Di pembahasan sebelumnya kita telah mengetahui bahwa ucapan syahadatain sudah mencukupi bagi diakuinya seseorang sebagai seorang muslim.
Namun, dalam pandangan di sisi Allah Ta’ala, kita harus berupaya memenuhi syarat-syarat diterimanya syahadatain tersebut, yakni: mendasarinya dengan al-ilmu (pengetahuan), al-yaqin (keyakinan), al-ikhlash (keikhlasan), dan as-sidq (kejujuran).
Selanjutnya, selain keempat syarat di atas, syahadat juga harus didasari dengan:
Al-Mahabbah (cinta)
Syahadat yang kita ucapkan hendaknya didasari rasa cinta yang menghilangkan kebencian dan rasa tidak suka. Maknanya adalah bahwa syahadat tersebut lahir dari keterpautan hati kepada Allah Ta’ala.
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ ۖ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ ۗ
“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah.” (QS. Al-Baqarah, 2: 165)
Al-Qobul (penerimaan)
Allah menceritakan keadaan orang kafir Quraisy yang tidak mau menerima dakwah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam firman-Nya,
إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ يَسْتَكْبِرُونَ وَيَقُولُونَ أَئِنَّا لَتَارِكُو آلِهَتِنَا لِشَاعِرٍ مَجْنُونٍ
“Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: ‘la ilaha illallah’ (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah) mereka menyombongkan diri. Dan mereka berkata: ‘Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami karena seorang penyair gila?’” (QS. As Shaffat, 37: 35-36)
Jika seseorang di lisannya telah bersyahadat, namun di dalam hati atau perilakunya memperlihatkan kesombongan, misalnya tidak mau meninggalkan perbuatan syirik atau menentang kewajiban shalat, maka bisa dikatakan sebenarnya orang itu belum menerima kandungan syahadatain.
Al-Inqiyad (kepatuhan)
Syahadat memiliki konsekuensi dalam segala aspek kehidupan seorang muslim. Seorang yang mengucapkan laa ilaha illallah haruslah patuh terhadap syari’at Allah Ta’ala serta tunduk dan berserah diri kepada-Nya.
Allah Ta’ala berfirman,
وَمَنْ يُسْلِمْ وَجْهَهُ إِلَى اللَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى وَإِلَى اللَّهِ عَاقِبَةُ الْأُمُورِ
“Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh. Dan hanya kepada Allah-lah kesudahan segala urusan.” (QS. Luqman, 31: 22)
Teladan dalam kepatuhan bisa kita lihat dari sikap salaful ummah ini, diantaranya tergambar dari riwayat berikut ini:
عَنْ صَفِيَّةَ بِنْتِ شَيْبَةَ أَنَّ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا كَانَتْ تَقُولُ لَمَّا نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ { وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ } أَخَذْنَ أُزْرَهُنَّ فَشَقَّقْنَهَا مِنْ قِبَلِ الْحَوَاشِي فَاخْتَمَرْنَ بِهَا
Dari Shafiyyah binti Syaibah bahwa ‘Aisyah radliallahu ‘anha pernah berkata: “Tatkala turun ayat: ‘Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya..’ (An-Nuur: 31). Maka mereka langsung mengambil sarung-sarung mereka dan memotongnya dari bagian bawah lalu menjadikannya sebagai kerudung mereka”. (HR. Bukhari)
Begitulah muslimah di masa lalu merespon perintah Allah Ta’ala. Mereka bersegera menyambutnya dengan patuh.
Contoh lainnya adalah sikap teladan Abu Thalhah. Dalam kitab Shahih Al-Bukhari dan Muslim dari Anas radhiallaahu anhu berkata: Abu Thalhah merupakan orang Anshar yang paling banyak hartanya –berupa pohon-pohon kurma– di Madinah. Harta yang paling ia sukai adalah Bairuha’ yang berada di depan masjid, Rasulullah shallallaahu alaihi wasalam sering memasukinya dan meminum airnya yang baik.
Ketika turun ayat:
لَن تَنَالُوا۟ ٱلْبِرَّ حَتَّىٰ تُنفِقُوا۟ مِمَّا تُحِبُّونَ ۚ وَمَا تُنفِقُوا۟ مِن شَىْءٍ فَإِنَّ ٱللَّهَ بِهِۦ عَلِيمٌ
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS. Ali Imran, 3: 92).
Abu Thalhah berdiri di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata: Sungguh harta yang paling aku sukai adalah Bairuha’, aku shadaqahkan untuk Allah, aku mengharap kebaikan dan simpanan (pahalanya) di sisi Allah, pergunakanlah wahai Rasul sebagaimana Allah menentukan pada Anda.”
Anas berkata: “Kemudian Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda: ‘Engkau telah mendengar apa yang aku katakan dan aku berpendapat sebaiknya engkau menjadikannya untuk kerabat terdekatmu’.” Abu Thalhah berkata: “Akan aku lakukan wahai Rasulullah.” Kemudian Abu Thalhah membagi untuk kerabatnya dan anak-anak pamannya.
Begitulah kesempurnaan Iman. Begitulah syahadat yang benar. Ia terealisasikan dalam bentuk al-inqiyad (kepatuhan) terhadap perintah Allah Ta’ala.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَيُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُوْنَ هَوَاهُ تَبَعًا لِمَا جِئْتُ بِهِ
“Tidaklah sempurna iman kalian sehingga hawa nafsunya tunduk mengikuti ajaranku.” (H.R. Thabrani).
Wallahu A’lam