(Pengaruh-pengaruh Positif Ibadah)
Ibadah kepada Allah Ta’ala hendaknya tidak sekedar dipahami sebagai praktek ritual belaka. Ia harus memiliki pengaruh-pengaruh positif ke dalam jiwa manusia yakni tumbuhnya ketundukan dan kepasrahan kepada-Nya. Dengan kata lain, suatu amalan ibadah dapat disebut sebagai ibadah yang baik, benar, utuh, atau sempurna (al-‘ibadatus salimah) jika membawa pengaruh-pengaruh yang positif pada jiwa, yaitu:
Pertama, semakin teguhnya keimanan (al-iman).
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي نَزَّلَ عَلَى رَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي أَنْزَلَ مِنْ قَبْلُ
“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya…” (QS. An-Nisa, 4: 136)
Ayat ini berisi seruan kepada mu’minin agar mereka istiqamah dalam keimanan. Diantara sarana peneguhan keimanan itu adalah ibadah kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman,
يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ وَيُضِلُّ اللَّهُ الظَّالِمِينَ وَيَفْعَلُ اللَّهُ مَا يَشَاءُ
“Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ‘ucapan yang teguh’ dalam kehidupan di dunia dan di akhirat, dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki” (QS. Ibrahim, 14:27).
Ketika menafsirkan ayat ini Imam Qatadah berkata, “Adapun dalam kehidupan dunia, Allah meneguhkan iman mereka dengan perbuatan baik (ibadah) dan amal shaleh (yang mereka kerjakan)”[1]
Maka seharusnya semakin banyak beribadah, semakin teguhlah keimanan kita kepada Allah Ta’ala.
Kedua, semakin kuatnya penyerahan diri dan ketundukkan kita kepada Allah Ta’ala (al-Islam).
Di saat kita melakukan ibadah, hakikatnya, saat itu kita sedang melakukan kristalisasi kesadaran diri terhadap keagungan Allah Ta’ala (as-syu’ur bi ‘adzhamatillah) dan banyaknya nikmat yang diberikan oleh-Nya kepada kita (as-syu’ur bi katsrati ni’amillah). Maka, semakin banyak beribadah seharusnya semakin kuatlah syu’ur (perasaan kesadaran) kita tersebut dan semakin berserah dirilah kita kepada-Nya.
Renungkanlah firman Allah Ta’ala berikut ini,
اللَّهُ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ قَرَارًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَصَوَّرَكُمْ فَأَحْسَنَ صُوَرَكُمْ وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ ذَلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمْ فَتَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
“Allah-lah yang menjadikan bumi bagi kamu tempat menetap dan langit sebagai atap, dan membentuk kamu lalu membaguskan rupamu serta memberi kamu rezki dengan sebahagian yang baik-baik. Yang demikian itu adalah Allah Tuhanmu, Maha Agung Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al-Mu’min, 40: 64)
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ مَاءٍ فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيهَا مِنْ كُلِّ دَابَّةٍ وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian malam dan siang, serta bahtera yang berjalan di lautan yang bermanfaat bagi manusia, dan apa yang telah Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.” (QS. Al-Baqarah, 2: 164).
Ketiga, memperkokoh ihsan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang ihsan.
أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
“Kamu beribadah kepada Allah seakan-akan kamu melihatNya; jika kamu tidak dapat melihatNya maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR. Bukhari-Muslim)
Jadi, ibadah kita akan dianggap baik, benar, utuh, dan sempurna jika ihsan kita semakin kuat, yakni semakin kokohnya kesadaran akan muraqabatullah (pengawasan dari Allah) dalam diri.
Keempat, memperkuat sikap al-ikhbat (ketundukkan) kepada Allah.
Tujuan beribadah kepada Allah Ta’ala adalah menunjukkan al-ikhbat (ketundukkan) kepada-Nya. Allah Ta’ala befirman,
فَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَلَهُ أَسْلِمُوا وَبَشِّرِ الْمُخْبِتِينَ
“Maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. Dan, berilah kabar gembira kepada orang-orang yang merendahkan diri (kepada Allah).” (Al-Hajj, 22: 34).
