Hasil dari Mengikuti Rasul
Keimanan kepada rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam harus diwujudkan dengan cara ittiba’ (mengikuti) kepada beliau. Seseorang yang rela ittiba’ kepada rasul berarti telah tertanam dalam dirinya tashdiq (pembenaran) dan tha’ah (ketaatan) sebagaimana disebutkan dalam pembahasan wajibuna nahwar rasul, sehingga ia senantiasa bersedia mengikuti komando Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu menjauhi apa yang dilarangnya dan beribadah dengan apa yang disyariatkannya.
Seseorang yang ber-ittiba’ akan memetik hasil yang bermanfaat bagi dirinya, baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Pertama, memperoleh mahabbatullah (kecintaan dari Allah).
Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran, 3: 31).
Kedua, memperoleh rahmatullah (rahmat Allah).
وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Dan ta’atilah Allah dan Rasul, supaya kamu diberi rahmat.” (QS. Ali Imran, 3: 132)
Muslim yang selalu taat dan patuh kepada perintah Allah dan Rasul-Nya akan mendapatkan limpahan rahmat dari-Nya; yakni belas kasih, kasih sayang, kebaikan, kemurahan, dan simpati. Sehingga ia mendapatkan kehidupan yang bahagia di dunia dan di akhirat.
Ketiga, memperoleh hidayatullah (petunjuk Allah).
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah pembawa petunjuk Allah Ta’ala. Maka dengan ber-ittiba’ kepadanya kita akan memperoleh hidayah Allah; dapat mengetahui iman dan ajaran yang benar,
وَكَذَلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوحًا مِنْ أَمْرِنَا مَا كُنْتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلَا الْإِيمَانُ وَلَكِنْ جَعَلْنَاهُ نُورًا نَهْدِي بِهِ مَنْ نَشَاءُ مِنْ عِبَادِنَا وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Qur’an) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab (Al Qur’an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Qur’an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar- benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (QS. As-Syura, 42: 52)
Keempat, memperoleh karunia mushahabatul akhyari fil jannah (berkumpul bersama orang-orang pilihan di surga)
وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا
“Dan barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah, yaitu : Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (QS. An-Nisa, 4: 69)
Allah Ta’ala akan membalas orang-orang yang taat kepada-Nya dan kepada rasul-Nya dengan pahala yang sangat besar, yaitu bukan saja sekadar masuk surga, tetapi akan ditempatkan bersama-sama dengan orang-orang yang paling tinggi derajatnya di sisi Tuhan, yaitu Nabi-nabi, para siddiqin (orang-orang yang benar/teguh keimanannya), para syuhada (orang-orang yang mati syahid) dan orang-orang yang saleh.
Keenam, memperoleh asy-syafa’ah (syafa’at) di akhirat kelak.
Syafa’at menurut istilah, yaitu التَوَسُّطُ لِلْغَيْرِ بِجَلْبِ مَنفَعَةٍ اَو دَفْعِ مَضَرَّةٍ, menolong orang lain dengan tujuan menarik manfaat dan menolak bahaya.[1]
Jadi, orang yang mendapat syafaat maksudnya adalah orang yang mendapat rekomendasi perlindungan, keselamatan, dan pembelaan di akhirat kelak dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan seizin Allah Ta’ala,
اللَّه لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ لَا تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلَا نَوْمٌ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلَّا بِإِذْنِهِ
“Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya…” (QS. Al-Baqarah, 2: 255)
Di hari kiamat nanti Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam akan memberikan syafa’at kepada orang-orang yang mau mengikuti ajaran tauhid; yaitu mereka yang tidak menyekutukan Allah Ta’ala dengan sesuatu apa pun.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِكُلِّ نَبِيٍّ دَعْوَةٌ مُسْتَجَابَةٌ فَتَعَجَّلَ كُلُّ نَبِيٍّ دَعْوَتَهُ وَإِنِّي اخْتَبَأْتُ دَعْوَتِي شَفَاعَةً لِأُمَّتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَهِيَ نَائِلَةٌ إِنْ شَاءَ اللَّهُ مَنْ مَاتَ مِنْ أُمَّتِي لَا يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا
Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ”Bagi setiap nabi ada doa yang dikabulkan, dan setiap nabi bersegera berdoa agar dikabulkan. Akan tetapi aku simpan doaku untuk dapat memberikan syafa’at kepada umatku pada hari Kiamat. Dan sesungguhnya, syafa’atku ini akan diperoleh, insya Allah, bagi orang yang mati dari umatku dalam keadaan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun”. [HR Muslim, no.199].
