Syarat-syarat dalam Mengambil Manfaat dari Al-Qur’an
Dalam pembahasan Asmaul Qur’an kita telah mengetahui bahwa Al-Qur’an adalah kitab petunjuk (al-huda), pembeda (al-furqan), rahmat (ar-rahmah), cahaya (an-nur), roh (ar-ruh), obat (asy-syifa), kebenaran (al-haq), penjelasan (al-bayan), pelajaran (al-mauidzah), dan pemberi peringatan (ad-dzikr).
Ringkasnya, kita dapat menyimpulkan bahwa Al-Qur’an adalah kitab Allah Ta’ala yang mengandung banyak keberkahan bagi manusia.
Allah Ta’ala berfirman,
وَهَذَا كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ مُبَارَكٌ
“Dan ini (Al-Qur’an) adalah kitab yang telah Kami turunkan yang diberkahi…” (QS. Al-An’am, 8: 92)
Namun untuk mengambil keberkahan dan manfaat petunjuk Al-Qur’an, penting bagi kita untuk mengetahui syarat-syaratnya.
Pertama, al-intifa-ul mawani’ (menghilangkan faktor-faktor yang menghambat pengambilan manfaat Al-Qur’an).
Al-Ghazali menyebutnya dengan: at-takhally min mawani’il-fahm, melepaskan diri dari hal-hal yang menghambat pemahaman. Banyak orang yang tidak mampu memahami Al-Qur’an karena berbagai sebab dan tabir yang sengaja dipasang setan di atas hati mereka, sehingga mereka tidak bisa melihat rahasia-rahasianya.
Tabir dan penghambat pemahaman itu ada empat macam:
- Terlalu fokus pada bagaimana mengucapkan huruf-huruf sesuai dengan makhrajnya. Sehingga sibuk dengan mengulang-ulang membaca huruf, tapi lupa memperhatikan maknanya.
- Ber-taqlid kepada suatu paham atau madzhab yang dianutnya, membatasi diri dan fanatik kepadanya.
- Terus-menerus melakukan suatu dosa -terutama dosa besar- atau tergoda dengan nafsu dunia yang diikutinya. Yang demikian ini menciptakan kegelapan dan kepekatan di hati, seperti halnya kotoran di cermin, sehingga menghalangi kejelasan kebenaran yang tampak di depannya. Sementara makna-makna Al-Qur’an adalah gambaran-gambaran yang hadir di depan cermin itu.
إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ
“Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran.” (QS. Ar-Ra’d, 13:19)
Siapa yang lebih mementingkan tipu daya dunia daripada kenikmatan akhirat, bukan termasuk orang-orang yang berakal. Karena itulah rahasia-rahasia Al-Kitab tidak akan tersingkap.
Diantara dalil yang menguatkan apa yang dikatakan Al-Imam Al-Ghazali itu ialah firman Allah Ta’ala,
سَأَصْرِفُ عَنْ آيَاتِيَ الَّذِينَ يَتَكَبَّرُونَ فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ
“Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan diri di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku.” (QS. Al-A’raf, 7: 146).
Menurut Sufyan bin Uyainah, artinya: “Kami akan melepaskan pemahaman tentang Al-Qur’an dari mereka.”
- Beranggapan bahwa tidak ada makna lain dari kalimat-kalimat Al-Qur’an, kecuali dari apa yang diperoleh dari Ibnu Abbas, Mujahid atau lain-lainnya.[1]
Syaikh Yusuf Qaradhawi mengatakan bahwa para sahabat pun saling berbeda pendapat tentang makna Al-Qur’an, hal ini menjadi bukti bahwa mereka pun menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan pendapat dan ijtihad mereka pribadi. Yang perlu diperhatikan bahwa banyak perkataan atau pendapat para sahabat atau tabi’in dalam masalah tafsir, bukan merupakan pembatasan yang rinci terhadap makna yang dikehendaki dari lafazh, melainkan hanya sekedar penggambaran. Hal ini diingatkan oleh Ibnu Taimiyah. Contoh:
- Ash-shirathal mustaqim mereka tafsiri dengan makna Islam, Al-Qur’an, As-Sunnah, Sunnah khulafa’ur Rasyidun, jalan ubudiyah, atau ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.
