وَاِنْ تَصْبِرُوْا وَتَتَّقُوْا لَا يَضُرُّكُمْ كَيْدُهُمْ شَيْـًٔا ۗ اِنَّ اللّٰهَ بِمَا يَعْمَلُوْنَ مُحِيْطٌ
“Jika kamu bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka sedikitpun tidak mendatangkan kemudharatan kepadamu. Sesungguhnya Allah mengetahui segala apa yang mereka kerjakan.” (Q.S. Ali Imran: 120)
Adanya Makar adalah Keniscayaan dalam Perjuangan
Adanya persekongkolan, akal busuk dan tipu muslihat dalam upaya menyerang dan menjatuhkan para da’i di medan juang adalah sebuah keniscayaan. Telah menjadi sunnatullah di dalam dakwah bahwa bila muncul para da’i di suatu negeri untuk memberi bimbingan kepada rakyatnya, maka selalu ada pembesar-pembesar yang memusuhi para da’i itu serta pengikut-pengikutnya.
وَكَذٰلِكَ جَعَلْنَا فِيْ كُلِّ قَرْيَةٍ اَكٰبِرَ مُجْرِمِيْهَا لِيَمْكُرُوْا فِيْهَاۗ وَمَا يَمْكُرُوْنَ اِلَّا بِاَنْفُسِهِمْ وَمَا يَشْعُرُوْنَ
“Demikianlah Kami adakan pada tiap-tiap negeri penjahat-penjahat yang terbesar agar mereka melakukan tipu daya dalam negeri itu, dan mereka tidak memperdayakan melainkan dirinya sendiri, sedang mereka tidak menyadarinya.” (Q.S. Al-An’am: 123)
Di dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan bahwa menurut Mujahid dan Qatadah yang dimaksud akabara mujrimiha, penjahat-penjahat terbesar(nya), adalah pembesar-pembesar negeri tersebut.[1] Mengomentari ayat di atas, Muhammad Sulaiman Abdullah Al-Asyqar mengatakan: “Mereka adalah para pemimpin dan pembesar. Dan ketidaksenangan mereka kepada peringatan (yang diserukan para da’i, red) karena mereka menghendaki kerusakan.” [2]
Musuh-musuh dakwah itu melawan seruan perbaikan dan memusuhi orang-orang yang melakukan pembaharuan disebabkan kerakusan dan ambisi untuk selalu memiliki pengaruh di tengah-tengah masyarakat.
Dengan demikian, para da’i yang sedang berjuang beramar ma’ruf nahi munkar, harus selalu bersiap diri menghadapi resiko berupa makar yang dilancarkan musuh-musuh dakwah. Mereka harus sadar, dakwah yang hakiki pasti tidak akan pernah sepi dari ujian dan cobaan.
Mari kita buka lembaran sejarah[3]
Tercatat dalam sejarah, para ulama di masa lalu pun mengalami ujian dan cobaan karena bertahan dengan pendiriannya di hadapan para penguasa.
Abu Hanifah beberapa kali dipenjara oleh penguasa Daulah Umayyah dan Abbasiyah karena menolak jabatan yang ditawarkan kepadanya. Beliau menolak tawaran Gubernur Yazid bin Hubairah Al-Fazzari untuk menjadi Ketua urusan Baitul Mal, juga menolak tawarannya menjadi Qadi. Karena penolakannya itu beliau dijatuhi hukuman dera 14 kali cambukan dan 110 kali cambukan. Akibat dari pukulan itu muka dan seluruh badannya menjadi bengkak-bengkak. Hukuman cambuk itu sengaja untuk menghina Abu Hanifah. Walaupun demikian, Abu Hanifah sempat berkata. “Hukuman dera di dunia lebih ringan daripada hukuman neraka di akhirat nanti.”
