Mukaddimah
Senin, 12 Rabi’ul Awwal, 11 Hijriyah. Kepergian Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan kesedihan mendalam di hati umat Islam. Kaum muslimin mulai memikirkan siapakah kini yang paling layak memimpin mereka? Tak ada seorang pun yang merasa yakin, karena sang Nabi pergi tanpa meninggalkan wasiat tentang siapa yang layak menjadi Sang Pengganti.
Dua Arus Pandangan Umat
Baik Muhajirin maupun Anshar merasa bahwa kelompok merekalah yang paling layak melanjutkan kepemimpinan. Memang tidak ada yang bisa memungkiri keistimewaan masing-masing kelompok ini:
- Muhajirin adalah orang yang paling awal mengikuti Rasulullah; mereka berjuang mendampingi Rasulullah menegakkan kebenaran; mereka berhijrah meninggalkan harta dan sanak keluarga demi tegaknya keagungan Islam.
- Anshar adalah penolong Rasulullah; mereka mengorbankan harta, jiwa dan raga tanpa rasa segan dan tanpa penyesalan; berkat ketulusan mereka dakwah Islam menyebar ke seantero Jazirah
Saqifah Bani Sa’idah
Beberapa saat setelah Rasulullah wafat, kaum Anshar berkumpul di saqifah (aula) Bani Sa’idah. Mereka menghendaki kepemimpinan umat dibagi menjadi dua, untuk Muhajirin dan Anshar. Langkah pertama, mereka memilih Sa’ad ibn Ubadah, pemimpin suku Khazraj, sebagai pemimpin Anshar. Kemudian mereka mengabarkan kepada kaum Muhajirin agar menunjuk salah seorang di antara mereka sebagai pemimpin kaum Muhajirin.
Ketika mendengar berita ini, beberapa kaum muhajirin segera pergi ke saqifah Bani Sa’adah.Saat mereka datang, pada saat itu Sa’ad ibn Ubadah tengah berbicara. Dari kalangan Muhajirin yang hadir adalah Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Abu Bakar menahan Umar agar tidak berbicara dan menyanggah Sa’ad ibn Ubadah yang saat itu menyampaikan bahwa mereka berhak atas kekhalifahan.
Abu Bakar saat itu bangkit dan berkata dengan lembut dan santun: “Kebaikan yang kalian sebut tentang Anshar sama sekali tidak salah. Namun ketahuilah, kekhalifahan paling layak dipegang oleh seorang Quraisy yang mulia. Ia adalah seorang Arab yang mulia dati sisi keturunan dan keluarga. Sungguh aku ridha jika kekhalifahan dipegang oleh salah seorang dari dua orang mulia ini. Berbaiatlah kepada salah seorang di antara keduanya,” Abu Bakar memegang tangan Umar bin Khattab dan Abu Ubaidah ibn al-Jarrah yang duduk di sampingnya.
Umar berkata: “Sungguh aku menyukai ucapan Abu Bakar kecuali bagian tentang diriku. Demi Allah, seandainya saat ini aku dibunuh dan mati, itu lebih kusukai dibanding harus memimpin suatu kaum yang di dalamnya ada Abu bakar.”
Sa’ad ibn Ubadah berkata: “Aku menyetujui ucapannya. Namun lebih baik jika masing-masing kita memilih seorang pemimpin. Dari kami seorang pemimpin dan dari Muhajirin seorang pemimpin.”
Usulan ini disambut suara riuh hadirin. Di tengah keramaian itu Umar bin Khattab berteriang lantang, “Hai Abu Bakar, bentangkan tanganmu!” Umar langsung membaiatnya. Orang-orang diam terkesima sekejap. Tindakan Umar itu langsung diikuti kaum muhajirin dan diikuti pula oleh kaum Anshar.
