Sejak Kapan Shaum/Puasa Ramadhan Diwajibkan?
Telah diketahui secara pasti bahwa puasa Ramadhan adalah wajib berdasarkan Al Quran (Q.S. Al Baqarah (2): 183), Al Hadits, dan Ijma. Telah masyhur pula bahwa puasa Ramadhan diwajibkan sejak tahun kedua hijriyah, dan sepanjang hayat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam hanya menjalankan sembilan kali puasa Ramadhan. Dalam sejarah Islam, pewajiban puasa pun tidak langsung, melainkan diberikan anjuran puasa sebagai memberikan pengalaman dan pembiasaan.
Berkata Syaikh Ibnu Al Utsaimin rahimahullah:
وحكمه: الوجوب بالنص والإجماع. ومرتبته في الدين الإسلامي: أنه أحد أركانه، فهو ذو أهمية عظيمة في مرتبته في الدين الإسلامي. وقد فرض الله الصيام في السنة الثانية إجماعاً، فصام النبي صلّى الله عليه وسلّم تسع رمضانات إجماعاً، وفرض أولاً على التخيير بين الصيام والإطعام؛ والحكمة من فرضه على التخيير التدرج في التشريع؛ ليكون أسهل في القبول؛ كما في تحريم الخمر
“Hukumnya adalah wajib berdasarkan nash (teks Al Quran dan Al Hadits) dan ijma’. Kedudukannya dalam agama Islam adalah dia sebagai salah satu rukun Islam yang memiliki urgensi yang agung dalam Islam. Telah ijma bahwa Allah mewajibkan puasa pada tahun kedua, dan ijma pula bahwa puasanya Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam adalah sembilan kali Ramadhan. Pertama kali diwajibkan adalah sebagai takhyir (pemberian opsi) antara puasa dan makan, hikmah dari pewajiban dengan cara ini adalah sebagai pentahapan dalam pensyariatannya agar lebih mudah diterima, sebagaimana dalam pengharaman khamr.” (Syarhul Mumti , 6/298. Mawqi Ruh Al Islam)
Rukun Shaum/Puasa
Puasa ada dua rukun. Pertama, menahan diri dari yang membatalkan puasa sejak terbit fajar hingga tenggelam matahari. Kedua, niat untuk puasa. Niat dilakukan paling lambat sebelum terbit fajar. (Lengkapnya lihat: Fiqhus Sunnah, 1/437)
Niat, bagaimanakah itu?
Definisinya Secara lughah, niat adalah al-Qashdu (maksud/kehendak) dan al-Azm (tekad/kemauan kuat) untuk melakukan sesuatu. (Imam Ibnul Qayyim, Ighatsatul Lahfan, Hal. 136)
Dalam Al Mausu’ah disebutkan, makna niat secara mutlak adalah al-Qashdu. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 2/287).
Dia juga bermakna al-Hifzhu (penjagaan), nawallahu fulanan, yaitu Allah menjaganya (Hafizhahu). (Al Mausu’ah, 42/59).
Makna secara syariat, hakikat niat adalah kehendak (al-Iradah) yang terarah pada sebuah perbuatan untuk mencari ridha Allah Ta’ala dengan menjalankan hukumNya. (Fiqhus Sunnah, 1/42. Al Mausuah, 2/287. Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 1/137).
Menurut fuqaha Hanafiyah, artinya adalah kehendak ketaatan dan mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Kalangan Malikiyah mengatakan kehendak di hati terhadap apa-apa yang dikehendaki manusia untuk dilakukan, itu termasuk pembahasan Al-Uzuum (tekad) dan Al-Iradaat (kehendak), bukan pembahasan ilmu dan aqidah. Kalangan Syafi’iyah mengartikan kehendak terhadap sesuatu yang tersambung dengan perbuatannya. Ada pun fuqaha Hanabilah mengartikan kemauan kuat di hati untuk melakukan ibadah demi mendekatkan diri kepada Allah Taala, menjadikan Allah Taala sebagai tujuannya bukan selainnya (Al Mausu’ah, 42/59-60).