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَأَخْبَتُوا إِلَى رَبِّهِمْ أُولَئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal shalih dan merendahkan diri kepada Rabb mereka, mereka itu adalah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya.” (QS. Hud, 11: 23).
Ikhbat menurut pengertian bahasa artinya permukaan tanah yang rendah. Atas dasar pengertian bahasa ini pula Ibnu Abbas radhiyallahu anhu dan Qatadah mengartikan lafazh mukhbitin di dalam Al-Qur’an sebagai orang-orang yang merendahkan diri.
Sedangkan menurut Mujahid, mukhbit artinya orang yang hatinya merasa tenang bersama Allah. Karena menurut pendapatnya, khabtu artinya tanah yang stabil. Menurut Al-Akhfasy, mukhbitin artinya orang-orang yang khusyu’. Menurut Ibrahim An-Nakha’y, artinya orang-orang yang shalat dan ikhlas. Menurut Al-Kalby, artinya orang-orang yang hatinya lembut. Menurut Amr bin Aus, artinya orang-orang yang tidak berbuat zhalim, dan jika dizhalimi tidak membalas.
Pendapat-pendapat tentang lafazh mukhbitin ini berkisar pada dua makna, yaitu merendahkan diri, dan merasa tenang terhadap Allah. Karena itu lafazh ini disertai dengan kata ila (kepada), sebagai jaminan terhadap pengertian ketenangan dan ketundukan kepada Allah.[2]
Kelima, meneguhkan tawakkal kepada-Nya.
Allah Ta’ala berfirman,
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. At-Thalaq, 65 : 3)
Mengenai tawakkal ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda,
لَوْ أَنَّكُمْ تَتَوَكَّلُوْنَ عَلَى اللهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ ، تَغدُوْ خِمَاصًا ، وتَرُوْحُ بِطَانًا
“Seandainya kalian bertawakkal kepada Allah dengan sungguh-sungguh tawakkal kepada-Nya, sungguh kalian akan diberikan rizki oleh Allah sebagaimana Dia memberikan rizki kepada burung. Pagi hari burung tersebut keluar dalam keadaan lapar dan pulang di sore hari dalam keadaan kenyang.” (HR. Ahmad)
Al-Allamah Al Munawi mengatakan, “Tawakkal adalah menampakkan kelemahan serta penyandaran (diri) kepada yang ditawakkali.” (Faidhul Qadir, 5/311).
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma mengatakan bahwa tawakkal bermakna percaya sepenuhnya kepada Allah Ta’ala.
Imam Ahmad mengatakan, “Tawakkal berarti memutuskan pencarian disertai keputus-asaan terhadap makhluk.”
Al Hasan Al Bashri pernah ditanya tentang tawakkal, maka beliau menjawab, “Ridho kepada Allah Ta’ala”.
Ibnu Rajab Al Hanbali mengatakan, “Tawakkal adalah bersandarnya hati dengan sebenarnya kepada Allah Ta’ala dalam memperoleh kemashlahatan dan menolak bahaya, baik urusan dunia maupun akhirat secara keseluruhan.”
Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, “Tawakkal yaitu memalingkan pandangan dari berbagai sebab setelah sebab disiapkan.” [3]
Semua sikap itu akan muncul dalam diri jika kita beribadah dengan benar kepada-Nya.
Keenam, melahirkan al-mahabbah (kecintaan) kepada Allah Ta’ala.