Abu Bakar menunduk dan berkata kepada Sa’ad ibn Ubadah, “Engkau mengetahui bahwa Rasulullah bersabda, ‘Seandainya manusia menempuh jalan dan kaum Anshar menempuh jalan yang lain, tentu aku akan menempuh jalan kaum Anshar.’ Engkau juga tahu wahai Sa’ad bahwa Rasulullah bersabda dan ketika itu engkau duduk, ‘Quraisy adalah pemimpin umat ini. Orang baik adalah orang yang mengikuti orang terbaik di antara mereka, dan orang yang jahat adalah yang mengikuti orang terjahat di antara mereka.’”
Sa’ad berkata, “Engkau benar. Kami adalah penolong, dan kalian adalah pemimpin.”[1]
Pidato Pertama Abu Bakar sebagai Khalifah
Keesokan harinya Abu Bakar dibaiat oleh orang-orang di masjid. Kemudian setelah memuji Allah dan mengagungkan nama-Nya, ia berkata:
“Wahai manusia, aku dipilih sebagai pemimpin kalian, dan aku bukanlah yang terbaik di antara kalian. Jika aku berbuat baik, ikutilah aku. Jika berbuat buruk, luruskanlah aku. Kejujuran adalah amanat dan kebohongan adalah khianat. Seorang yang lemah di antara kalian adalah orang yang kuat di sisiku hingga aku sampaikan kepadanya hak-haknya, insya Allah. Dan orang-orang yang kuat di antara kalian adalah orang yang lemah disisiku hingga kurampas hak-haknya, insya Allah. Tidaklah suatu kaum meninggalkan perjuangan di jalan Allah kecuali Dia akan menghinakan mereka. Dan tidaklah kejahatan menyebar di tengah-tengah suatu kaum kecuali Allah akan menyamaratakan bencana kepada mereka. Taatilah aku selama aku menaati Allah dan Rasul-Nya berkenaan dengan semua urusan kalian. Jika aku bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, kalian tidak boleh menaatiku. Berdirilah untuk melaksanakan shalat, niscaya Allah akan mengasihi kalian.”[2]
Hak Abu Bakar atas Kekhalifahan
Keunggulan dan kepemimpinan Abu Bakar atas kaum muslimin didukung dan dikuatkan oleh banyak dalil-dalil Al-Qur’an, diantaranya:
“Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad) maka sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekah) mengeluarkannya (dari Mekah) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya: “Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita.” Maka Allah menurunkan keterangan-Nya kepada (Muhammad) dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Al-Quraan menjadikan orang-orang kafir itulah yang rendah. Dan kalimat Allah itulah yang tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah: 40)
Yang dimaksud dengan tsani al-itsnayn—orang kedua dari dua orang itu—dalam ayat itu adalah Abu Bakar. Seluruh umat Islam bersepakat mengenai hal ini. Tidak ada lagi yang ketiga selain kedua orang itu kecuali Allah SWT.[3]
“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka mema’afkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nur: 22)
Kalangan mufasir bersepakat bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Abu Bakar. Ayat ini menunjukkan bahwa ia adalah orang terbaik setelah Rasulullah karena kelebihan (al-fadhl) yang disebutkan dalam ayat ini meliputi kelebihan dalam perkara dunia dan kelebihan dalam perkara akhirat.
“Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. Az-Zumar: 33)
Shaddaqa bihi atau orang yang membenarkannya. Tentu saja Abu Bakar termasuk ke dalam golongan ini karena kata membenarkan dalam ayat itu mengandung pengertian “orang yang paling awal mengakui kenabian Rasulullah saw.”
“Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka itu, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya.” (QS. Al-Lail: 17-18)
Kebanyakan mufasir menyatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Abu Bakar.[4]
Keunggulan dan kepemimpinan Abu Bakar atas kaum muslimin didukung dan dikuatkan oleh banyak dalil-dalil Sunnah, diantaranya:
Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Di zaman Nabi tidak ada seorangpun di antara kami yang dapat menandingi Abu Bakar. Kemudian setelah Abu Bakar adalah Umar, lalu Utsman, kemudian para sahabat lainnya, yang tidak lebih utama dibanding yang lainnya.”[5]
Ibn Umar juga berkata, “Dulu, di zaman Nabi, kami membuat peringkat di antara kami sendiri. Secara berurutan para sahabat terbaik adalah Abu Bakar, Umar ibn al-Khattab, dan Utsman ibn Affan.”[6] Dalam riwayat lain, “Ketika Nabi mendengarnya, beliau tidak mengingkarinya.”[7]
Muhammad ibn al-Hanafiah menuturkan bahwa ia pernah bertanya kepada ayahnya, Ali ibn Abu Thalib, “Siapakah manusia yang paling baik setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Ayahnya menjawab, “Abu Bakar.” Ia bertanya lagi: “Kemudian siapa?” Dijawab: “Umar.”