Ada beberapa istilah yang terkait dengan niat, yakni: Al ‘Azm (tekad), bermakna kehendak yang pasti setelah adanya keraguan (Jazmul Iradah ba’da taraddud). Hubungan antara niat dan Al ‘Azm adalah keduanya merupakan marhalah (tahapan/tingkatan) dari kehendak. Al ‘Azm merupakan ism (kata benda) yang lebih dahulu ada sebelum berwujud perbuatan. Sedangkan niat adanya langsung bersambung dengan perbuatan yang dibarengi dengan pengetahuan terhadap apa yang diniatkan.
Al Iradah (kehendak), artinya adalah Ath Thalab (tuntutan), Al Ikhtiyar (daya untuk memilih), dan Al Masyi’ah (kemauan). Jika dikatakan Araada syai’a artinya dia menghendaki sesuatu dan menyukainya.
Secara istilah, Al Iradah adalah sifat yang mesti ada pada sesuatu yang hidup dan terjadinya pada perbuatan, pada satu sisi tidak pada sisi lainnya (Lihat semua dalam Al Mausu’ah, 42/60).
Letak Niat
Niat terletak di hati, demikianlah yang dikatakan semua literatur fiqih, kamus, tradisi dan akal manusia. Kami tidak perlu menyampaikan referensinya sebab hal itu sudah diketahui dengan mudah oleh semua manusia.
Berkata Imam Ibnu Hajar Al Haitami Al Makki:
وَالنِّيَّةُ بِالْقَلْبِ إجْمَاعًا هُنَا وَفِي سَائِرِ مَا تُشْرَعُ فِيهِ لِأَنَّهَا الْقَصْدُ وَهُوَ لَا يَكُونُ إلَّا بِهِ فَلَا يَكْفِي مَعَ غَفْلَتِهِ
(Niat itu di hati) berdasarkan ijma’, dan mesti ada pada setiap amal yang disyariatkan karena niat adalah maksud, dan tidaklah perbuatan dianggap ada kecuali dengan adanya niat, maka tidaklah mencukupi jika melalaikannya. (Tuhfah Al Muhtaj, 5/285).
Mayoritas fuqaha kalangan Hanafiyah, dan ini juga pendapat Malikiyah, dan Syafiiyah, serta Hanabilah, menyatakan bahwa niat adalah syarat sahnya ibadah. Pendapat mayoritas Syafi’iyah menyatakan bahwa niat adalah rukunnya ibadah. Sedangkan kalangan Malikiyah menyatakan bahwa niat adalah fardhu (wajib) ketika wudhu. Berkata Al Mazari: itu adalah pendapat yang lebih terkenal (pada madzhab Maliki). Berkata Ibnu Hajib: itu adalah pendapat yang lebih benar. (Al Asybah wan Nazhair Libni Nujaim, Hal. 20, 24, 52. Al Mawahib Al Jalil, 1/182-230. Adz Dzakhirah, Hal. 235-236. Al Qawaid Al Ahkam, Hal. 175-176. Hasyiah Al Jumal, 1/103. Mughni Muhtaj, 1/148. Al Asybah Wan Nazhair Lis Suyuthi, Hal. 10, 43, 44. Kasyful Qina, 1/85, 313. Al Mughni, 3/91)
Melafazhkan Niat
Ada pun melafazhkan niat, tidak pernah dilakukan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam, para sahabat, dan para tabi’in, bahkan imam empat madzhab. Wacana tentang melafazhkan niat baru ada pada masa pengikut-pengikut mereka. Sejak berabad-abad lamanya, umat Islam mulai dari ulama hingga kaum awamnya, berpolemik tentang melafazhkan niat (At Talafuzh An Niyah), seperti lafazh niat hendak shalat: ushalli fardha subhi rak’ataini mustaqbilal qiblati ada-an lillahi ta’ala, atau lafaz niat hendak wudhu: nawaitu wudhu’a liraf’il hadatsil asghari lillahi ta’ala, atau lafaz niat hendak berpuasa Ramadhan: nawaitu shaama ghadin an ada’i fardhusy syahri Ramadhana haadzihis sanati lillahi ta’ala, dan lainnya. Di negeri ini, kalimat-kalimat ini sering diajarkan dalam pelajaran agama di sekolah-sekolah dasar, umumnya pesantren, dan forum-forum pengajian. Polemik ini bukan hanya terjadi di negeri kita, tapi juga umumnya di negeri-negeri Muslim. Di antara mereka ada yang membid’ahkan, memakruhkan, membolehkan, menyunnahkan, bahkan mewajibkan (namun yang mewajibkan telah dianggap pendapat yang syadz/janggal lagi menyimpang).