Salah satu tuntutan ibadah kepada Allah Ta’ala adalah lahirnya al-mahabbah kepada-Nya di atas segalanya. Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ إِنْ كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
“Katakanlah: ‘Jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS. At-Taubah, 9: 24)
Maka, tidaklah dianggap ibadah yang baik, benar, utuh, dan sempurna jika ibadah yang kita lakukan tidak melahirkan keindahan dan kenikmatan mahabbah kepada-Nya. Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلَاوَةَ الْإِيْمَانِ: أَنْ يَكُونَ اللهُ وَرَسُولُهُ أحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سَوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إلاَّ لِلهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ بَعْدَ أَنْ أَنْقَذَهُ اللهُ مِنْهُ، كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
“Tiga sifat yang jika ada pada diri seseorang, ia akan meraih manisnya iman: (1) Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dari selain keduanya, (2) Ia mencintai seseorang, tidaklah mencintainya melainkan karena Allah, (3) Ia membenci untuk kembali kepada kekafiran -setelah Allah menyelamatkannya darinya- sebagaimana ia benci apabila dilempar ke dalam api.” (Hadits Muttafaq ‘Alaihi)
Sebagian salaf berkata,
مَسَاكِيْنُ أَهْلِ الدُّنْيَا خَرَجُوا مِنْهَا وَمَا ذَاقُوا أَطْيَبَ مَا فِيهَا. قِيلَ: وَمَا أَطْيَبُ مَا فِيهَا؟ قَالَ: مَحَبَّةُ اللهِ وَمَعْرِفَتُهُ وَذِكْرُهُ
“Sesungguhnya orang-orang miskin dari ahli dunia adalah mereka yang meninggalkan dunia, namun belum merasakan apa yang terlezat di dunia.” Ditanya, “Kenikmatan apakah yang paling lezat di dunia?” Dijawab, “Kecintaan kepada Allah, mengenal-Nya dan mengingat-Nya.”
Ketujuh dan kedelapan, menguatnya khauf (rasa takut) dan raja’ (pengharapan) kepada Allah Ta’ala.
Peribadahan yang benar akan memunculkan khauf (rasa takut) dan raja’ (pengharapan), yakni rasa khawatir dan harap-harap cemas terhadap murka dan kasih sayang Allah Ta’ala kepada kita.
Khauf dan Raja’ ini hendaknya tumbuh seimbang dalam diri seorang muslim. Jangan sampai khauf menyebabkan manusia putus asa dari rahmat dan ampunan Allah Ta’ala, dan jangan sampai raja’ menyebabkan manusia menganggap remeh ancaman dan siksa-Nya,
لَوْ يَعْلَمُ اْلمُؤْمِنُ مَا عِنْدَ اللهِ مِنَ الْعُقُوْبَةِ ، مَا طَمِعَ بِجَنَّتِهِ أَحَدٌ ، وَلَوْ يَعْلَمُ الْكَافِرُ مَا عِنْدَ اللهِ مِنَ الرَّحْمَةِ ، مَا قَنَطَ مِنْ جَنَّتِهِ أَحَدٌ
“Seandainya seorang mukmin mengetahui siksa yang ada di sisi Allah, maka dia tidak akan berharap sedikitpun untuk masuk syurga. Dan seandainya orang kafir mengetahui rahmat yang ada di sisi Allah, maka dia tidak akan berputus asa sedikitpun untuk memasuki Syurga-Nya.” (HR. Muslim)
Kesembilan, menumbuhkan sikap at-taubah (taubat) kepada Allah Ta’ala.
Menurut bahasa, At-taubah berarti ar-rujuu’ (kembali). Sedangkan menurut istilah, taubat adalah kembali dari kondisi jauh dari Allah Ta’ala menuju kedekatan kepada-Nya. Atau juga berarti, pengakuan atas dosa, penyesalan, berhenti, dan tekad untuk tidak mengulanginya kembali di masa datang.
Sarana kita untuk kembali dan mendekat kepada Allah Ta’ala adalah dengan beribadah kepada-Nya. Maka, jika kita senantiasa beribadah kepada-Nya, akan tumbuhlah suasana taubat dalam keseharian kita. Sikap taubat inilah diantaranya yang menjadi ciri orang-orang yang sempurna keimanannya. Allah Ta’ala berfirman,
التَّائِبُونَ الْعَابِدُونَ الْحَامِدُونَ السَّائِحُونَ الرَّاكِعُونَ السَّاجِدُونَ الْآمِرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّاهُونَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَالْحَافِظُونَ لِحُدُودِ اللَّهِ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ
“Mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, yang beribadat, yang memuji, yang melawat, yang ruku’, yang sujud, yang menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah berbuat munkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah. Dan gembirakanlah orang-orang mu’min itu.” (QS. At-Taubah, 9: 112)
Kesepuluh, membiasakan ad-du’a (menyeru/memohon) kepada Allah Ta’ala.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الدُّعَاءُ مُخُّ الْعِبَادَةِ
“Doa adalah inti ibadah“. (HR. Tirmidzi) [4]
Di dalam “Tuhfatul Ahwadzi bi Syarhi Jami’ at-Tirmidzi” terdapat penjelasan bahwa doa itu disebut sebagai inti dari sebuah ibadah sebab orang yang berdo’a hakikatnya adalah sedang memohon kepada Allah ketika harapan kepada selain-Nya sudah terputus. Dan hal itu merupakan hakikat tauhid (pengesaan Allah) dan keikhlasan (kemurnian aqidah), dan tidak ada ibadah yang melebihi derajat keduanya.