- Lahwal hadits diartikan nyanyian atau lagu. Yang demikian itu penggambaran dan bukan penafsiran.[2]
Kedua, at-ta-addubu ma’ahu (beradab terhadapnya).
Diantara bentuk adab terhadap Al-Qur’an adalah:
- Husnun niyyah (niat yang baik).
Hendaklah interaksi dengan Al-Qur’an dilandasi niat yang ikhlas mengharapkan ridha Allah Ta’ala, bukan berniat mencari dunia atau mencari pujian manusia. Karena Allah Ta’ala tidak akan menerima -bahkan murka- terhadap amal yang dilandasi riya.
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata,
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ أَوَّلَ النَّاسِ يُقْضَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَيْهِ رَجُلٌ اسْتُشْهِدَ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا قَالَ قَاتَلْتُ فِيكَ حَتَّى اسْتُشْهِدْتُ قَالَ كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ قَاتَلْتَ لِأَنْ يُقَالَ جَرِيءٌ فَقَدْ قِيلَ ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ وَرَجُلٌ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ وَعَلَّمَهُ وَقَرَأَ الْقُرْآنَ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا قَالَ تَعَلَّمْتُ الْعِلْمَ وَعَلَّمْتُهُ وَقَرَأْتُ فِيكَ الْقُرْآنَ قَالَ كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ الْعِلْمَ لِيُقَالَ عَالِمٌ وَقَرَأْتَ الْقُرْآنَ لِيُقَالَ هُوَ قَارِئٌ فَقَدْ قِيلَ ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ وَرَجُلٌ وَسَّعَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَأَعْطَاهُ مِنْ أَصْنَافِ الْمَالِ كُلِّهِ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا قَالَ مَا تَرَكْتُ مِنْ سَبِيلٍ تُحِبُّ أَنْ يُنْفَقَ فِيهَا إِلَّا أَنْفَقْتُ فِيهَا لَكَ قَالَ كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ فَعَلْتَ لِيُقَالَ هُوَ جَوَادٌ فَقَدْ قِيلَ ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ ثُمَّ أُلْقِيَ فِي النَّارِ
“Saya pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Sesungguhnya manusia yang pertama kali dihisab pada hari kiamat ialah seseorang yang mati syahid, lalu diperlihatkan kepadanya kenikmatan sehingga ia mengetahuinya dengan jelas, lantas Dia bertanya: ‘Apa yang telah kamu lakukan di dunia wahai hamba-Ku?’ Dia menjawab: ‘Saya berjuang dan berperang demi Engkau ya Allah sehingga saya mati syahid.’ Allah berfirman: ‘Dusta kamu, sebenarnya kamu berperang bukan karena untuk-Ku, melainkan agar kamu disebut sebagai orang yang berani. Kini kamu telah menyandang gelar tersebut.’ Kemudian diperintahkan kepadanya supaya dicampakkan dan dilemparkan ke dalam neraka. Dan didatangkan pula seseorang yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya, lalu diperlihatkan kepadanya kenikmatan sehingga ia mengetahuinya dengan jelas, Allah bertanya: ‘Apa yang telah kamu perbuat?’ Dia menjawab, ‘Saya telah belajar ilmu dan mengajarkannya, saya juga membaca Al-Qur’an demi Engkau.’ Allah berfirman: ‘Kamu dusta, akan tetapi kamu belajar ilmu dan mengajarkannya serta membaca Al-Qur’an agar dikatakan seorang yang mahir dalam membaca, dan kini kamu telah dikatakan seperti itu’, kemudian diperintahkan kepadanya supaya dia dicampakkan dan dilemparkan ke dalam neraka. Dan seorang laki-laki yang diberi keluasan rizki oleh Allah, kemudian dia menginfakkan hartanya semua, lalu diperlihatkan kepadanya kenikmatan sehingga ia mengetahuinya dengan jelas. Allah bertanya: ‘Apa yang telah kamu perbuat dengannya?’ Laki-laki itu menjawab, ‘Saya tidak meninggalkannya sedikit pun melainkan saya infakkan harta benda tersebut di jalan yang Engkau ridlai.’ Allah berfirman: ‘Dusta kamu, akan tetapi kamu melakukan hal itu supaya kamu dikatakan seorang yang dermawan, dan kini kamu telah dikatakan seperti itu.’ Kemudian diperintahkan kepadanya supaya dia dicampakkan dan dilemparkan ke dalam neraka.” (HR. Muslim)
- Thaharatul qalbi wal jasadi (membersihkan hati dan jasad).
