17: 9).
Oleh karena itu Allah Ta’ala mengecam kepada orang-orang yang tidak mau tadabbur (memperhatikan) Al-Qur’an.
أَفَلاَ يَتَدَبَّرُوْنَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلىَ قُلُوْبٍ أَقْفَالُهَا
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci?” (QS. Muhammad, 47: 24).
Allah Ta’ala juga mengecam orang-orang beriman yang lengah dari memperhatikan Al-Qur’an,
أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِيْنَ آمَنُوْا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوْبُهُمْ لِذِكْرِ اللهِ وَ مَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلَا يَكُوْنُوْا كَالَّذِيْنَ أُوْتُوْا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوْبُهُمْ وَكَثِيْرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُوْنَ
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Al-Hadid , 57: 16).
Sebaliknya, orang yang mau memperhatikan Al-Qur’an, yakni dengan mempelajari dan mengajarkannya, disebut oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan ungkapan,
خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ
“Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar Al-Qur`an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari)
Tathbiqan
Selain membaca dan mempelajari, ciri keakraban dengan Al-Qur’an yang lain adalah berupaya mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Para salafu shalih mencontohkan hal ini sebagaimana tergambar dalam hadits berikut ini,
عَنْ أَبِى عَبْدِ الرَّحْمَنِ قَالَ حَدَّثَنَا مَنْ كَانَ يُقْرِئُنَا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُمْ كَانُوا يَقْتَرِئُونَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَشَرَ آيَاتٍ فَلاَ يَأْخُذُونَ فِى الْعَشْرِ الأُخْرَى حَتَّى يَعْلَمُوا مَا فِى هَذِهِ مِنَ الْعِلْمِ وَالْعَمَلِ. قَالُوا فَعَلِمْنَا الْعِلْمَ وَالْعَمَلَ.
Riwayat dari Abi Abdul Rahman as-Sulamiy (seorang tabi’in), ia berkata, “Telah menceritakan kepada kami orang yang dulu membacakan kepada kami yaitu sahabat-sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa mereka dulu mendapatkan bacaan (Al-Qur’an) dari Rasululullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sepuluh ayat, mereka tidak mengambil sepuluh ayat yang lainnya sehingga mereka mengerti apa yang ada di dalamnya yaitu ilmu dan amal. Mereka berkata, ‘Maka kami mengerti ilmu dan amal.’” (Hadits Riwayat Ahmad nomor 24197, dan Ibnu Abi Syaibah nomor 29929)
Hifdzan
Setelah membaca, mempelajari, dan mengamalkan, yang tidak boleh kita lupakan adalah hifdzan (menghafalnya). Tentang keutamaan menghafal Al-Qur’an, disebutkan dalam hadits dari Abdullah bin ‘Amr, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يُقَالُ لِصَاحِبِ الْقُرْآنِ اقْرَأْ وَارْتَقِ وَرَتِّلْ كَمَا كُنْتَ تُرَتِّلُ فِى الدُّنْيَا فَإِنَّ مَنْزِلَكَ عِنْدَ آخِرِ آيَةٍ تَقْرَؤُهَا
“Dikatakan kepada orang yang membaca (menghafalkan) Al Qur’an nanti : ‘Bacalah dan naiklah serta tartillah sebagaimana engkau di dunia mentartilnya. Karena kedudukanmu adalah pada akhir ayat yang engkau baca (hafal).” (HR. Abu Daud no. 1464 dan Tirmidzi no. 2914, shahih kata Syaikh Al Albani).
Ibnu Hajar Al Haitami rahimahullah berkata, “Hadits di atas menunjukkan keutamaan khusus bagi yang menghafalkan Al Qur’an dengan hatinya, bukan yang sekedar membaca lewat mushaf. Karena jika sekedar membaca saja dari mushaf, tidak ada beda dengan yang lainnya baik sedikit atau banyak yang dibaca. Keutamaan yang bertingkat-tingkat adalah bagi yang menghafal Al Qur’an dengan hatinya. Dari hafalan ini, bertingkat-tingkatlah kedudukan mereka di surga sesuai dengan banyaknya hafalannya. Menghafal Al Qur’an seperti ini hukumnya fardhu kifayah. Jika sekedar dibaca saja, tidak gugur kewajiban ini. Tidak ada yang lebih besar keutamaannya dari menghafal Al-Qur’an. Inilah yang dimaksudkan dalam hadits di atas dan inilah makna tekstual yang bisa ditangkap. Malaikat akan mengatakan pada yang menghafalkan Al Qur’an ‘bacalah dan naiklah’. Jadi yang dimaksud sekali lagi adalah bagi yang menghafal Al Qur’an dari hatinya.” (Al Fatawa Al Haditsiyah, 156)[1]
Kedua, tarbiyatun nafsi bihi (membina diri dengannya).
Setiap kita hendaknya bersungguh-sungguh dalam membina diri dengan Al-Qur’an. Dengan begitu semoga kita menjadi rabbaniyyin –pengikut ajaran Allah Rabbul ‘alamin-, yang sempurna ilmu dan ketakwaannya.
كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُونَ
“Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani , karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.” (QS. Ali Imran, 3: 79)
Dengan tarbiyah qur’aniyyah inilah, seluruh bangsa sepanjang zaman sampai hari kiamat akan mendapatkan petunjuk dan bimbingan menuju kebaikan dunia dan akhirat. Bersih dari aqidah yang menyesatkan, dosa kemusyrikan, serta sifat-sifat jahiliah, memahami syariat agama beserta hukum-hukumnya serta hikmah-hikmah yang terkandung di dalamnya.
هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ وَآخَرِينَ مِنْهُمْ لَمَّا يَلْحَقُوا بِهِمْ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata, dan (juga) kepada kaum yang lain dari mereka yang belum berhubungan dengan mereka. Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Jumu’ah, 62: 2-3)
Ketiga, at-taslimu li ahkamihi (tunduk kepada hukum-hukumnya).
Tidaklah pantas bagi orang yang menyatakan diri beriman kepada Al-Qur’an jika tidak tunduk dan menerima hukum-hukumnya.
Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat.” (QS. Al-Ahzab, 33: 36)
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisa, 4: 46)
Keempat, ad-da’watu ilaihi (menyeru manusia kepadanya).
Maksud diturunkannya Al-Qur’an adalah sebagai petunjuk bagi umat manusia. Ia adalah risalah Allah yang harus disampaikan oleh para rasul kepada seluruh manusia tanpa kecuali. Allah Ta’ala berfirman,
يَاأَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ وَاللَّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ إِنَّ اللَّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Maidah, 5: 67)
Sebagai umat Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, kita pun berkewajiban untuk mendakwahkannya, beliau bersabda:
بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً
“Sampaikanlah oleh kalian dariku, sekali pun satu ayat!” (HR. Bukhari)
Ibnu Hajar berkata, “Dalam hadits ini Rasulullah mengatakan, ‘sekalipun satu ayat’. Tujuannya agar semua pendengar dapat segera menyampaikan ayat-ayat yang telah didengarnya itu kepada orang lain, walaupun sedikit. Sehingga akan berkelanjutanlah penyampaian ayat-ayat yang didakwahkan oleh beliau.” [2]
Ciri pengikut Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah mereka yang berdakwah. Perhatikanlah firman Allah Ta’ala berikut ini,
قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Katakanlah: ‘Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik’.” (QS. Yusuf, 12: 108)
Ibnul Qayyim Al-Jauziyah berkata tentang ayat di atas, “Tidaklah seseorang itu murni sebagai pengikut Muhammad sampai ia mau mendakwahkan apa-apa yang didakwahkan oleh beliau dengan dasar ilmu yang mendalam.”[3]
Kelima, iqamatuhu fil ardhi (menegakkannya di muka bumi).
Allah Ta’ala telah mensyariatkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana telah mensyariatkan pula kepada rasul-rasul sebelumnya untuk menegakkan agama.
شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّينِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ كَبُرَ عَلَى الْمُشْرِكِينَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ اللَّهُ يَجْتَبِي إِلَيْهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي إِلَيْهِ مَنْ يُنِيبُ
“Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu : Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).” (QS. Asy-Syura, 42: 13).
Dalam Hidayatul Insan bi tafsiril Qur’an[4] disebutkan: Yang dimaksud dengan menegakkan agama Islam di sini adalah mengesakan Allah Subhaanahu wa Ta’aala, beriman kepada-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhirat serta menaati segala perintah dan menjauhi larangan-Nya atau menegakkan semua syariat baik yang ushul (dasar) maupun yang furu’ (cabang), yaitu kamu menegakkannya oleh dirimu dan berusaha menegakkannya juga pada selain dirimu serta saling bantu-membantu di atas kebaikan dan takwa.
Jadi, sebagai pengikut Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, hendaknya kita melaksanakan pula tugas mulia ini dengan sungguh-sungguh sehingga nyatalah dirasakan oleh seluruh manusia bahwa Al-Qur’an ini adalah rahmat bagi mereka.
Wallahu A’lam.
Catatan Kaki:
[1] Sumber: https://rumaysho.com/2855-prioritaskan-menghafal-al-quran.html
[2] Fathul-Bari, jilid 6 hal. 575
[3] Miftah Dar As-Sa’adah, jilid 1 hal. 154
[4] Ini adalah tafsir yang disusun oleh Al Ustadz Abu Yahya Marwan bin Musa yang merupakan rangkuman dari berbagai kitab tafsir ulama seperti kitab tafsir Taisirul Kariimir Rahmaan fii Tafsiir Kalaamil Mannaan karya Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’diy, Kitab Tafsir Jalalain karya Jalaluddin As Suyuthi dan Jalaluddin Al Mahalliy, Anwaarul Hilaalain fit Ta’aqqubaat ‘alal Jalaalain karya Dr. Muhammad bin Abdurrahman Al Khumais, dan Tafsir Ibnu Kastir. Pembaca dapat menyimaknya di www.tafsir.web.id, semoga Allah Ta’ala melimpahkan pahala yang berlipat ganda atas jerih payah beliau tersebut.