Di masa berikutnya, Khalifah Ja’far Al-Manshur memaksanya menerima jabatan menjadi Qadi, tapi beliau tetap menolaknya sehingga dimasukkan kembali ke dalam penjara dan dijatuhi hukuman sebanyak 100 kali dera. Setiap pagi dipukul dengan cambuk sementara dileher beliau dikalung dengan rantai besi yang berat. Akhirnya beliau wafat dalam usia 70 tahun karena diracun di dalam penjara.
Abu Hanifah menolak semua tawaran yang diberikan oleh negara adalah karena beliau tidak merasa cocok dengan gaya pemerintahan yang mereka kendalikan.
Imam Malik pun mengalami siksaan. Sebabnya adalah karena beliau menolak mencabut fatwa bahwa talaq yang dipaksakan tidak sah. Fatwa ini bertentangan dengan ‘fatwa’ Gubernur Ja’far bin Sulaiman Al-Hasyimi yang menyatakan bahwa mereka yang tidak taat kepada kepemimpinannya akan terjatuh talak ke atas isterinya.
Imam Malik dihukum dengan dera dan diikat dengan tali dan dinaikkan ke atas punggung unta, lalu diarak keliling Kota Madinah. Kemudian Imam Malik dipaksa supaya menarik kembali fatwanya itu.
Mereka mengarak Imam Malik supaya merasa malu dan hilang pendiriannya. Tetapi Imam Malik masih tetap dengan pendiriannya itu. Beliau kemudian dihukum sebanyak 70 kali cambukan yang menyebabkan tulang belakangnya hampir patah. Kemudian ia berkata kepada sahabat-sahabatnya: “Aku dihukum dera begitu berat lantaran fatwaku. Demikian juga Said Al-Musayyid, Muhamad Al-Munkadir dan Rabiah telah dijatuhi hukuman lantaran fatwanya.”
Imam Al-Laits, mufti Mesir ketika itu, saat mendengar bahawa Imam Malik dihukum lantaran fatwanya ia berkata: “Aku mengharap semoga Allah mengangkat derajat Imam Malik atas setiap pukulan yang dijatuhkan kepadanya, menjadikan satu tingkat baginya masuk ke syurga.”
Imam Syafi’i juga mengalami cobaan di masa hidupnya. Saat beliau menjabat Sekretaris Gubernur di Yaman, banyak pihak yang dengki kepadanya. Pada masa itu Khalifah Harun Ar-Rasyid sedang melakukan penumpasan terhadap kaum Syiah yang melakukan pemberontakan karena ingin mendirikan negara Alawiyah. Pada saat itulah Imam Syafi’i difitnah sebagai pengikut Syiah, beliau termasuk yang ditangkap dan dibelenggu bersama tahanan lainnya dan disuruh berjalan kaki mulai dari Arab Selatan (Yaman) sampai ke Arab Utara (Baghdad), yang menempuh perjalanan selama dua bulan. Sampai di Baghdad belenggu belum dibuka, yang menyebabkan darah-darah hitam melekat pada rantai-rantai yang mengikat tangan mereka.
Namun Imam Syafi’i dapat terbebas dari fitnah setelah ia mampu mengklarifikasi tuduhan di hadapan Khalifah Harun Ar-Rasyid, Imam Syafi’i membacakan firman Allah SWT, “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasiq yang membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” Kemudian beliau berkata, “Ya Amirul Mukminin, sesungguhnya berita yang sampai kepada baginda itu adalah dusta belaka. Sesungguhnya saya ini menjaga kehormatan Islam. Dan bagindalah yang berhak memegang adab kitab Allah karena baginda adalah putera bapak saudara Rasulullah SAW yaitu Abbas. Kita sama-sama menghormati keluarga Rasulullah. Maka kalau saya dituduh Syiah karena saya sayang dan cinta kepada Rasulullah dan keluarganya, maka demi Allah, biarlah umat Islam sedunia ini menyaksikan bahwa saya adalah Syiah. Dan tuan-tuan sendiri tentunya sayang dan cinta kepada keluarga Rasulullah.”