Sebelum berinteraksi dengan Al-Qur’an, kita hendaknya bersungguh-sungguh membersihkan hati; selain dengan husnun niyyah, hati pun harus dibersihkan dari kotoran-kotoran yang menempel padanya. Diantaranya adalah kesombongan, yakni merasa diri hebat sehingga menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
“Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.“ (HR. Muslim)
Kotoran hati yang lainnya adalah dosa dan maksiat, maka bersihkanlah dengan memperbanyak istighfar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ العَبْدَ إِذَا أَخْطَأَ خَطِيئَةً نُكِتَتْ فِي قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ ، فَإِذَا هُوَ نَزَعَ وَاسْتَغْفَرَ وَتَابَ سُقِلَ قَلْبُهُ ، وَإِنْ عَادَ زِيدَ فِيهَا حَتَّى تَعْلُوَ قَلْبَهُ ، وَهُوَ الرَّانُ الَّذِي ذَكَرَ اللَّهُ ” كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ”
”Sesungguhnya seorang hamba jika ia melakukan kesalahan, maka akan tercemari hatinya dengan satu bercak hitam. Jika ia menghentikan kesalahannya dan beristighfar (memohon ampun) serta bertaubat, maka hatinya menjadi bersih lagi. Jika ia melakukan kesalahan lagi, dan menambahnya maka hatinya lama-kelamaan akan menjadi hitam pekat. Inilah maksud dari ”al-Raan” (penutup hati) yang disebut Allah dalam firman-Nya: ”Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka.” [Al-Muthoffifin: 14] ” (Hadist Riwayat Tirmidzi (No : 3334) dan Ahmad ( 2/ 297 ). Berkata Tirmidzi : “Ini adalah hadist Hasan Shahih).
Sedangkan membersihkan jasad diantaranya dengan bersiwak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ أَفْوَاهَكُمْ طُرُقٌ لِلْقُرْآنِ، فَطَيِّبُوهَا بِالسِّوَاكِ
“Sesungguhnya mulut-mulut kalian adalah jalan bagi Al Qur`an, maka harumkanlah dengan bersiwak.” (Sunan Ibnu Majah, no.291)
Selain membersihkan mulut dengan bersiwak, maka badan, pakaian dan tempat membaca al-Qur’an pun hendaknya benar-benar bersih dan suci.
Saat kita menyentuh mushaf, disunnahkan dalam kondisi berwudhu.
عَنْ أَبِى بَكْرِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَتَبَ إِلَى أَهْلِ الْيَمَنِ كِتَابًا فَكَانَ فِيهِ لاَ يَمَسُّ الْقُرْآنَ إِلاَّ طَاهِرٌ
Dari Abu Bakr bin Muhammad bin ‘Amr bin Hazm dari ayahnya dari kakeknya, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menulis surat untuk penduduk Yaman yang isinya, “Tidak boleh menyentuh Al-Qur’an melainkan orang yang suci”. (HR. Daruquthni no. 449. Hadits ini dinilai shahih oleh Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa’ no. 122).
- Tafrighun nafsi ‘an syawaghiliha (mengkhususkan diri sibuk dengannya).