Di sisi lain, tidak ada perbedaan pendapat tentang keberadaan niat di hati dalam melaksanakan ibadah. Mereka juga sepakat bahwa melafazhkan niat tidaklah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, para sahabat, dan tabi’in, bahkan imam empat madzhab. Perbedaan mereka adalah dalam hal legalitas pengucapan niat ketika ibadah.
Menurut Pendapat Madzhab
Sebelumnya, mari kita tengok bagaimana pandangan para ulama madzhab tentang melafazhkan niat dalam beribadah ritual. Tertulis dalam Al Mausu’ah:
فَذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ فِي الْمُخْتَارِ وَالشَّافِعِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ فِي الْمَذْهَبِ إِلَى أَنَّ التَّلَفُّظَ بِالنِّيَّةِ فِي الْعِبَادَاتِ سُنَّةٌ لِيُوَافِقَ اللِّسَانُ الْقَلْبَ . وَذَهَبَ بَعْضُ الْحَنَفِيَّةِ وَبَعْضُ الْحَنَابِلَةِ إِلَى أَنَّ التَّلَفُّظَ بِالنِّيَّةِ مَكْرُوهٌ . وَقَال الْمَالِكِيَّةُ بِجَوَازِ التَّلَفُّظِ بِالنِّيَّةِ فِي الْعِبَادَاتِ ، وَالأْوْلَى تَرْكُهُ ، إِلاَّ الْمُوَسْوَسَ فَيُسْتَحَبُّ لَهُ التَّلَفُّظُ لِيَذْهَبَ عَنْهُ اللَّبْسُ
Pendapat kalangan Hanafiyah (pengikut Imam Abu Hanifah) berdasarkan pendapat yang dipilih, dan Syafi’iyah (pengikut imam Asy Syafi’i) serta Hanabilah (Hambaliyah-pengikut Imam Ahmad bin Hambal) menurut pendapat madzhab bahwasanya melafazhkan niat dalam peribadatan adalah SUNNAH, agar lisan dapat membimbing hati. Sebagian Hanafiyah dan sebagian Hanabilah menyatakan bahwa melafazhkan niat adalah MAKRUH. Kalangan Malikiyah (pengikut Imam Malik) mengatakan bolehnya melafazhkan niat dalam peribadatan, namun yang lebih utama adalah meninggalkannya, kecuali bagi orang yang was-was maka baginya dianjurkan untuk melafazhkannya untuk menghilangkan kekacauan dalam pikirannya. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 42/67)
Syaikh Wahbah Az Zuhaili Hafizhahullah menyebutkan:
ولا يشترط التلفظ بها قطعاً، لكن يسن عند الجمهور غير المالكية التلفظ بها لمساعدة القلب على استحضارها، ليكون النطق عوناً على التذكر، والأولى عند المالكية: ترك التلفظ بها ؛ لأنه لم ينقل عن النبي صلّى الله عليه وسلم وأصحابه التلفظ بالنية، وكذا لم ينقل عن الأئمة الأربعة.