Dalam hadits lain disebutkan,
الدُّعَاءُ هُوَ العِبَادَةُ
“Do’a adalah sesuatu yang sangat mendasar dalam ibadah” (HR. Abu Dawud)
Maka, jika kita membiasakan diri beribadah kepada-Nya dengan benar, maka akan terbiasalah kita menyeru dan memohon kepada-Nya. Dengan begitu kita tidak akan termasuk ke dalam golongan orang-orang yang menyombongkan diri kepada-Nya.
Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ
“Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk Jahannam dalam keadaan hina dina.” (QS. Al-Mu’min, 40: 60)
Sebagian mufassir mengatakan bahwa makna ‘an ‘ibadatiy (dari menyembah-Ku) dalam ayat di atas adalah ‘an du’aiy (dari berdoa kepada-Ku).
Kesebelas, terwujudnya sikap khusyu’ (lembut, tenang, tunduk, dan kerendahan diri di hadapan Allah Ta’ala).
Secara bahasa khusyu’ berarti as-sukuun (diam/tenang) dan at-tadzallul (merendahkan diri). Sifat mulia ini bersumber dari dalam hati yang kemudian pengaruhnya terpancar pada anggota badan manusia.
Imam Ibnu Rajab berkata: “Asal (sifat) khusyu’ adalah kelembutan, ketenangan, ketundukan, dan kerendahan diri dalam hati manusia (kepada Allah Ta’ala). Tatkala Hati manusia telah khusyu’ maka semua anggota badan akan ikut khusyu’, karena anggota badan (selalu) mengikuti hati, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam: ‘Ketahuilah, sesungguhnya dalam tubuh manusia ada segumpal daging, jika segumpal daging itu baik maka akan baik seluruh tubuh manusia, dan jika segumpal daging itu buruk maka akan buruk seluruh tubuh manusia, ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati manusia’”.
Maka jika hati seseorang khusyu’, pendengaran, penglihatan, kepala, wajah dan semua anggota badannya ikut khusyu’, (bahkan) semua yang bersumber dari anggota badannya”[5]
Allah Ta’ala menyebut orang-orang yang khusyu’ di antaranya dalam firman-Nya berikut ini,
وَاسْتَعِينُواْ بِالصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلاَّ عَلَى الْخَاشِعِينَ الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُم مُّلاَقُو رَبِّهِمْ وَأَنَّهُمْ إِلَيْهِ رَاجِعُونَ
“Dan mintalah pertolongan (kepada) Allah dengan sabar dan sholat. Dan sesungguhhya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’ , (yaitu) orang-orang yang menyakini, bahwa mereka akan menemui Rabb-nya dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.” (QS. Al-Baqarah, 2 : 45 -46)
إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ وَالصَّابِرِينَ وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَاتِ وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّائِمِينَ وَالصَّائِمَاتِ وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا
“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mu’min, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam keta’atannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar” (QS. Al-Ahzab, 33: 35).
Dari uraian poin-poin di atas dapat disimpulkan bahwa al-‘ibadatus salimah (ibadah yang benar) akan menghasilkan pengaruh-pengaruh yang positif pada jiwa kita, yakni tertanamnya at-taqwa (ketakwaan).
Catatan Kaki:
[1] Lihat: Tafsir Ibnu Katsir
[2] Lihat: Merendahkan Diri (Ikhbat), www.fimadani.com
[3] Lihat: https://muslim.or.id/30-tawakkal.html
[4] Syaikh Al-Albani mendhaifkan hadits ini.
[5] https://muslim.or.id/13989-meraih-khusyu-dalam-ibadah-1.html
2 comments
Alhamdulillaah.. Hatur nuhun Ustadz. Semoga istiqamah. Aamiin