(Realisasi Syahadatain)
As-Syahadah (syahadat) adalah al-iqraru bitauhidillah (mengikrarkan keesaan Allah Ta’ala), yakni:
Pertama, menetapkan di dalam diri bahwa yang menjadi qasdul hayah (tujuan hidup) adalah Allah Ta’ala semata.
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Katakanlah: ‘sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.’” (QS. Al-An’am, 6: 162)
Kedua, menetapkan di dalam kehidupannya bahwa yang menjadi minhajul hayah (pedoman hidup) adalah dinul Islam.
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa.” (QS. Al-An’am, 6: 153)
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidak- lah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Ali Imran, 3: 85)
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Ali Imran, 3: 19)
Ketiga, menetapkan dalam kehidupannya bahwa al-qudwatu fil hayah (contoh dalam kehidupan) adalah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam,
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzab, 33: 21)
Qalbun Salim
‘Pandangan hidup tauhid’ seperti inilah yang akan membentuk individu-individu yang berkepribadian qalbun salim (berhati bersih).
Hati yang bersih, maksudnya adalah hati yang bersih dari syirik, keraguan, kemunafikan, hasad, dendam, dengki, menipu, sombong, riya’, sum’ah, dan bersih dari mencintai keburukan dan kemaksiatan. Oleh karena itu, orang yang hatinya bersih, maka kondisi hatinya akan ikhlas, yakin, jujur, mencintai kebaikan, lapang dada dan memaafkan, tulus, tawadhu’, keinginan dan kecintaannya mengikuti kecintaan Allah, niat dan amalnya karena mencari ridha-Nya, dan hawa nafsunya mengikuti yang datang dari Allah.[1]
Hanya pemilik qalbun salim inilah yang akan memperoleh kemuliaan dan keselamatan. Mereka akan terbebas dari celaan atas dosa-dosa, terbebas dari hukuman, dan terbebas dari dipermalukan di yaumul ba’ats kelak.
وَلا تُخْزِنِي يَوْمَ يُبْعَثُونَ يَوْمَ لا يَنْفَعُ مَالٌ وَلا بَنُونَ إِلا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ
“…dan janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan, (yaitu) pada hari ketika harta dan anak-anak tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih…” (QS. Asy-Syu’ara, 26: 87-89)
Orang yang memiliki qalbun salim, hari-harinya selalu dilalui dengan sikap:
Pertama, raja-u rahmatillah (mengharap kasih sayang Allah Ta’ala)
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzab, 33: 21)
Kedua, khaufu ‘iqabillah (takut/khawatir terhadap azab/hukuman dari Allah Ta’ala)
قُلْ إِنِّي أَخَافُ إِنْ عَصَيْتُ رَبِّي عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيمٍ
“Katakanlah: “Sesungguhnya aku takut akan azab hari yang besar (hari kiamat), jika aku mendurhakai Tuhanku.”
مَنْ يُصْرَفْ عَنْهُ يَوْمَئِذٍ فَقَدْ رَحِمَهُ وَذَلِكَ الْفَوْزُ الْمُبِينُ
“Barang siapa yang dijauhkan azab dari padanya pada hari itu, maka sungguh Allah telah memberikan rahmat kepadanya. Dan itulah keberuntungan yang nyata.” (QS. Al-An’am, 6: 15-16)
Ketiga, mahabbatullah (kecintaan kepada Allah)
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ ۖ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ ۗ
“Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah.” (QS. Al-Baqarah, 2: 165)
Inilah pandangan dan sikap hidup yang menjadi ciri telah tertanamnya al-aqidatus salimah (aqidah yang bersih), yakni aqidah yang terus mengobarkan an-niyyatul khalishah (niat yang murni) untuk beramal shaleh.
*****
Selain membentuk individu yang berkepribadian qalbun salim, ‘pandangan hidup tauhid’ juga dapat membentuk individu-individu yang aqlun dzakiyyun (cerdas akalnya).
Aqlun Dzakiyyun
Dalam pandangan Islam, manusia yang berakal cerdas adalah mereka yang selalu melakukan hal-hal berikut,
Pertama, tadabbarul qur’an (mengkaji Al-Qur’an)
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ
“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.” (QS. Shad, 38: 29)
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci?” (QS. Muhammad, 47: 24)
Kedua, tafakkaru fil-Kaun (memikirkan alam semesta)
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal..” (QS. Ali Imran, 3: 190)
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): ‘Ya Tuhan Kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, maka peliharalah Kami dari siksa neraka.’” (QS. Ali Imran, 3: 191)
Ketiga, dzikrul maut (mengingat mati)
Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhu mengabarkan, “Aku sedang duduk bersama Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tatkala datang seorang lelaki dari kalangan Anshar. Ia mengucapkan salam kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, lalu berkata, ‘Ya Rasulullah, mukmin manakah yang paling utama?’ Beliau menjawab, ‘Yang paling baik akhlaknya di antara mereka.’
‘Mukmin manakah yang paling cerdas?’, tanya lelaki itu lagi. Beliau menjawab:
أَكْثَرُهُمْ لِلْمَوْتِ ذِكْرًا وَأَحْسَنُهُمْ لِمَا بَعْدَهُ اسْتِعْدَادًا, أُولَئِكَ أَكْيَاسٌ
“Orang yang paling banyak mengingat mati dan paling baik persiapannya untuk kehidupan setelah mati. Mereka itulah orang-orang yang cerdas.” (HR. Ibnu Majah No. 4259, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Ash-Shahihah No. 1384)
Inilah sikap dan pandangan hidup yang dapat membentuk individu-individu yang memiliki al-fikrul islami (pemahaman Islam), yang mampu beramal shaleh dengan al-minhajus shahih (pedoman/konsep yang benar).
An-Niyyatul Khalishah dan Al-Minhajus Shahih
An-niyyatul khalishah (niat yang murni kepada Allah) dan al-minhajus shahih (pedoman/konsep yang benar) inilah yang kemudian menggelorakan al-harakah wal jihad (pergerakan dakwah dan jihad) serta ad-da’wah wat-tarbiyyah (dakwah dan tarbiyah).
Jadi, syahadatain sebagai pernyataan ketauhidan hendaknya direalisasikan dengan cara memantapkan pandangan hidup tauhid -menjadikan Allah sebagai qashdul hayah, Islam sebagai minhajul hayah, dan Rasulullah sebagai al-qudwah fil hayah– sehingga terbentuklah kepribadian muslim yang memiliki qalbun salim dan aqlun dzakiyyun yang siap bergerak, berjihad, berdakwah, dan mentarbiyah umat.
مَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُؤْتِيَهُ اللَّهُ الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُولَ لِلنَّاسِ كُونُوا عِبَادًا لِي مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلَكِنْ كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُونَ
“Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: ‘Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah.’ Akan tetapi (dia berkata): ‘Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.’” (QS. Ali Imran, 3: 79)
Wallahu A’lam.