“Secara qath’i melafazhkan niat tidaklah menjadi syarat sahnya, tetapi disunnahkan menurut jumhur (mayoritas) ulama -selain Malikiyah- melafazhkannya untuk menolong hati menghadirkan niat, agar pengucapan itu menjadi pembantu dalam mengingat, dan yang lebih utama menurut kalangan Malikiyah adalah meninggalkan pelafazhan niat itu, karena tidak ada riwayat dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya tentang melafazhkan niat, begitu pula tidak ada riwayat dari imam yang empat.” (Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 1/137)
Jadi, secara umum kebanyakan ulama madzhab adalah menyunnahkan melafazhkan niat, ada pun sebagian Hanafiyah dan sebagian Hanabilah memakruhkan. Sedangkan Malikyah membolehkan walau lebih utama meninggalkannya, kecuali bagi orang yang was-was maka dianjurkan mengucapan niat untuk mengusir was-was tersebut. Sedangkan para imam perintis empat madzhab, tidak ada riwayat dari mereka tentang pensyariatan melafazhkan niat.
Pandangan Para Imam Kaum Muslimin
Berikut adalah pandangan para ulama yang mendukung pelafazhan niat, baik yang menyunnahkan atau membolehkan.
Imam Muhammad bin Hasan rahimahullah, kawan sekaligus murid Imam Abu Hanifah Rahimahullah. Beliau mengatakan:
النِّيَّةُ بِالْقَلْبِ فَرْضٌ ، وَذِكْرُهَا بِاللِّسَانِ سُنَّةٌ ، وَالْجَمْعُ بَيْنَهُمَا أَفْضَل
“Niat di hati adalah wajib, menyebutnya di lisan adalah sunnah, dan menggabungkan keduanya adalah lebih utama.” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 42/100)
Imam Ibnu Hajar Al Haitami Al Makki Rahimahullah Beliau mengatakan:
وَيَنْدُبُ النُّطْقُ بِالْمَنْوِيِّ ( قُبَيْلَ التَّكْبِيرِ ) لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ الْقَلْبَ وَخُرُوجًا مِنْ خِلَافِ مَنْ أَوْجَبَهُ وَإِنْ شَذَّ وَقِيَاسًا عَلَى مَا يَأْتِي فِي الْحَجِّ
“(Disunnahkan mengucapkan) dengan apa yang diniatkan (sesaat sebelum takbir) agar lisan membantu hati dan keluar dari khilaf (perbedaan pendapat) dengan kalangan yang mewajibkan, walaupun yang mewajibkan ini adalah pendapat yang syadz (janggal), sunnahnya ini diqiyaskan dengan apa yang ada pada haji (yakni pengucapan kalimat talbiyah, pen).” (Tuhfah Al Muhtaj, 5/285)
Imam Syihabuddin Ar Ramli rahimahullah mengatakan:
ويندب النطق بالمنوي قبيل التكبير ليساعد اللسان القلب ولأنه أبعد عن الوسواس وللخروج من خلاف من أوجبه
“Dianjurkan mengucapkan apa yang diniatkan sesaat sebelum takbir untuk membantu hati, karena hal itu dapat menjauhkan was-was dan untuk keluar dari perselisihan pendapat dengan pihak yang mewajibkannya.” (Nihayatul Muhtaj, 1/457. Darul Fikr)
Imam Al Bahuti rahimahullah mengatakan ketika membahas niat dalam shalat:
وَمَحَلُّهَا الْقَلْبُ وُجُوبًا وَاللِّسَانُ اسْتِحْبَابًا
“Tempatnya niat adalah di hati sebagai hal yang wajib, dan disukai (sunnah) diucapkan lisan …” (Kasyful Qina’, 2/442. Mawqi Islam)
Selanjutnya: