Definisi
Secara bahasa: aqa’id (عقائد) adalah bentuk jamak dari ‘aqidah (عقيدة) yang bermakna ‘pengikat yang sangat kuat’ bersumber dari kata kerja ‘aqada (عقد), ya’qidu ( يعقد) dan aqdan (عقدا ).
Secara Istilah aqa’id adalah perkara-perkara yang hati Anda membenarkannya; jiwa Anda tenteram karenanya; ia menjadikan rasa yakin pada diri Anda tanpa tercampuri oleh keraguan dan kebimbangan.
Tingkatan Keyakinan
Contoh:
Seseorang mendengar tentang sebuah negeri bernama Yaman, yang belum pernah dilihatnya, tetapi ia mendengarnya dari orang yang tidak pernah berbohong; kemudian, ia juga mendengarkannya dari banyak orang; lalu, ia melihat gambar-gambar atau foto negeri Yaman; berikutnya, ia mendapatkan kesempatan berkunjung ke negeri itu; kini, ia melihatnya dengan mata kepalanya sendiri; Ia pun berkeliling di jalan-jalan negeri Yaman itu; serta mempelajari situasi negeri itu.
Dari contoh di atas, maka dapat disimpulkan bahwa keyakinan dapat dibagi atas tiga tingkatan:
Pertama, keyakinan melalui talaqqi;
Kedua, keyakinan melalui analisa dan pikiran;
Ketiga, keyakinan melalui analisa dan proses perenungan yang berkesinambungan (terus-menerus) sehingga ia dapat membuktikan keyakinannya dengan ketaatan dan ibadah kepada Allah. Saat itulah, lentera hidayah memancar dalam kalbunya dan ia pun dapat “melihat” dengan cahaya bashirah-nya (Muhammad: 17).
Hasan al-Banna mengatakan, “Sesungguhnya, saya menyajikan contoh ini di hadapan Anda, agar Anda bisa meningkatkan diri dari posisi taklid dalam masalah tauhid menuju penggunaan akal pikiran dalam memahami aqidah.”
Penghargaan Islam kepada Akal
Walaupun asas aqidah Islam adalah Al-Qur`an dan Sunnah Rasul-Nya, asas tersebut tetap harus mendapat pembenaran dari akal dan dikukuhkan oleh analisa yang benar. Karena itulah, salah satu syarat mukallaf (pemikul beban syariat) adalah berakal, atau dengan kata lain akal adalah faktor utama adanya taklif (kewajiban menjalankan agama).
Berikut ini beberapa firman Allah mengenai akal, agar ia selalu meneliti, menganalisa, dan berpikir.
“Katakanlah, ‘Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi.’ Tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman.” (QS. Yunus, 10: 101)
أَفَلَمْ يَنْظُرُوا إِلَى السَّمَاءِ فَوْقَهُمْ كَيْفَ بَنَيْنَاهَا وَزَيَّنَّاهَا وَمَا لَهَا مِنْ فُرُوجٍ (٦) وَالأرْضَ مَدَدْنَاهَا وَأَلْقَيْنَا فِيهَا رَوَاسِيَ وَأَنْبَتْنَا فِيهَا مِنْ كُلِّ زَوْجٍ بَهِيجٍ (٧) تَبْصِرَةً وَذِكْرَى لِكُلِّ عَبْدٍ مُنِيبٍ (٨) وَنَزَّلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً مُبَارَكًا فَأَنْبَتْنَا بِهِ جَنَّاتٍ وَحَبَّ الْحَصِيدِ (٩) وَالنَّخْلَ بَاسِقَاتٍ لَهَا طَلْعٌ نَضِيدٌ (١٠) رِزْقًا لِلْعِبَادِ وَأَحْيَيْنَا بِهِ بَلْدَةً مَيْتًا كَذَلِكَ الْخُرُوجُ (١١)
“Maka, apakah mereka tidak melihat akan langit yang ada di atas mereka, bagaimana Kami meninggikannya dan menghiasinya dan langit itu tidak mempunyai retak-retak sedikitpun? Dan Kami hamparkan bumi itu dan Kami letakkan padanya gunung-gunung yang kokoh dan Kami tumbuhkan padanya segala macam tanaman yang indah dipandang mata, untuk menjadi pelajaran dan peringatan bagi tiap-tiap hamba yang kembali (mengingat Allah). Dan Kami turunkan dari langit air yang banyak manfaatnya lalu Kami tumbuhkan dengan air itu pohon-pohon dan biji-biji tanaman yang diketam, dan pohon kurma yang tinggi-tinggi yang mempunyai mayang yang bersusun-susun, untuk menjadi rezeki bagi hamba-hamba (Kami), dan Kami hidupkan dengan air itu tanah yang mati (kering). Seperti itulah terjadinya kebangkitan.” (Qaaf, 50: 6-11)
Sebaliknya, Allah mencela mereka yang tidak berpikir dan menganalisa (Yusuf: 105), sebagaimana Allah menuntut kepada setiap penantang Islam agar mengeluarkan argumentasi mereka sehingga jelas perbedaan antara yang benar dan yang batil. Ini merupakan penghargaan kepada argumentasi dan kemenangan hujjah yang nyata.