Hendaknya setiap muslim memiliki waktu khusus bersama Al-Qur’an dan menyibukkan diri dengannya; tidaklah pantas bagi seorang muslim mengacuhkan Al-Qur’an—yakni enggan membaca dan mempelajarinya.
Abu Sa’id berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الرَّبُّ عَزَّ وَجَلَّ مَنْ شَغَلَهُ الْقُرْآنُ وَذِكْرِي عَنْ مَسْأَلَتِي أَعْطَيْتُهُ أَفْضَلَ مَا أُعْطِي السَّائِلِينَ وَفَضْلُ كَلَامِ اللَّهِ عَلَى سَائِرِ الْكَلَامِ كَفَضْلِ اللَّهِ عَلَى خَلْقِهِ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ
“Rabb Azza wa Jalla berfirman; ‘Barangsiapa disibukkan oleh Al Qur`an dan berdzikir kepadaku untuk memohon kepadaKu, maka Aku akan memberikan kepadanya sesuatu yang terbaik dari yang Aku berikan kepada orang-orang yang memohon, dan kelebihan kalamullah (Al Qur`an) dari seluruh kalam adalah seperti kelebihan Allah dari seluruh makhlukNya.” (HR. At-Tirmidzi).
- Hadhrul fikri ma’al qur’an (hadirnya pikiran bersama Al-Qur’an).
Kita harus berupaya mencermati dan memikirkan ayat-ayat Al-Qur’an, yakni men-tadabburi-nya dengan sungguh-sungguh.
Allah Ta’ala berfirman,
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ
“Ini adalah sebuah kitab yang penuh dengan berkah, Kami turunkan kepadamu supaya mereka memperhatikan ayat-ayat-Nya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.” (QS. Shad, 38: 29)
Ketiga, husnut talaqqi (baik dalam mengambil manfaat dari Al-Qur’an).
- Bil-qalbil khasyi’ (dengan hati yang khusyu).
Allah Ta’ala berfirman,
أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Al-Hadid, 57: 16)
Seperti sudah disebutkan di pembahasan sebelumnya mengenai khusyu’, bahwa Ibnu Rajab berkata: “Asal (sifat) khusyu’ adalah kelembutan, ketenangan, ketundukan, dan kerendahan diri dalam hati manusia (kepada Allah Ta’ala).”
- Bit-ta’dzim (disertai pengagungan).
Pengagungan yang terpenting adalah dengan cara mengagungkan perintah dan larangan yang terkandung di dalam Al-Qur’an. Pengagungan juga nampak dari gerak-gerik lahiriyah, seperti disebutkan firman Allah Ta’ala,
إِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ مِن قَبْلِهِ إِذَا يُتْلَىٰ عَلَيْهِمْ يَخِرُّونَ لِلْأَذْقَانِ سُجَّدًا
“Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud.“ (QS. Al-Israa’, 17: 107).
Juga dalam firman-Nya,
إِذَا تُتْلَىٰ عَلَيْهِمْ آيَاتُ الرَّحْمَـٰنِ خَرُّوا سُجَّدًا وَبُكِيًّا
“Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis. “(QS. Maryam,[19: 58).
Diriwayatkan dengan sanad yang jayyid bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اُتْلُوْا الْقُرْآنَ وَابْكُوْا. فَإِنْ لَمْ تَبْكُوْا فَتَبَاكُوْا
“Bacalah Al-Qur’an dan menangislah. Apabila kamu tidak bisa menangis, maka berpura-puralah menangis.” (HR. Ibnu Majah)
- Lit-tanfizh (untuk melaksanakannya).
Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَنْفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً يَرْجُونَ تِجَارَةً لَنْ تَبُورَ
“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi.” (QS. Fathir, 35: 29)
Mengenai ayat ini Al-Qurthubi berkata: “Orang-orang yang membaca dan mengetahui serta mengamalkan isi Al-Qur’an yaitu mereka yang mengerjakan shalat fardhu dan yang sunnah demikian juga dalam berinfaq.”