Selanjutnya, ujian dan cobaan juga menimpa Ahmad bin Hambal. Ia hidup di zaman kekuasaan kaum Mu’tazilah yang berpendapat bahawa Al-Quran itu adalah makhluk. Saat itu siapa saja yang bertentangan pendirian dengan pihak pemerintah tentu akan mendapat siksaan. Ahmad bin Hambal termasuk pihak yang menolak pendapat ini, ia kemudian ditangkap dan dihadapkan ke hadapan Khalifah Al-Ma’mun. Ahmad bin Hambal dipanggil bersama tiga orang ulama yang lainnya, yaitu Hassan bin Muhammad Sajah, Muhammad bin Nuh dan Ubaidah bin Umar. Diantara empat orang ulama itu, hanya Ahmad bin Hambal dan Muhammad bin Nuh yang tegas menjawab bahwa Quran itu bukanlah makhluk. Keduanya lalu dimasukkan ke dalam penjara. Setelah beberapa hari dalam penjara, datang surat dari Tharsus yang meminta supaya keduanya dibawa ke sana dengan dirantai. Mereka berdua benar-benar dirantai kedua kaki dan tangannya dan dipertontonkan di hadapan orang ramai. Kemudian dibawa ke Tharsus dan dimasukkan ke dalam penjara.
Ahmad bin Hambal dihadapkan di hadapan raja dan ditanyakan kepadanya tentang pendiriannya. Namun beliau tetap menyampaikan bahwa Al-Quran itu ialah Kalamullah bukan makhluk. Setelah itu ia dijatuhi hukuman cambuk.
Ketika cambuk yang pertama mengenainya, ia mengucapkan “Bismillah.” Ketika cambuk yang kedua, ia mengucapkan “La haula walaa quwwata illaa billah”. Ketika cambuk yang ketiga kalinya ia mengucapkan “Al-Quran kalaamullahi ghairu makhluk” (Al-Quran adalah kalam Allah bukan makhluk). Dan ketika pukulan yang keempat, beliau membaca surah At-Taubah ayat 51, “Katakanlah: Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang ditetapkan oleh Allah bagi kami.”
Cambukan itu menyebabkan darah merah mengalir dari seluruh badan beliau. Akhirnya beliau dimasukkan ke dalam penjara kembali.
Suatu saat Ahmad bin Hambal dibawa ke Kota Anbar dengan tangan yang terbelenggu, seorang yang alim bernama Abu Ja’far Al-Anbari menghampiri beliau. Ahmad bin Hambal bertanya kepadanya: “Hai Abu Ja’far apakah engkau susah melihat keadaanku?” Abu Ja’far menjawab, “Tidak wahai Imam, engkau adalah pemuka umat, karena umat manusia ada di belakangmu. Demi Allah, bila engkau mau menjawab bahwa Quran itu makhluk, pastilah umat akan mengikutimu, dan bila engkau tidak mau menjawab, maka umat juga tidak mau menjawab seperti apa yang ingin engkau jawab. Bila engkau tidak mati dibunuh orang, pasti engkau juga akan mati dengan cara yang lain. Maka janganlah engkau mau menuruti kehendak mereka.”
Mendengar nasehat Abu Ja’far itu beliau mencucurkan air mata dan berkata: “Masya-Allah!, Masya-Allah!, Masya-Allah!”
Beliau pun dikunjungi oleh seorang mantan narapidana bernama Abdul Haitsam Al-Ayyar dan berkata kepada beliau: “Wahai Imam, saya ini seorang pencuri yang didera dengan beribu-ribu cambukan, namun saya tidak mau mengakui perbuatan saya, padahal saya menyadari bahwa saya salah. Maka janganlah Imam gelisah dalam menerima dera, sebab engkau dalam kebenaran.”