Rasulullah pernah menangis di subuh hari setelah malamnya menerima wahyu (Ali ‘Imran: 190). Kemudian, beliau ditanya oleh Bilal, dan beliau pun menjawab,
Dari sinilah, kita mengetahui bahwa Islam tidak menghalangi kegiatan berpikir dan tidak memenjarakan akal, namun membimbingnya untuk berkomitmen terhadap batas kemampuannya, menunjukkan kekerdilan ilmunya, dan menyuruhnya agar tetap menambah pengetahuannya (al-Israa`: 85, Thaahaa: 114).
Bagian-bagian Aqidah Islamiyah
Aqidah Islamiyah dibagi atas empat bagian.
Pertama, al-Ilahiyyat. Bagian ini membahas hal-hal yang berhubungan dengan Allah SWT dari segi sifat-sifat, asma’, dan perbuatan-perbuatan-Nya, serta hal-hal yang harus diyakini seorang hamba tentang Tuhannya.
Kedua, an-Nubuwwat. Bagian ini membahas segala sesuatu yang terkait dengan para nabi, dari segi sifat-sifat, ke-ma’shum-an, tugas, dan urgensi kebutuhan akan risalah mereka, serta beberapa hal yang berhubungan dengan para wali, mukjizat, karamah, dan kitab-kitab samawi.
Ketiga, ar-Ruhaniyyat. Bagian ini membahas semua hal yang terkait dengan alam supranatural, seperti malaikat, jin, dan ruh.
Keempat, as-Sam’iyyat. Bagian ini membahas yang berkaitan dengan kehidupan di alam barzakh dan kehidupan akhirat, seperti kondisi di alam kubur, tanda-tanda hari kiamat, hari kebangkitan, perhitungan dan pembalasan.
(Hasan Al-Banna belum sempat menulis keempat bagian di atas. Beliau hanya sempat menulis bagian pertama, lalu beliau dipanggil oleh Allah SWT)
AL-ILAHIYYAT
Dzat Allah Tabaraka wa Ta’ala
Dzat Allah itu jauh lebih besar, agung dan mulia dari yang bisa digambarkan oleh akal manusia, dan lebih besar dari apa yang terbesit dalam pikiran manusia. Sebab, betapa pun tinggi dan cerdasnya akal manusia, tetap saja terbatas kekuatan dan kemampuannya. Akan tetapi, kemampuan akal tersebut dari yang terbesar sampai yang terkecil sangat berguna untuk mengetahui banyak hal, meski—dalam banyak hal—tidak sampai mengetahui hakikat sesuatu, seperti mengetahui hakikat listrik dan magnet. Ia hanya dapat mengetahui karakteristik dan kegunaannya.
Jika demikian, maka bagaimana akal mampu mengetahui hakikat dan Dzat Allah? Sungguh telah tersesat kaum-kaum yang berusaha untuk memperbincangkan Dzat Allah oleh karena mereka membicarakan sesuatu hal yang mereka sendiri tidak mengetahui batasan-batasannya dan tidak mampu menguak eksistensinya. Oleh karena itu, Rasulullah melarang berpikir tentang Dzat Allah.
تَفَكَّرُا فِي خَلْقِ اللهِ، وَلَا تَفَكَّرُا فِي اللهِ، فَإِنَّكُمْ لَنْ تَقْديْرُ قَدْرَهُ
“Berpikirlah tentang ciptaan Allah dan jangan memikirkan (Dzat) Allah karena kalian tidak mungkin mampu memperhitungkan kadarnya.”
Imam Al-Iraqi berkata bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam kitab Al-Hilyah dengan sanad yang dhaif. Juga diriwayatkan oleh oleh Al-Ashbahani dalam kitab targhib wa tarhib dengan sanad yang lebih shahih. Demikian pula diriwayatkan oleh Abu Syaikh. Apa pun riwayatnya, yang jelas maknanya shahih.
Hal ini bukan berarti pembatasan kebebasan berpikir, melainkan merupakan penjagaan terhadap akal agar tidak terjebak kepada jurang kesesatan, kendati sebesar apa pun akal itu. Jalan ini adalah jalan orang-orang saleh yang telah ber-ma’rifah dengan keagungan Dzat Allah dan kemuliaan qudrat-Nya.
Al-Asmaul-Husna
Sesungguhnya, Allah SWT memperkenalkan diri kepada makhluk-Nya dengan asma’ dan sifat-sifat yang sesuai dengan kemuliaan-Nya. Rasulullah saw. bersabda,
إِنَّ لِلَّهِ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ اسْمًا ، مِائَةً إِلا وَاحِدَةً ، مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Sesunguhnya Allah memiliki 99 nama, seratus kurang satu, siapa yang menjaganya maka dia masuk surga.” (HR. Bukhari, no.2736, Muslim, no.2677 dan Ahmad, no.7493).
Berikut ini beberapa pembahasan seputar Al-Asmaul-Husna.
Nama-nama tambahan selain dari yang sembilan puluh sembilan
Sembilan puluh sembilan nama Allah ini belum mencakup semua nama Allah. Ada beberapa hadits yang menyebutkan nama-nama Allah di luar dari yang sembilan puluh sembilan, misalnya:
- Al-Hannaan ‘Mahakasih’;
- Al-Mannaan ‘Maha Pemberi anugerah’;
- Al-Badii’ ‘Maha Pencipta yang baru’;
- Al-Mughiits ‘Maha Pemberi pertolongan’;
- Al-Kafiil ‘Maha Melindungi’;
- Dzuth-Thaul ‘Memiliki Kekuasaan’;
- Dzul-Ma’aarij ‘Memiliki tempat-tempat yang tinggi’;
- Dzul-Fadhl ‘Yang Memiliki Keutamaan’;
- Al-Khallaaq ‘Yang memiliki balasan’.
Berkata Abu Bakar bin al-Arabi, “Sesungguhnya, jika digabungkan nama-nama Allah dari Al-Qur`an dan Sunnah, maka semuanya berjumlah seribu nama.” Adapun Imam asy-Syaukani berkata, “Saya condong mengenai jumlahnya kepada apa yang tertera dalam hadits tadi dan itu sudah cukup.”
Hadits-hadits yang di dalamnya terdapat lafal-lafal yang menunjukkan nama-nama Allah dalam bentuk majas (kiasan)
Contoh:
Rasulullah SAW bersabda,
لَا تَسُبُّوا الدَّهْرَ، فَإِنَّ اللهَ هُوَ الدَّهْرُ
“Janganlah mencela masa, karena sesungguhnya Allah Ta’ala adalah masa.” (HR. Muslim)
دَعُوْهُ يَئِنُّ فَإِنَّ الْأَنِيْنَ إِسْمٌ مِنْ أَسْمَاءِ اللهِ تَعَلَى يَرْتَاحُ إِلَيْهِ الْمَرِيْضُ
“Biarkan dia merintih, karena sesungguhnya rintihan itu adalah nama Allah yang membuat orang sakit menjadi lega karenanya.”
Hadits ini dimuat Jalaluddin As-Suyuthi dalam Al-Jami’ As-Shaghir dari Rafi’i; dan beliau menyebut hadits ini hasan.
Kalimat “sesungguhnya Allah itu masa” dan kalimat “sesungguhnya rintihan itu adalah nama Allah” adalah kiasan, bukan hakikat atau makna sebenarnya. Kalimat itu muncul karena ada keterkaitan antara “masa” dengan Allah, atau antara “rintihan” dengan Allah yang tidak disebut dalam kalimat itu.
