Dinul Islam mengajarkan kepada umatnya agar memperhatikan urusan kebersihan dalam segala hal, karena sesungguhnya ia dibangun di atas dasar kebersihan. Salah satu ajaran Islam yang berkaitan dengan kebersihan adalah mandi.
Mandi adalah mengalirkan air suci mensucikan ke seluruh tubuh. Dasar hukumnya adalah firman Allah: “…dan jika kamu junub maka mandilah..” (QS Al Maidah: 6)
Dalam kondisi apakah seorang muslim wajib mandi? Berikut ini ulasannya,
Pertama, keluar mani disertai syahwat pada waktu tidur maupun terjaga, baik laki-laki maupun wanita, sebagaimana disebutkan dalam hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّمَا الْمَاءُ مِنْ الْمَاءِ
“Sesungguhnya air (mandi) itu karena air (mani)”. (HR Muslim)
Hal ini disepakati oleh tiga imam madzhab. Berdasarkan hadits ini maka keluar mani tanpa disertai syahwat, seperti karena sakit, kedinginan, kelelahan, dsb tidak mewajibkan mandi. Namun Asy Syafi’i menyatakan kewajiban mandi karena keluar mani, oleh sebab apapun, meskipun tanpa syahwat.
Kedua, jima’ (hubungan seksual), meskipun tidak keluar mani. Hal ini berdasarkan hadits dari Aisyah istri Nabi Shallallahu alaihi wa sallam,
إِنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم عَنِ الرَّجُلِ يُجَامِعُ أَهْلَهُ ثُمَّ يُكْسِلُ هَلْ عَلَيْهِمَا اْلغُسْلُ ؟ وَ عَائِشَةُ جَالِسَةٌ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم : إِنىِّ لَأَفْعَلُ ذَلِكَ أَنَا وَ هَذِهِ ثُمَّ نَغْتَسِلُ
“Sesungguhnya ada seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam tentang seseorang yang menjimak (mencampuri) istrinya kemudian timbul rasa malas. Maka apakah keduanya wajib mandi?, sedangkan Aisyah radliyallahu anha sedang duduk (di dekatnya). Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya aku dan dia ini pernah melakukan hal itu lalu kami mandi”. (HR Muslim: 350)
عن أبي هريرة أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم قَالَ: إِذَا قَعَدَ بَيْنَ شُعَبِهَا اْلأَرْبَعِ وَ أَلْزَقَ اْلخِتَانُ بِاْلخِتَانِ فَقَدْ وَجَبَ اْلغُسْلَ
Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Apabila telah duduk diantara empat cabang dan melekatnya khitan dengan khitan maka wajiblah mandi”. (HR Abu Dawud: 216, al-Bukhoriy: 291, Muslim: 348, an-Nasa’i: I/110-111, 111 dan Ibnu Majah: 610. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih).
Ketiga, selesai haidh dan nifas bagi wanita. Karena firman Allah Ta’ala, “ …. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu”. (QS. Al Baqarah: 222)
Keempat, mayit muslim wajib dimandikan oleh yang hidup. Di antara hadits yang menunjukkan tentang hal ini adalah perintah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam kepada para sahabat wanita untuk memandikan jenazah anak perempuan beliau dengan mengatakan,
اغْسِلْنَهَا ثَلَاثًا أَوْ خَمْسًا أَوْ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ
“Mandikanlah dia tiga kali, atau lima kali, atau lebih dari itu.” (HR Al Bukhari (1253) dan Muslim (36) dari Ummu ‘Athiyyah radhiallahu ‘anha).
Jika jenazah tersebut adalah jenazah seseorang yang mati terbunuh di medan perang di jalan Allah (fi sabilillah), maka jenazah tersebut tidak wajib dimandikan, tidak wajib dikafankan, dan tidak wajib dishalatkan. Dalilnya adalah hadits Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu riwayat Al Bukhari nomor 1343 tentang para jenazah pasukan perang Uhud:
وَلَمْ يُغَسَّلُوا وَلَمْ يُصَلَّ عَلَيْهِمْ
“Mereka tidak dimandikan dan tidak dishalatkan.”
Kelima, orang kafir ketika masuk Islam, berdasarkan hadits Qais bin Ashim bahwasannya ia masuk Islam, lalu Rasulullah menyuruhnya agar mandi dengan air dan daun bidara.
أَتَيْتُ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- أُرِيدُ الإِسْلاَمَ فَأَمَرَنِى أَنْ أَغْتَسِلَ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ.
“Aku mendatangi Nabi shallallahu ’alaihi wasallam untuk masuk Islam, maka beliau menyuruhku untuk mandi dengan air bercampur daun bidara.” (HR. Abu Dawud, shahih).
Wallahu a’lam…