Ketika Khalifah Al-Ma’mun meninggal dunia ia diganti oleh saudaranya yang bernama Ishaq Muhammad bin Harun Al-Rasyid yang bergelar dengan Al-Mu’tashimbillah. Kebijakan negara yang menyiksa para ulama adalah atas dasar hasutan seorang ulama negara yang bernama Qadhi Qudhoti Ahmad bin Abi Daud. Saat negara dipegang oleh Al-Mu’tasim, Ahmad bin Daud masih tetap menjadi qadi negara. Ia pernah mendebat Ahmad bin Hambal, tapi tidak dapat mengemukakan dalil yang lebih kuat.
Pengadilan terhadap Ahmad bin Hambal pernah dilakukan di bulan Ramadhan. Khalifah Al-Mu’tashim bertanya: “Al-Quran itu adalah baru, bagaimana pendapat anda.” Ahmad bin Hambal menjawab, “Tidak!, Al-Quran adalah kalam Allah, saya tidak sejauh itu membahasnya karena di dalam Al-Quran dan hadith tidak disuruh membahas soal tersebut.”
Beliau kemudian dicambuk sampai berdarah. Al-Mu’tashim berkata: “Kalau kamu merasa sakit dengan pukulan ini, maka ikutilah saya, dan akuilah bahwa Al-Quran itu makhluk, supaya kamu selamat.”
Penderaan pun terus berlangsung, sehingga Ahmad bin Hambal merasa bahwa tali kain yang menutup auratnya putus dan hampir melorot. Beliau kemudian berdoa: “Ya Allah! Atas namaMu yang menguasai Arsy, jika Engkau mengetahui bahwa saya adalah benar, maka janganlah Engkau jatuhkan penutup auratku.” Ketika itu pula kain beliau yang akan jatuh itu naik ke atas kembali sehingga aurat beliau tidak terlihat oleh orang banyak.
Penyiksaan terhadap Ahmad bin Hambal baru berakhir setelah selesai maghrib. Para hakim dan orang-orang hadir kemudian berbuka puasa di hadapannya. Sementara ia dibiarkan saja tidak diberi sesuatu makanan untuk berbuka. Demikianlah seterusnya, pada hari yang kedua pun beliau masih tetap didera sampai seluruh badannya mencucurkan darah. Pada hari ketiga beliau masih tetap didera sampai akhirnya jatuh pingsan.
Alhamdulillah, pada masa pemerintahan Khalifah Al-Mutawakkil, Ahmad bin Hambal dibebaskan dari hukuman, dan faham negara tentang Al-Quran adalah makhluk dicabut.
Selain para ulama tersebut, masih banyak lagi contoh lainnya. Ada Ibnu Taimiyah yang keluar masuk penjara karena dianggap ajarannya sesat oleh penguasa dan ulama-ulama negara pada masanya; ada Hasan Al-Banna yang dibunuh karena dianggap mengancam pengaruh para penguasa, sementara murid-muridnya terus menerus ditindas hingga lebih dari 80 tahun lamanya; ada Sayyid Qutb yang dihukum gantung oleh rezim Jamal Abdun Nasr karena dituduh akan melakukan makar kepada pemerintah. Di dalam negeri, kita mengenal Buya Hamka yang dipenjara karena tuduhan berencana menggulingkan Presiden Soekarno.
Ringkasnya—makar, ujian, dan cobaan adalah keniscayaan di medan juang. Bahkan ia adalah tabiat jalan dakwah sepanjang masa. Dulu, sekarang, dan di masa yang akan datang. Oleh karena itu wahai para aktivis dakwah, tegarlah dan bersabarlah. Teruslah melangkah. Jangan cengeng dan jadi pecundang.
Bersabarlah!
Makar yang dilakukan musuh dakwah kadangkala terasa terlalu pahit dan menyakitkan. Sangat menjengkelkan dan menyesakkan dada. Tapi, Allah Ta’ala tidak menghendaki kita larut dalam kesedihan. Allah Ta’ala justru memerintahkan kita untuk bertahan ‘menikmati’ makar, ujian dan cobaan itu. Seraya memohon kepada-Nya selalu diberi kesabaran.