Maka, maksud hadits pertama adalah sesungguhnya Allah yang menjadi causa prima dari kejadian-kejadian masa, maka tidak boleh sesuatu dinisbatkan kepada masa, dan juga masa tidak boleh dicela dan dicaci. Adapun maksud hadits kedua adalah sesungguhnya rintihan adalah pengaruh dari kekuasaan Allah yang bisa melegakan orang yang sakit.
Sikap at-Tauqifi (menerima apa adanya)
Jumhur kaum muslimin bersepakat untuk tidak boleh menentukan nama atau sifat bagi Allah yang tidak tercantum dalam syariat.
- Maka, kita tidak boleh mengatakan, “Allah itu insinyur alam yang agung ini,” atau mengatakan, “Allah itu general manajer bagi semua urusan makhluk.”
- Hal itu tidak boleh jika dijadikan sebagai istilah baku atau permanen sebagai bagian dari nama-nama dan sifat-sifat Allah.
- Akan tetapi jika untuk melakukan pendekatan makna, menganalogikan dan mempermudah pemahaman dalam rangka menjelaskan af’al Allah, maka hal itu tidak menjadi masalah.
- Namun bagaimanapun kita tetap harus berhati-hati sebagai satu bentuk akhlak kita kepada Allah.
‘Alamiyah (nama asli) dan Washfiyyah (penyifatan)
- Di antara nama-nama Allah, terdapat satu nama yang menunjukkan Dzat-Nya yang suci, yaitu lafzhul-jalalah “Allah”.
- Sementara nama-nama lainnya merupakan interpretasi makna sifat-sifat Allah.
- Oleh karena itu, nama-nama tersebut dapat menjadi kalimat penjelas (khabar) dari lafzhul-jalalah.
- Tetapi lafzhul-jalalah bukan merupakan kalimat penjelas bagi nama-nama lainnya.
Karakteristik Al-Asmaul-Husna
Sebagian orang mengatakan bahwa setiap nama Allah mempunyai karakteristik dan rahasia-rahasia yang berhubungan dengan penyebutannya. Bahkan, ada yang mengatakan bahwa setiap nama memiliki khadam spritual.
Hasan Al-Banna berkata: “Yang saya ketahui bahwa nama-nama Allah adalah lafazh-lafazh mulia yang memiliki keutamaan lebih atas kalam-kalam yang lain. Di dalamnya ada berkah dan pahala bagi yang menyebutnya.”
Nama Allah yang Agung
Dalam banyak hadits terdapat nama Allah yang agung, di antaranya sebagai berikut.
Dari Buraidah bin al-Hushaib radhiyallahu ‘anhu beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar seorang lelaki berkata (dalam doanya),
اللَّهمَّ إِني أسألُكَ بأني أَشْهَدُ أنَّكَ أنْتَ اللهُ ، لا إلهَ إلا أنتَ، الأحَدُ الصَّمَدُ ، الَّذِي لمَ ْيَلِدْ ولم يُولَدْ ، ولم يكن له كُفُوا أحَدٌ
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepadamu dengan persaksianku bahwa sungguh Engkau Allah yang tiada sembahan yang benar kecuali Engkau, Yang Maha Esa lagi Maha Sempurna dan bergantung kepada-Nya segala sesuatu, yang tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, serta tiada seorangpun yang setara dengan-Nya”
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لَقَدْ سَأَلَ اللَّهَ بِاسْمِهِ الأَعْظَمِ الَّذِى إِذَا دُعِىَ بِهِ أَجَابَ وَإِذَا سُئِلَ بِهِ أَعْطَى
“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh orang ini telah meminta kepada Allah dengan ismullah al-a’dzam (nama Allah yang paling agung), dimana, ketika seseorang berdoa dengan menyebut nama itu, maka doanya akan diijabahi. Dan apabila dia meminta kepada Allah dengan menyebut nama itu, maka dia akan diberi.” (HR. Abu Daud, Turmudzi, Nasa’i dan Ibnu Majah).
عَنْ أَنَسٍ أَنَّهُ كَانَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَالِسًا وَرَجُلٌ يُصَلِّي ثُمَّ دَعَا ” اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِأَنَّ لَكَ الْحَمْدُ لا إِلَهَ إِلا أَنْتَ الْمَنَّانُ بَدِيعُ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ يَا ذَا الْجَلالِ وَالإِكْرَامِ يَا حَيُّ يَا قَيُّومُ ” ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ( لَقَدْ دَعَا اللَّهَ بِاسْمِهِ الْعَظِيمِ الَّذِي إِذَا دُعِيَ بِهِ أَجَابَ وَإِذَا سُئِلَ بِهِ أَعْطَى ) .