Sedangkan Ibnu Katsir berkata: “Allah Subhaanahu wa Ta’ala mengabarkan keadaan hamba-hamba-Nya yang mukmin yaitu mereka yang membaca kitab-Nya, beriman dengannya, dan beramal sesuai dengan yang diperintahkan seperti mengerjakan shalat dan menunaikan zakat.”
Keempat, al-iltifatu ‘ilal ahdafil asasiyyah (berorientasi kepada tujuan asasi Al-Qur’an).
Diantara tujuan asasi diturunkannya Al-Qur’an adalah sebagai berikut:
- Al-hidayatu ilallah (petunjuk menuju kepada Allah).
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ
“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Yunus, 10: 57)
Orientasi belajar dan mengajar Al-Qur’an bukanlah pujian dari manusia, bukan gelar, dan bukan pula untuk pamer ‘otot-otot intelektual’ di hadapan manusia.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ يُبَاهِي بِهِ الْعُلَمَاءَ ، أَوْ يُمَارِي بِهِ السُّفَهَاءَ ، أَوْ يَصْرِفُ أَعْيُنَ النَّاسِ إِلَيْهِ ، تَبَوَّأَ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Barangsiapa menuntut ilmu hanya ingin digelari ulama, untuk berdebat dengan orang bodoh, supaya dipandang manusia, maka silakan ia mengambil tempat duduknya di neraka.” (HR. Hakim).
- Takwinu syakhshiyatil islamiyah (membentuk pribadi islami).
Karenanya, interaksi dengan Al-Qur’an tidak boleh berhenti sampai pada pengkajian semata, tetapi harus diorientasikan kepada pembentukan kepribadian islami.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ صَالِحَ الأَخْلاَقِ
“Bahwasanya aku diutus adalah untuk menyempurnakan kebaikan akhlak.” (HR. Ahmad).
- Qiyadatun basyariyah (membimbing dan memandu manusia).
Al-Qur’an harus kita hadirkan dalam kehidupan, kita tegakkan dalam seluruh aspeknya, dan menjadikannya satu-satunya petunjuk serta panduan manusia. Oleh karena itu, saat berinteraksi dengan Al-Qur’an, orientasikanlah agar ia bisa hadir sebagai panduan dalam keseharian kita, keluarga kita, tetangga kita, dan masyarakat kita.
Agar manusia terbimbing dengan Al-Qur’an, harus ada di tengah-tengah mereka orang-orang yang lantang menyerukannya.
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran, 3: 104)
- Takwinul mujtama’il islamiy (membentuk masyarakat Islam), yaitu masyarakat dakwah yang menegakkan nilai-nilai iman.
Allah Ta’ala berfirman,
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imran, 3: 110)
Dari uraian di atas dapat kita simpulkan, berinteraksi dengan Al-Qur’an bukanlah hanya sekedar membaca, memahami, menghafal, dan mengamalkannya secara pribadi, namun harus pula diarahkan agar ia membumi.
Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَعْلَمُونَ
“Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.” (QS. Saba, 34 : 28)
Kelima, ittiba’u kaifiyati ta’amulis shahabah (mengikuti tata cara interaksi para sahabat dengan Al-Qur’an).
Generasi sahabat adalah generasi terbaik. Mereka adalah orang-orang yang telah diberi nikmat yang begitu besar oleh Allah Ta’ala, karena telah mereguk segarnya ajaran Islam dari sumber mata air pertama, madrasah kenabian, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
خَيْرَ أُمَّتِـي قَرْنِي ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
“Sebaik-baik umatku adalah pada masaku. Kemudian orang-orang yang setelah mereka (generasi berikutnya), lalu orang-orang yang setelah mereka.” (Shahih Al-Bukhari, no. 3650)
Bagaimanakah generasi terbaik ini berinteraksi dengan Al-Qur’an?
- An-Nadzratul kuliyyah (pandangan yang menyeluruh).
Para sahabat memiliki pandangan yang menyeluruh terhadap ayat-ayat Al-Qur’an karena mereka mengetahui konteks sebuah ayat ketika diturunkan kepada mereka.
Diriwayatkan dari Ubaid dari Ibrahim At-Tamimi, ia berkata, “Umar suatu hari duduk sendiri, dan merenung dalam dirinya, mengapa umat ini akan berbeda-beda pendapatnya sedangkan Nabinya satu, dan kiblatnya satu?”
Ibnu Abbas berkata, ‘Wahai Amirul mu’minin, Al-Qur’an diturunkan kepada kita, dan kita membacanya, serta mengetahui mengapa ia diturunkan. Sedangkan orang setelah kita adalah orang-orang yang membaca Al-Qur’an, namun tidak mengetahui tentang apa ia diturunkan, kemudian mereka mengutarakan pendapat tentang hal itu. Dan jika mereka mulai mengeluarkan pendapat maka mereka pun berselisih pendapat, dan jika mereka telah berselisih pendapat, mereka akan berperang.’
Lalu Umar membentak dan menghardiknya. Ibnu Abbas pun pergi. Setelah itu Umar kembali memikirkan perkataan Ibnu Abbas tadi, dan memahaminya, kemudian ia memerintahkan agar memanggil Ibnu Abbas kembali, dan selanjutnya ia berkata kepadanya, “Ulangilah apa yang engkau katakan tadi.” Dan ia pun mengulanginya. Setelah itu Umar memahami perkataannya itu dan membenarkannya.[3]
Pandangan yang menyeluruh juga tergambar dari riwayat yang disebutkan dalam Al-Ausath, Ath-Thabrani dan Al-Mustadrak, Al-Hakim dengan sanad hasan dari Ibnu Umar radhiallaahu anhuma bahwasanya ia berkata: “Aku telah hidup dalam waktu yang singkat dari umurku di dunia ini. Sesungguhnya salah seorang diantara kami (para sahabat, red.) diberikan iman sebelum Al-Qur’an di saat surat-surat Al-Qur’an masih turun berkesinambungan kepada Rasulullah shalallaahu alaihi wasalam. Maka kami belajar tentang halal dan haramnya dan apa-apa yang seyogyanya kami perhatikan sebagaimana kalian mengajarkan Al-Qur’an. Kemudian Aku melihat kaum yang diberi Al-Qur’an sebelum (diberi) iman maka ia membaca dari Al-Fatihah hingga hatam namun ia tidak tahu apa yang diperintah dan yang dilarang serta hal-hal yang seyogyanya diperhatikannya bagai menabur kurma buruk.”[4]
Pandangan yang menyeluruh yang dimiliki para sahabat, disebabkan karena metode interaksi mereka yang memadukan antara ilmu dan amal.
Renungkanlah riwayat berikut ini,
عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ السُّلَمِيِّ عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ : كُنَّا نَتَعَلَّمُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَشْرَ آيَاتٍ فَمَا نَعْلَمُ الْعَشْرَ الَّتِي بَعْدَهُنَّ حَتَّى نَتَعَلَّمَ مَا أُنْزِلَ فِي هَذِهِ الْعَشْرِ مِنْ الْعَمَلِ
Dari Abdul Rahman As-Sulamiy (seorang tabi’in) dari Ibnu Mas’ud, ia berkata: “Kami dulu belajar dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam 10 ayat, kami tidak mengetahui 10 ayat yang sesudahnya sehingga kami mempelajari pengamalan apa yang diturunkan dalam 10 ayat ini.” (Ath-Thohawi w. 321H/ 933M, Musykilul Atsar, juz 3 halaman 478).
عَنْ أَبِى عَبْدِ الرَّحْمَنِ قَالَ حَدَّثَنَا مَنْ كَانَ يُقْرِئُنَا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُمْ كَانُوا يَقْتَرِئُونَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَشَرَ آيَاتٍ فَلاَ يَأْخُذُونَ فِى الْعَشْرِ الأُخْرَى حَتَّى يَعْلَمُوا مَا فِى هَذِهِ مِنَ الْعِلْمِ وَالْعَمَلِ. قَالُوا فَعَلِمْنَا الْعِلْمَ وَالْعَمَلَ.
