(Diterimanya Ibadah)
Ibadah di dalam Islam terbadi menjadi dua jenis: Ibadah Mahdhah dan Ibadah Ghairu Mahdhah.
Ibadah Mahdhah
Ibadah mahdhah (murni), yaitu ibadah yang pedoman dan kaifiyat pelaksanaannya sudah ditentukan berdasarkan keterangan nash dan bersifat baku; sehingga manusia dilarang untuk menambah atau menguranginya. Contoh: shalat, zakat, puasa, haji, umrah.
Ibadah mahdhah akan diterima oleh Allah Ta’ala jika memenuhi syarat berikut.
Pertama, niat yang benar (shihatun niyyati). Yakni niat yang ikhlash (murni), tidak tercampuri oleh syirik atau maksud lainnya, sebagaimana difirmankan oleh Allah Ta’ala,
وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
“Padahal mereka tidak diperintahkan melainkan supaya menyembah Allah dengan mengikhlaskan ibadat kepadaNya, lagi tetap teguh diatas tauhid dan supaya mereka mendirikan shalat serta memberi zakat. Dan demikian itulah agama yang benar.” (QS. Al-Bayyinah, 98: 5).
Shihatun niyyat ini penting, karena sesungguhnya amal-amal itu tergantung pada niat, dan seseorang itu hanya akan memperoleh sesuai dengan yang diniatkannya. Pernah terjadi di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ada seorang laki-laki yang turut berhijrah dari Makkah ke Madinah, namun dengan niat mengawini seorang wanita yang dikenal dengan sebutan Ummu Qais. Berkenaan dengan hal itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى . فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ .
“Sesungguhnya setiap amal tergantung niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan.” (HR. Bukhari & Muslim)
Kedua, disyariatkan oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya (masyru’iyyah), dan Ketiga, tata cara pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan dan contoh dari Rasul-Nya (kaifiyyatan).
Jadi, seorang muslim harus melaksanakan segenap peribadatan dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang disyariatkan oleh Allah Ta’ala, dan mengikuti cara yang diridhai-Nya, jangan mengikuti cara yang dibuat oleh manusia yang hanya didasari dengan dugaan dan memperturutkan hawa nafsu.
Perilaku beribadah dengan mengikuti hawa nafsu (sekehendak hati) adalah mirip perilaku orang-orang musyrikin. Allah Ta’ala berfirman,
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ ۚ وَلَوْلَا كَلِمَةُ الْفَصْلِ لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ ۗ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih.” (QS. As-Syura, 42: 21)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menetapkan bahwa pengamalan ibadah di dalam Islam wajib merujuk kepada perintah/contoh dari beliau dan tidak diperkenankan berkreasi sendiri. Dari Ummul Mu’minin Ummu Abdillah Aisyah radiyallahu ‘anha, ia mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
‘Barangsiapa yang mengada-adakan dalam urusan (agama) kami ini yang bukan berasal darinya, maka amalan tersebut tertolak’.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim).
Dan dalam riwayat lain milik Muslim,
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak kami perintahkan, maka ia tertolak.”
Imam An-Nawawi berkata tentang hadits Man ahdatsa…, sebagai berikut.
“Di dalamnya berisikan dalil bahwa peribadatan, seperti mandi, wudhu, puasa dan shalat, jika dilakukan dengan menyelisihi syariat, maka tertolak atas pelakunya. Kemudian sesuatu yang diambil dengan akad (kesepakatan) yang rusak (menyelisihi syariat), maka wajib dikembalikan kepada pemiliknya dan tidak boleh dimilikinya.
Suatu hari seorang wanita berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya anakku menjadi buruh pada orang ini lalu ia berzina dengan istrinya. Aku mendapatkan kabar bahwa anakku harus dirajam, maka aku menebusnya dengan seratus ekor kambing dan seorang sahaya wanita.” Maka beliau mengatakan,
اَلْوَلِيْدَةُ وَالْغَنَمُ رَدٌّ عَلَيْكَ
“Sahaya wanita dan kambing itu dikembalikan kepadamu (tidak bisa menebus / menggantikan ketetapan hukuman yang sudah baku, red.).” (Muttafaq ‘alaih: al-Bukhari, no. 2724; dan Muslim, no. 1697).”
Sampai disini kutipan dari Imam An-Nawawi.[1]
Maka, seluruh ibadah mahdhah harus dilaksanakan sesuai syariat yang telah ditentukan oleh Allah Ta’ala melalui Rasul-Nya. Tentang bagaimana pelaksanaa shalat, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِيْ أُصَلِّيْ
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat.” (HR. Al-Bukhari dari Malik bin al-Huwairits).
Tentang bagaimana pelaksanaan haji, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خُذُوْا عَنِّى مَنَاسِكَكُمْ.
“Ambilah dariku manasik hajimu.” (HR. Ahmad, al-Nasa`i, dan al-Baihaqi)
Kesimpulan: ibadah mahdhah akan diterima oleh Allah Ta’ala jika diiringi al-ittiba manhajan wa kaifiyatan (mengikuti pedoman dan tata pelaksanaan yang diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya).
Ibadah Ghairu Mahdhah
Ibadah ghairu mahdhah adalah ibadah yang pedoman dan kaifiyat pelaksanaanya tidak ditentukan atau disebutkan secara rinci oleh nash. Pelaksanaannya disesuaikan dengan tuntutan, kelapangan waktu, dan ‘urf (tradisi).