Dari Anas dahulu beliau bersama Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam duduk, dan ada seseorang shalat kemudian berdoa, ‘Ya Allah, sesunggunya saya memohon kepada-Mu. Sesungguhnya hanya milik-Mu seluruh pujian, tiada tuhan melainkan Engkau. Yang Maha Dipuji, pencipta langit dan bumi, wahai yang mempunyai kemulyaan dan kehormatan, wahai Maha hidup dan Mandiri. Maka Nabi sallallahu’alaihi wa salla bersabda, ‘Sungguh dia telah berdoa kepada Allah dengan nama-Nya yang agung, dimana kalau berdoa akan dikabulkan, kalau meminta akan diberikan.’ (HR. Tirmizi, Abu Dawud, An-Nasa’i, Ibnu Majah)
Dapat disimpulkan dari hadits-hadits di atas dan yang lainnya, bahwa nama-nama Allah yang agung tidak terbatas jumlahnya. Demikian pula para ulama tidak pernah sepakat dalam masalah ini, bahkan mereka berbeda dalam empat puluh pendapat.
Dapat disimpulkan pula bahwa nama Allah yang agung itu adalah doa yang terdiri atas sekian banyak nama Allah, di mana jika manusia berdoa dengannya dan diikuti dengan terpenuhinya syarat-syarat berdoa lainnya niscaya Allah akan mengabulkannya.
Nama Allah yang agung bukan hanya dianugerahkan kepada orang-orang tertentu, tetapi siapa pun dari kaum muslimin dapat menggunakannya dalam berdoa. Maka siapapun yang berpendapat demikian berarti mereka telah menambah-nambah atau melebih-lebihkan sesuatu dalam agama.
Sifat-sifat Allah SWT
Sifat-sifat Allah dalam Pandangan Akal
Jika Anda melihat alam ini serta segala sesuatu yang ada di dalamnya, meski tanpa dalil atau wahyu, Anda pasti akan menyatakan bahwa di balik alam ini ada Pencipta yang menjadikannya ada. Bahwasanya, Sang Pencipta itu harus Agung melebihi segala keagungan yang sempat terlintas dalam akal manusia yang lemah, harus lebih berkuasa di atas makna-makna kekuasaan yang dipahami manusia, dan Dia harus Maha hidup dengan puncak kesempurnaan makna-makna kehidupan. Dia tidak membutuhkan semua makhluk-Nya karena Dia ada sebelum mereka ada. Sang Pencipta itu adalah Allah Rabbul-Jalil, sebagaimana diungkapkan dalam Al-Qur`an pada surah ar-Ruum ayat 20-24 dan 48-50, serta masih banyak lagi ayat yang senada dengan ayat-ayat tersebut.
Globalitas Sifat-sifat Allah dalam Al-Qur`an
Al-Qur`an telah menunjukkan adanya sifat-sifat wajib pada Allah SWT, seperti berikut ini.
- Wujud Allah (ar-Ra’d: 2-4, dan al-Mu’minuun: 78-80).
- Qidam dan Baqa’ (al-Hadiid: 3, al-Qashash: 88, ar-Rahmaan: 26-27, al-Ikhlash: 1-4, dan asy-Syuura: 11).
- Qiyamuhu bi Nafsihi ‘Berdiri Sendiri’ (Faathir: 15 al-Kahfi: 51).
- Wahdaniyyah (an-Nahl: 51-53, al-Maa`idah: 73-74, al-Anbiyaa`: 21-25, al-Mu’minuun: 84-93, dan an-Naml: 59-64).
- Qudrah ‘Kemahakuasaan’ Allah (al-Hajj: 5-7, al-Kahfi: 51, Qaaf: 38, al-Furqaan: 53-54, dan an-Nuur: 43-45).
- Iradah Allah (Yaasiin: 82, al-Israa`: 16, al-Kahfi: 82, an-Nisaa`: 26-28, dan al-Insaan: 30).