Bahkan orang-orang muslim yang berbuat dosa besar, tapi mereka tidak mati dalam keadaan menyekutukan Allah Ta’ala, juga akan mendapatkan syafa’at dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda,
شَفَاعَتِي لِأَهلِ الكَبَائِرِ مِن أُمَّتِي
“Syafa’atku akan diberikan kepada orang yang berbuat dosa besar dari umatku”. (HR Ahmad, 3/213. Hadits ini shahih).
Ketujuh, memperoleh nadharatul wajhi (keceriaan wajah) di akhirat kelak. Hal ini disebabkan karena ketika dunia ia termasuk golongan orang-orang yang taat kepada Allah dan rasul-Nya,
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ
“Wajah-wajah (orang-orang mu’min) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat.” (QS. Al-Qiyamah, 75: 22-23)
Wajah orang-orang mu’min saat itu begitu ceria karena mereka dapat melihat wajah Allah Ta’ala. Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَمَا إِنَّكُمْ سَتُعْرَضُوْنَ عَلَى رَبِّكُمْ فَتَرَوْنَ رَبَّكُمْ كَمَا تَرَوْنَ هَذَا الْقَمَرَ
“Ketahuilah, sesungguhnya kalian akan di hadapkan kepada Rabb kalian, maka kalian akan melihat Rabb kalian sebagaimana kalian melihat bulan ini.” (HR Muslim).
Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Artinya kalian akan melihat Allah secara nyata, tidak ada keraguan dalam melihatNya, dan tidak pula ada kesulitan padanya. Seperti halnya kalian melihat bulan (purnama) ini secara nyata, tidak ada kesulitan dalam melihatnya. Yang diserupakan disini adalah cara melihatnya, bukan Allah diserupakan dengan bulan.” [2]
Kedelapan, memperoleh karunia mujawaratur rasul (berdampingan dengan rasul).
Mereka yang ittiba’ kepada rasul akan memperoleh karunia yang sangat agung, yakni berdampingan dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di surga kelak. Diantaranya adalah:
- Orang-orang yang taat kepadanya.
وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا
“Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu : para nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang shalih. dan mereka Itulah teman yang sebaik-baiknya.” (QS. Al-Nisa’: 69)
- Orang-orang yang mencintainya.
Anas bin Malik berkata: “Kami tidak pernah merasa gembira seperti kegembiraan kami dengan ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
أَنْتَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ
“Engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai (di akhirat kelak).”
Kemudian Anas berkata: “Sungguh saya mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar dan Umar dan berharap agar saya bisa bersama mereka (di akhirat kelak) disebabkan cintaku terhadap mereka, walaupun saya tidak beramal seperti amalan mareka.” (HR. Bukhari)
- Orang-orang yang memperbanyak shalat sunnah.
Dari Rabi’ah bin Ka’ab al-Aslami radhiyallahu’anhu, beliau berkata,
كُنْتُ أَبِيتُ مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَأَتَيْتُهُ بِوَضُوئِهِ وَحَاجَتِهِ ، فَقَالَ لِي : سَلْ ، فَقُلْتُ : أَسْأَلُكَ مُرَافَقَتَكَ فِي الْجَنَّةِ ، قَالَ : أَوْ غَيْرَ ذَلِكَ ، قُلْتُ : هُوَ ذَاكَ ، قَالَ : فَأَعِنِّي عَلَى نَفْسِكَ بِكَثْرَةِ السُّجُودِ
“Aku pernah bermalam bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu aku menyiapkan air wudhu` dan keperluan beliau. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku, ‘Mintalah sesuatu!’ Maka sayapun menjawab, ‘Aku meminta kepadamu agar memberi petunjuk kepadaku tentang sebab-sebab agar aku bisa menemanimu di Surga’. Beliau menjawab, ‘Ada lagi selain itu?’. ‘Itu saja cukup ya Rasulullah’, jawabku. Maka Rasulullah bersabda, ‘Jika demikian, bantulah aku atas dirimu (untuk mewujudkan permintaanmu) dengan memperbanyak sujud (dalam shalat)‘” (HR. Muslim).
- Orang-orang yang berakhlak mulia.
Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘slaihi wasallam bersabda:
إِنَّ مِنْ أَحَبِّكُمْ إِلَيَّ وَأَقْرَبِكُمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَحَاسِنَكُمْ أَخْلَاقًا
“Sesungguhnya orang yang paling saya cintai dan paling dekat majelisnya denganku di antara kalian hari kiamat kelak (di surga) adalah yang paling baik akhlaknya…”. (HR. Al-Tirmidzi dinyatakan shahih oleh Syaikh Al-Albani)
- Orang-orang yang memperbanyak shalawat.