Dari Abi Abdul Rahman as-Sulamiy, ia berkata: “Telah menceritakan kepada kami orang yang dulu membacakan kepada kami yaitu sahabat-sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa mereka dulu mendapatkan bacaan (Al-Qur’an) dari Rasululullah shallallahu ‘alaihi wa sallam 10 ayat maka mereka tidak mengambil 10 ayat yang lainnya sehingga mereka mengerti apa yang di dalam ini (10 ayat yang tadi) yaitu ilmu dan amal. Mereka berkata, maka kami mengerti ilmu dan amal.” (Hadits Riwayat Ahmad nomor 24197, dan Ibnu Abi Syaibah nomor 29929)
Oleh karena itu tilawah dan tadabbur kita terhadap Al-Qur’an saat ini sebaiknya dibantu dengan membaca tafsir-tafsir Al-Qur’an yang mu’tabar. Jangan sekali-kali hanya mengandalkan terjemah lafdziyah, lalu mengambil kesimpulan darinya tanpa merujuk kepada para ulama yang kompeten.
- Dukhulul qur’ani duna muqarraratin sabiqah (masuknya Al-Qur’an [ke dalam hati] tanpa disertai dengan pemahaman-pemahaman sebelumnya yang menyimpang).
Saat menerima Al-Qur’an, para sahabat membersihkan jiwanya dari noda dan kotoran masa lalu di masa jahiliyyah. Mereka mempersepsikan Al-Qur’an sebagai satu-satunya sumber dan landasan kehidupan. Mereka memulai hidup baru yang sama sekali berbeda dengan masa lalunya. Interaksinya dengan Al-Qur’an telah merubah total lingkungan, kebiasaan, adat, wawasan, ideologi, serta pergaulannya.
- Ats-tsiqatul muthlaqah (kepercayaan yang mutlak).
Mereka memiliki keyakinan yang penuh pada ayat yang mereka terima. Penerimaan mereka terhadap firman Allah Ta’ala persis seperti seorang prajurit menerima perintah dari komandannya. Al-Qur’an diterima untuk diterapkan secara langsung dalam kehidupan pribadi dan masyarakat. Bukan ditujukan untuk sekedar menyingkap rahasia alam, sains, atau pengayaan materi-materi ilmiah. Karena Al-Qur’an bukan buku seni, sains, atau sejarah, sekalipun semuanya terkandung di dalamnya. Sesungguhnya ia diturunkan sebagai pedoman hidup (minhajul hayah).
Diantara hadits yang menceritakan bagaimana bersegeranya para salafus shalih melaksanakan perintah Allah Ta’ala adalah hadits berikut ini,
عَنْ صَفِيَّةَ بِنْتِ شَيْبَةَ أَنَّ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا كَانَتْ تَقُولُ لَمَّا نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ { وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ } أَخَذْنَ أُزْرَهُنَّ فَشَقَّقْنَهَا مِنْ قِبَلِ الْحَوَاشِي فَاخْتَمَرْنَ بِهَا
Dari Shafiyyah binti Syaibah bahwa ‘Aisyah radliallahu ‘anha pernah berkata: “Tatkala turun ayat: ‘Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya..’ (An Nuur: 31). Maka mereka langsung mengambil sarung-sarung mereka dan menyobeknya dari bagian bawah lalu menjadikannya sebagai kerudung mereka”. (HR. Bukhari)
Dalam kitab Shahih Al-Bukhari dan Muslim dari Anas radhiallaahu anhu berkata: Abu Thalhah merupakan orang Anshar yang paling banyak hartanya –berupa pohon-pohon kurma– di Madinah. Harta yang paling ia sukai adalah Bairuha’ yang berada di depan masjid, Rasulullah shallallaahu alaihi wasalam memasukinya dan meminum airnya yang baik. Ketika turun ayat:
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS. Ali Imran, 3: 92)
Abu Thalhah berdiri di hadapan Rasulullah shallallaahu alaihi wasalam seraya berkata: “Wahai Rasulullah sesungguhnya Allah berfirman:
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS. Ali Imran, 3: 92)
“Sungguh harta yang paling aku sukai adalah Bairuha’, aku shadaqahkan untuk Allah, aku mengharap kebaikan dan simpanan (pahalanya) di sisi Allah, pergunakanlah wahai Rasul sebagaimana Allah menentukan pada Anda.”