- Ilmu Allah (Saba’: 1-2, at-Taghaabun: 4, Luqman: 16, al-A’raaf: 88-89, al-Mujaadilah: 7, dan Yunus: 61).
- Hayat ‘Kemahahidupan’ Allah (al-Baqarah: 255, Ali ‘Imran: 1-3, dan al-Mu’min: 64-65).
- Sama’ dan Bashar Allah (al-Mujaadilah: 1, al-‘Alaq: 9-14, Thaahaa: 43-46, dan al-Mu’min: 19-20).
- Kalam Allah (an-Nisaa`: 164 dan al-Baqarah: 75).
Sifat-sifat Allah Tidak Terhingga
Sifat-sifat Allah tidak terbatas pada apa yang telah disebutkan di atas, melainkan banyak sekali.
Antara Sifat-sifat Allah dan Sifat-sifat Makhluk
Kandungan makna lafadz pada sifat-sifat Allah berbeda secara diametral dengan makna yang terkandung dalam lafal yang sama pada sifat-sifat makhluk. Misalnya, ketika Anda berkata, “Allah itu ‘Alim,” dan Anda juga berkata, “Si Fulan itu alim,” sudah tentu pengertian ‘Alim yang ditujukan kepada Allah dan yang dialamatkan kepada si Fulan jauh berbeda. Sampai kapan pun makna tersebut tidak akan pernah sama.
Dalil-dalil Aqli atas Eksistensi Sifat-sifat Allah
Wujud, keagungan, dan keteraturan alam semesta menunjukkan wujud Sang Pencipta dengan segala kebesaran dan kesempurnaan-Nya.
Sesungguhnya, yang tidak memiliki sesuatu tidak akan bisa memberi. Maka, jika yang mengadakan alam ini tidak memiliki sifat-sifat kesempurnaan, bagaimana mungkin ada pengaruh dari sifat-sifat itu terhadap makhluk-Nya?
Lebih khusus, bahwasanya sang Pencipta alam ini Esa, tidak berbilang (lebih dari satu). Karena bila berbilang, maka akan menimbulkan kerusakan, perselisihan, dan perasaan lebih tinggi daripada yang lain. Apalagi, permasalahan uluhiyah terletak pada kebesaran dan keagungan. Juga apabila salah satu dari yang berbilang mendominasi yang lain, maka praktis sifat-sifat yang lainnya tidak berfungsi. Sebaliknya jika mereka bekerja sama, maka sebagian dari sifat mereka tidak berfungsi pula. Sementara tidak berfungsinya sifat-sifat uluhiyah itu bertentangan dengan kemuliaan dan keagungan-Nya. Oleh karena itu, Dia harus Esa, tiada Tuhan selain Dia.
Beberapa Kelompok dalam Memahami Sifat-sifat Allah
- Kelompok Musyabbihah (penyerupaan) atau Mujassimah (personifikasi), yaitu kelompok yang mengambil teks sebagaimana adanya. Mereka mempersamakan wajah Allah dengan wajah-wajah makhluknya, tangan Allah dengan tangan-tangan mereka, sampai mereka mengasumsikan Tuhan sebagai sosok seorang syekh atau seorang pemuda. Untuk menolak kelompok ini, cukuplah dengan Al-Qur`an surah as-Sajdah ayat 11.
- Kelompok Mu’aththilah (peniadaan) atau Jahmiyah, yaitu kelompok yang menafikan makna-makna yang terkandung dalam lafadz-lafadz di atas dalam segala bentuknya. Allah bagi mereka tidak berbicara, tidak mendengar, dan tidak melihat. Alasannya, semua itu tidak mungkin terjadi kecuali dengan alat pengindera, padahal adanya pengindera harus dinafikan dari Allah SWT. Seseorang yang memiliki akal pikiran tidak mungkin membenarkan logika berpikir yang rancu ini.
- Kelompok atau mazhab ulama Salaf. Mereka berkata, “Kita beriman kepada ayat-ayat dan hadits-hadits sebagaimana adanya dan menyerahkan penjelasan tentang maksudnya kepada Allah SWT.” Mereka menetapkan adanya tangan, mata, bersemayam, tertawa, takjub, dan sebagainya dengan maksud yang tidak kita ketahui dan kita serahkan kepada Allah cakupan kandungannya. Lagi pula, Rasulullah saw. telah melarang kita dari perbuatan itu. Sabdanya, “Berpikirlah kalian tentang ciptaan Allah dan jangan berpikir tentang Dzat Allah oleh karena kalian tidak akan dapat menjangkaunya.”