Contoh: menyantuni fakir miskin adalah ibadah. Tetapi nash tidak menentukan bagaimana menyantuni fakir miskin itu secara rinci kecuali berupa pedoman dan arahan umum. Oleh karena itu, berapa besar jumlah santunan, kepada siapa harus diberikan, bagaimana teknisnya, dan lain-lain, semuanya diserahkan kepada pertimbangan si penyantun selama dilakukan secara ma’ruf. Boleh diberikan secara langsung oleh si penyantun, boleh diberikan melalui lembaga amal, boleh diberikan berupa dana, boleh pula diberikan berupa barang, dan lain-lain.
Contoh lain misalnya ibadah menuntut ilmu. Kapan dan di mana harus dilakukan, bagaimana teknisnya, bagaimana manajemen dan kurikulumnya, dan lain-lain, semuanya diserahkan sesuai dengan tuntutan, kelapangan waktu, dan ‘urf (tradisi).
Begitupula ibadah berupa berdakwah. Semuanya dikembalikan kepada ijtihad masing-masing du’at selama tidak bertentangan dengan dalil-dalil syariat yang jelas. Maka berdakwah bisa melalui sarana sekolah/pesantren, partai politik, yayasan, karang taruna, kelompok diskusi, dan perkumpulan lainnya.
Ibadah ghairu mahdhah ini akan diterima oleh Allah Ta’ala jika memenuhi syarat berikut.
Pertama, ibadah tersebut diiringi niat yang ikhlah (ikhlashun niyyat). Hal ini telah dijelaskan sebelumnya.
Kedua, ibadah tersebut adalah amal yang baik (al-‘amalus shalih). Yakni perbuatan-perbuatan yang sesuai dan tidak bertentangan dengan aqidah dan syariat Allah Ta’ala.
Untuk memahami makna amal shalih, berikut penjelasannya secara ringkas sebagaimana dikutip dari tulisan Ustadz Zaenuddin Abu Qushaiy yang dimuat di website: www.muslim.or.id,[2]
Makna amalan
Ibnu Faris dalam Mu’jamu Maqayisul Lughah berkata, “Ain – Mim – Lam’ akar suatu kata yang menunjukkan pada satu makna yang sama, yaitu semua pekerjaan yang dilakukan” (Mu’jamu Maqayisul Lughah , 1/17, Cet: Darul Kutub ‘Alamiyah).
Raghib al Asfahaniy berkata, “Amalan adalah semua pekerjaan yang berasal dari makhluk hidup dan dilakukan dengan sengaja” (Al-Mufradaat Fi Gharibul Qur’an:351, Cet: Darul Ma’rifat).
Makna shalih
Ibnu Faris dalam Mu’jamu Maqayisul Lughah berkata, “Shad-lam-ha, ‘ akar suatu kata yang menunjukkan pada satu makna yang sama yaitu lawan dari kerusakan” (Mu’jamu Maqayisul Lughah, 1/17, Cet: Darul Kutub ‘Alamiyah).
Syaikh Ahmad bin Yusuf Al Halabiy berkata, “الصلاح maknanya adalah lawan dari kerusakan, lawan dari keshalihan di dalam al Qur’an adalah kerusakan [الفساد ] dan kejelakan [السيء ] sebagaimana dalam firman Allah (yang artinya), “Dan apabila dikatakan kepada mereka: ‘Janganlah kalian berbuat kerusakan di muka bumi, mereka mengatakan hanya saja kami adalah orang-orang yang berbuat perbaikan’” (QS. Al Baqarah:11).
Juga dalam firman Allah (yang artinya), “Mereka mencampur amalan shalih dan yang lain amalan yang jelek” (Q.S.At Taubah:102). (Lihat: Umdatul Huffadz: 2/346, cet: Darul Kutub ilmiyah).
Kesimpulannya, amal shalih adalah perbuatan baik yang dapat membuat kebaikan dan dilakukan secara sengaja.
Kenapa Perbuatan Baik Dikatakan Sebagai Amal shalih?
Syaikh Abdurrahman as Sa’diy dalam Taisiru Karimir Rahman mengatakan, “Amalan yang baik dinamakan amal shalih karena dengan sebab amal shalih keadaan urusan dunia dan akhirat seorang hamba Allah akan menjadi baik dan akan hilang seluruh keadaan- keadaannya yang rusak. Dengan amalan yang baik tersebut seseorang akan termasuk golongan orang yang shalih yang pantas bersanding dengan Allah Yang Maha Pengasih di dalam surga-Nya” (Taisiru Karimir Rahman: 1/62,cet: Markaz Shalih bin Shalih ats Tsaqafiy).
Kapan Suatu Amalan Menjadi Shalih?
Suatu amalan dalam agama Islam dikatakan sebagai amal shalih apabila terpenuhi di dalamnya dua syarat, yaitu Ikhlas karena Allah dan mengikuti sunnah Rasulullah Muhammad shalallahu ‘alaihi wa salam dalam hal sebab, jenis, kadar, tata cara, waktu, dan tempat (Ahkam Minal Qur’an:1/94 syaikh Utsaimin).
Sampai di sini kutipan dari Ustadz Zaenuddin Abu Qushay.
Dalam konteks pembicaraan tentang ibadah ghairu mahdhah, maka ibadah itu akan diterima oleh Allah Ta’ala jika al-ittiba’ manhajan (mengikuti pedoman dari Allah dan Rasul-Nya).
Wallahu a’lam.
Catatan Kaki:
[1] Dikutip dari: http://www.alsofwah.or.id/cetakhadits.php?id=251
[2] https://muslim.or.id/25433-makna-amal-shalih.html