Allah Ta’ala berfirman,
وَاصْبِرْ وَمَا صَبْرُكَ اِلَّا بِاللّٰهِ وَلَا تَحْزَنْ عَلَيْهِمْ وَلَا تَكُ فِيْ ضَيْقٍ مِّمَّا يَمْكُرُوْنَ
“Bersabarlah, dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan.” (Q.S. An-Nahl: 127)
Sabar dan takwa adalah senjata penawar yang paling ampuh dan cespleng dalam menghadapi makar, ujian dan cobaan di jalan dakwah. Para konspirator akan dibuat ‘mati gaya’ dan kebingungan. Bagaimana tidak, karena kesabaran dan ketakwaan telah membuat para pejuang kebal terhadap rasa sakit dan kepahitan. Mereka jadi lebih bisa bertahan dan lebih tegar.
وَاِنْ تَصْبِرُوْا وَتَتَّقُوْا لَا يَضُرُّكُمْ كَيْدُهُمْ شَيْـًٔا ۗ اِنَّ اللّٰهَ بِمَا يَعْمَلُوْنَ مُحِيْطٌ
“Jika kamu bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka sedikitpun tidak mendatangkan kemudharatan kepadamu. Sesungguhnya Allah mengetahui segala apa yang mereka kerjakan.” (Q.S. Ali Imran: 120)
Makar tidak akan menang di hadapan Agama Allah
Sekali lagi perlu ditegaskan, makar atau tipu daya musuh; ujian dan cobaan di jalan dakwah, harus kita ‘nikmati’ dengan sabar. Karena pada akhirnya, kitalah yang akan memperoleh kemenangan insya Allah…
لَقَدِ ابْتَغَوُا الْفِتْنَةَ مِنْ قَبْلُ وَقَلَّبُوْا لَكَ الْاُمُوْرَ حَتّٰى جَاۤءَ الْحَقُّ وَظَهَرَ اَمْرُ اللّٰهِ وَهُمْ كٰرِهُوْنَ
“Sesungguhnya dari dahulupun mereka telah mencari-cari kekacauan dan mereka mengatur berbagai macam tipu daya untuk (merusakkan)mu, hingga datanglah kebenaran (pertolongan Allah) dan menanglah agama Allah, padahal mereka tidak menyukainya.” (Q.S. At-Taubah: 48)
Terlebih lagi Allah Ta’ala telah menegaskan bahwa tipu muslihat dan makar musuh adalah berada di dalam kekuasaan Allah (Q.S. 13: 42). Ia lemah dan akan dilemahkan (Q.S. 3: 46, 8: 18). Akan digagalkan oleh Allah Ta’ala (Q.S. 8: 30), dan menjadi sia-sia (Q.S. 40: 25). Bahkan Allah Ta’ala akan membalas makar musuh-musuh-Nya (Q.S. 3: 54, 43: 79). Sehingga tipu daya yang mereka lakukan malah akan berbalik kepada diri mereka sendiri (Q.S. 52: 42).
Kesimpulan
Adanya makar, ujian dan cobaan adalah keniscayaan dalam perjuangan dakwah. Ia adalah sunnatullah bagi mereka yang bergerak beramar ma’ruf nahi munkar. Tidak ada pilihan lain dalam menghadapi makar, ujian dan cobaan kecuali dengan bersabar dan bertakwa kepada Allah Ta’ala. Dengan itulah mereka akan memperoleh kemenangan di dunia dan akahirat.
Catatan Kaki:
[1] Lihat: Tafsir Ibnu Katsir (tahqiq DR. Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh), hal. 285, Pustaka Imam Syafi’i.
[2] Zubdatut Tafsir, Muhammad Sulaiman Abdullah Al-Asyqar, hal. 143, Darun Nafais Yordania.
[3] Kisah-kisah tentang ujian dan cobaan yang dihadapi para ulama pada bagian ini diringkas dari buku: 1001 Duka, Himpunan Kisah-kisah Menyayat Hati, Muhammad Isa Selamat, Darul Nu’man