- Kelompok atau mazhab ulama Khalaf. Mereka berkata, “Kami menetapkan bahwa makna kata-kata dalam ayat-ayat dan hadits-hadits ini tidak dimaksudkan secara zhahiriyah. Atas dasar itu boleh saja ditakwil dan tidak ada larangan.” Mereka pun mentakwil “wajah” dengan Dzat, “tangan” dengan kekuasaan, dan semisalnya, dengan tujuan memalingkan dari tasybih. Misalnya, berkata adh-Dhahhak dan Abu Ubaidah tentang ayat, “Segala sesuatu itu hancur kecuali wajah-Nya,” (al-Qashsash: 88) berarti “Segala sesuatu hancur kecuali Dia.”
Pembahasan selanjutnya terfokus pada kelompok ulama Salaf dan Khalaf, bukan pada kelompok Musyabbihah dan Mu’aththilah. Sebab, kelompok Musyabbihah dan Mu’aththilah sudah jelas kesalahannya, sementara dua kelompok berikutnya telah menjadi obyek pembahasan dan penyebab perselisihan yang sangat serius di kalangan para ulama ilmu kalam. Sebenarnya, jarak perbedaan antara dua pandangan tidaklah demikian lebar, jika masing-masing pihak melepaskan sikapnya yang berlebihan, yang pada akhirnya, mereka melakukan tafwidh (penyerahan) kepada Allah SWT.
Antara Salaf dan Khalaf
Kedua kelompok ini sepakat mengenai hal menyucikan Allah dalam penyamaan dengan makhluk-Nya.
Semua sepakat bahwa maksud dari kata-kata dalam teks Al-Qur`an maupun hadits Nabi tentang hak-hak Allah bukanlah apa yang tersurat pada lahirnya, sebagaimana jika dinisbatkan kepada makhluk. Hal ini berpengaruh terhadap sikap sepakat mereka untuk menafikan tasybih.
Semua pihak mengetahui bahwa lafadz itu diletakkan untuk mengungkapkan sesuatu yang terbersit dalam benak dari hal-hal yang berhubungan dengan pemilik bahasa. Bahasa—betapapun luasnya—tidak dapat menjangkau sesuatu yang tidak bisa dipahami hakikatnya oleh pemilik bahasa. Hakikat lafadz yang berhubungan dengan Dzat Allah termasuk dalam pengertian ini. Bahasa memiliki kelemahan untuk menjelaskan kandungan hakikat ini dengan lafadz-lafadznya. Penetapan dan pembatasan makna untuk lafadz serupa ini adalah sesuatu yang membahayakan.
Mereka sebenarnya bersepakat secara prinsip atas keharusan takwil. Perbedaan di antara keduanya hanyalah bahwa khalaf menambahkan adanya pembatasan makna yang dikandung sambil tetap menjaga kesucian Allah, dengan maksud menjaga aqidah orang awam dari keterjerumusan dalam tasybih.
Tarjih Mazhab Salaf
Kami berkeyakinan bahwa pendapat Salaf itu lebih utama, dengan memotong habis takwil dan ta’thil (penafian).
Kami juga meyakini bahwa takwil-takwil kaum Khalaf tidak mengharuskan jatuhnya vonis kekafiran dan kefasikan atas mereka, serta tidak seharusnya pula menjadikan munculnya pertikaian berlarut-larut di antara mereka dan selainnya, baik dulu maupun sekarang.
Persoalan penting yang semestinya harus ditegakkan oleh kaum Muslimin sekarang adalah tauhidush-shufuf (penyatuan barisan) dan jam’ul-kalimah (menghimpun kata) sedapat yang bisa kita lakukan.
Cukuplah Allah bagi kami, dan Dia adalah sebaik-baik pelindung. Wallahu a’lam bish-shawab.
2 comments
Alhamdulillah, maa syaa Allah sangat bermanfaat
syukron atas penjelasannya, aqidah as’ariyah harus lebih digaungkan, daripada materi dari wahabi seperti tauhid uluhiyah dan rububiyah, meskipun tidak salah juga