Anas berkata: “Kemudian Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda: ‘Engkau telah mendengar apa yang aku katakan dan aku berpendapat sebaiknya engkau menjadikannya untuk kerabat terdekatmu’.”
Abu Thalhah berkata: “Akan aku lakukan wahai Rasulullah.” Kemudian Abu Thalhah membagi untuk kerabatnya dan anak-anak pamannya
- Asy-Syu’uru bi annal ayata muwahhajatun ilaihi (memiliki perasaan bahwa ayat [yang dibaca] benar-benar tertuju padanya).
Al-Hasan Ibnu Ali radhiallaahu anhu berkata: “Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian melihat Al-Qur’an merupakan surat-surat dari Tuhan mereka, maka mereka merenungkannya di malam hari dan melakukan inspeksi (tinjauan) di siang hari.”
Ibnu Marduwaih mengeluarkan dari jalan Ibnu Syihab dan Abu Bakar berkata: ketika turun ayat:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebahagian kamu terhadap sebahagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu sedangkan kamu tidak menyadari.” (QS. Al-Hujurat, 49: 2)
Abu Bakar berkata: “Wahai Rasulullah aku tidak akan berbicara denganmu melainkan sebagaimana seseorang berbisik pada saudaranya.”
Dalam Shahih Al-Bukhari dari Anas bin Malik radhiallaahu anhu bahwa Nabi shalallaahu alaihi wasalam mencari Tsabit Ibnu Qais, maka seseorang berkata: “Wahai Rasulullah aku mengetahuinya.” Orang itu datang dan mendapati Tsabit Ibnu Qais duduk di rumahnya dengan membalikkan kepalanya. Laki-laki itu bertanya: “Ada apa denganmu?” Qais menjawab: “(Keadaanku) buruk!” Dia pernah mengangkat suaranya diatas suara Nabi shalallaahu alaihi wasallam, maka dia mengira amalnya terhapus dan tergolong penghuni neraka.
Kemudian laki-laki itu kembali pada Rasulullah Shalallaahu ‘alaihi wasallam mengabarkan bahwa Qais berkata begini… dan begini… maka laki-laki itu diperintahkan kembali oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa berita gembira agar mengatakan: “Sesungguhnya engkau bukan termasuk ahli Neraka tetapi ahli Surga.”
Karakteristik inilah yang belum dimiliki oleh generasi berikutnya, sehingga nilai-nilai ke-Islam-an tidak bertahan secara utuh dalam persepsi dan mata hati mereka. Dr Muhammad Al Ghazali berkata, “Generasi pertama terangkat kemuliaannya karena menempatkan Al-Qur’an di atas segala-galanya. Sedangkan generasi sekarang jatuh kemuliaannya karena menempatkan Alquran di bawah nafsu dan kehendak dirinya”.
Wallahu A’lam.
Catatan Kaki:
[1] Lihat: http://alhikmah.ac.id/2011/hal-hal-yang-menghambat-pemahaman-al-qur%E2%80%99an/
[2] Silahkan pembaca merujuk ke buku beliau yang berjudul Kaifa Nata’amalu ma’al Qur’an.
[3] Berinteraksi dengan Al-Qur’an, Yusuf Qaradhawy, hal. 362.
[4] Beramal dengan Al-Qur’an, www.al-sofwa.com