Ibn al-Hanafiyah berkata dalam hati bahwa Ali akan mengatakan Utsman sebagai sahabat yang terbaik setelah Umar sehingga ia bertanya dengan ungkapan yang berbeda, “Kemudian (yang terbaik berikutnya adalah) engkau?” Ayahnya menjawab: “Tidak, aku hanya muslim biasa seperti muslim lainnya.”[8]
Ali ibn Abu Thalib berkata kepada Abu Juhaifah, “Wahai Abu Juhaifah, maukah kuberitahu tentang orang yang terbaik dalam umat ini setelah Nabi mereka?” Abu Juhaifah berkata, “Baiklah.” Abu Juhaifah berkata dalam hati, “Aku tidak melihat ada orang lebih baik daripada dia.”
Ali berkata, “Orang terbaik dalam umat ini setelah Nabi mereka adalah Abu Bakar, kemudian Umar, dan setelah keduanya adalah yang ketiga, yang namanya tidak disebutkan.”[9]
Dalil lain yang menegaskan keutamaan Abu Bakar
Pada hari pertama setelah menyatakan masuk Islam, Abu Bakar dapat mengajak beberapa orang untuk mengikutinya, yaitu Utsman, Thalhah, Zubair, dan Sa’ad. Pada hari kedua, ia berhasil mengajak Utsman ibn Mazh’un, Abu Ubaidah ibn al-Jarrah, Abdurrahman ibn Auf, Abu Salamah ibn Abdul Asad, dan al-Arqam ibn Abu al-Arqam.[10]
Abu Bakar memiliki ketabahan dan ketegaran hati serta kekuatan jiwa pada hari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat.
Catatan Kaki:
[1] H.R. Ahmad, jilid 1, hal. 5; dikutip oleh Dr. Musthafa Murad dalam Abu Bakar, hal. 113
[2] Al-Bidayah wa al-nihayah, jilid 6, hal. 305-306. Diriwayatkan dari Anas radhiyallahu ‘anhu.
[3] Lihat: Al-Baqilani, al-inshaf, hal. 64
[4] Lihat: Al-Jurjani, Syarh al-Mawaqif, jilid 3, hal. 275.
[5] HR. Bukhari dalam Fadhail al-Shahabah, Bab Manaqib Utsman ibn Affan, jilid 7, hal. 66, No. 3697.
[6] HR. Bukhari dalam Fadhail al-Shahabah, Bab Fadhl Abu Bakar, jilid 7, hal. 20, No. 3655.
[7] Diriwayatkan oleh Abdullah ibn al-Imam Ahmad dalam al-Sunnah, jilid 2, hal. 577
[8] HR. Al-Bukhari dalam kitab Fadha’il al-Shahabah, bab sabda Nabi saw, “Walaw kuntu muttakhidza khalila—Seandainya aku harus memilih seorang sebagai sahabat karib, jilid 7 hal. 24, hadits no. 3671; dan juga diriwayatkan oleh Ahmad dalam Fadha’il al-Shahabah, jilid 1 hal. 153-154, hadits no. 136.
[9] HR. Ahmad, jilid 1, hal. 106, dan banyak riwayat lain yang semakna dengan ini. Al-Sa’ati berkata dalam Bulugh al-Amani, jilid 22, hal. 181. Semua sanadnya shahih, namun hadits ini maukuf pada Ali, hadits ini dianggap marfu karena banyak hadits lain yang menguatkannya.
[10] Lihat: Ibnu Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah
1 comment
Assalamu’alaikum pak, mohon izin copy artikel sejarahnya, jaza khalah khair