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
أَوْلَى النَّاسِ بِي يَوْمَ القِيَامَةِ أَكْثَرُهُمْ عَلَيَّ صَلاَةً
“Manusia yang paling utama (dekat) denganku hari kiamat kelak adalah yang paling banyak bershalawat atasku.” (HR. Al-Tirmidzi, dan disebutkan oleh Imam Bukhari dalam Adabul Mufrad)
- Orang-orang yang merawat, menyantuni dan membantu anak yatim.
Diriwayatkan dari Sahl bin Sa’d radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
أَنَا وَكَافِلُ الْيَتِيمِ فِي الْجَنَّةِ هَكَذَا
“Saya dan orang yang merawat anak yatim di surga kelak seperti ini,” seraya beliau mengisyaratkan jari tengah dan telunjuknya lalu merenggangkan keduanya.” (HR. Muttafaq ‘Alaih)
- Orang-orang yang mendidik anak-anak wanita menjadi shalihah.
Imam Bukhari meriwayatkan dalam al-Adab al-Mufrad, dari Anas radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda:
مَنْ عَالَ جَارِيَتَيْنِ حَتَّى تدركَا، دَخَلْتُ أَنَا وَهُوَ فِي الْجَنَّةِ كَهَاتَيْنِ
“Barangsiapa yang memelihara (mendidik) dua wanita sampai mereka dewasa, maka saya akan masuk surga bersamanya di surga kelak seperti ini”, beliau mengisyaratkan jari telunjuk dan jari tengahnya. (Imam Muslim juga meriwayatkan serupa dalam Shahihnya)
- Orang-orang yang memperbanyak do’a agar didekatkan dengan Nabi di akhirat kelak.
Salah satu doa yang dipanjatkan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu adalah sebagai berikut.
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ إِيمَانًا لَا يَرْتَدُّ، وَنَعِيمًا لَا يَنْفَدُ، وَمُرَافَقَةَ مُحَمَّدٍ فِي أَعْلَى جَنَّةِ الْخُلْدِ
“Ya Allah saya meminta kepada-Mu keimanan yang tidak akan berubah dengan kemurtadan, kenikmatan yang tiada putus, dan (aku memohon kepada-Mu) agar menjadi pendamping Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam di derajat tertinggi dari surga yang kekal.” (HR. Ahmad dengan sanad shahih. Syaikh Al-Albani menyatakan isnadnya hasan).
Kesembilan, memperoleh izzatun nafs (kemuliaan jiwa).
Dengan ber-ittiba’ kepada nabi, seseorang akan memperoleh kekuatan jiwa, kehormatan, martabat, dan kedudukan yang tinggi atas dasar iman.
Allah Ta’ala berfirman,
وَلَا تَهِنُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَنْتُمُ الْأَعْلَوْنَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. Ali Imran, 3: 139)
وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ
“…padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang mu’min…” (QS. Al-Munafiqun, 63: 8)
Oleh karena izzah Islam inilah prajurit biasa seperti Rib’i bin Amir radhiyallahu ‘anhu mampu berkata di hadapan panglima perang Persia Rustum dengan sebuah kalimat yang menggetarkan,
اللَّهُ ابْتَعَثْنَا لِنُخْرِجَ مَنْ شَاءَ مِنْ عِبَادَةِ الْعِبَادِ إِلَى عِبَادَةِ اللَّهِ، وَمِنْ ضِيقِ الدُّنْيَا إِلَى سِعَتِهَا، وَمِنْ جَوْرِ الْأَدْيَانِ إِلَى عَدْلِ الْإِسْلَامِ
“Allah telah membangkitkan kami untuk mengeluarkan siapa pun yang mau, dari penghambaan kepada manusia menuju penghambaan kepada Allah semata; dari sempitnya dunia menuju kelapangannya, dan dari keculasan agama-agama menuju keadilan Islam”.(Bidayah wa nihayah, Ibnu Katsir [9/622])
Kesepuluh, memperoleh al-falah (keberuntungan), yakni keselamatan, kemenangan, dan keberhasilan yang besar di akhirat berupa surga abadi.
إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Sesungguhnya jawaban orang-orang mu’min, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. ‘Kami mendengar, dan kami patuh’. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. An-Nur, 24: 51)
Jadi kesimpulannya, hasil yang akan diperoleh oleh orang-orang yang beriman dan ber-ittiba’ kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah as-sa’adah (kebahagiaan); fid dunya (di dunia) wal akhirah (dan di akhirat).
Wallahu a’lam.
Catatan Kaki:
[1] dijelaskan oleh Syaikh Utsaimin dalam Syarah Lum’atul I’tiqad, hlm. 128
[2] Syarh Shahih Muslim, Nawawi, hlm. 136-137