Kesepuluh, Islam adalah dinud daulah wal ‘ibadah (agama kenegaraan dan peribadahan). Maksudnya, ajaran Islam memperhatikan urusan kenegaraan dan memperhatikan pula urusan ibadah. Keduanya adalah seuatu yang penting -sesuai dengan proporsinya- dan tidak terpisahkan sebagai bagian ajaran Islam. Hal ini tersirat dengan jelas dalam hadits berikut ini; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَتُنْقَضَنَّ عُرَى الإِسْلاَمِ عُرْوَةٌ عُرْوَةٌ ، فَكُلَّمَا انْتُقِضَتْ عُرْوَةٌ تَشَبَّثَ النَّاسُ بِالَّتِي تَلِيهَا فَأَوَّلُهُنَّ نَقْضًا الْحُكْمُ ، وَآخِرُهُنَّ الصَّلاَةُ
“Ikatan Islam akan terurai satu demi satu, setiap kali lepas satu ikatan, manusia beralih kepada simpul yang lain. Simpul yang pertama kali lepas adalah hukum dan yang terakhir adalah sholat.” (HR Ahmad dinyatakan shahih oleh Syeikh Al-Albani )
Makna naqdhanil hukmu dalam hadits di atas -menurut Syaikh Bin Baz- adalah ketiadaan penegakkan hukum dengan syariat Allah, “Inilah keadaan yang terjadi saat ini di negeri-negeri Islam. Padahal diketahui bahwasanya adalah wajib bagi semuanya berhukum dengan syariat Allah dalam segala urusan dan menjauhi undang-undang dan adat kebiasaan yang bertentangan dengan syariat yang suci…”[1]
Urusan penegakkan syariat Allah adalah urusan siyasah (politik) dan daulah (kenegaraan). Islam berhajat kepada urusan politik dan kenegaraan karena keduanya dibutuhkan dalam menegakkan kemaslahatan-kemaslahatan dalam kehidupan manusia.
Imam Abul Wafa Ibnu ‘Aqil Al Hambali berkata:
السِّيَاسَةُ مَا كَانَ مِنْ الْأَفْعَالِ بِحَيْثُ يَكُونُ النَّاسُ مَعَهُ أَقْرَبَ إلَى الصَّلَاحِ وَأَبْعَدَ عَنْ الْفَسَادِ ، وَإِنْ لَمْ يُشَرِّعْهُ الرَّسُولُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا نَزَلَ بِهِ وَحْيٌ ؛ فَإِنْ أَرَدْتَ بِقَوْلِكَ ” لَا سِيَاسَةَ إلَّا مَا وَافَقَ الشَّرْعَ ” أَيْ لَمْ يُخَالِفْ مَا نَطَقَ بِهِ الشَّرْعُ فَصَحِيحٌ ، وَإِنْ أَرَدْتَ مَا نَطَقَ بِهِ الشَّرْعُ فَغَلَطٌ وَتَغْلِيطٌ لِلصَّحَابَةِ
“Siyasah (politik) adalah semua tindakan yang dengannya manusia lebih dekat dengan kebaikan dan semakin jauh dari kerusakan meskipun tindakan itu tidak pernah disyariatkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan tidak ada wahyu Al Quran yang turun tentangnya. Jika Anda mengatakan: “Tidak ada siyasah (politik) kecuali yang sesuai dengan syariat atau tidak bertentangan dengan apa yang disebutkan oleh syariat, maka itu adalah benar. Tetapi jika yang anda maksudkan dengan siyasah hanyalah yang dibatasi oleh syariat, maka itu kesalahan dan sekaligus menyalahkan para sahabat nabi.”[2]
Dikatakan menyalahkan para sahabat nabi, karena mereka (terutama khulafaur rasyidin) telah mengeluarkan kebijakan politik yang belum ada secara tersurat di dalam Al-Quran dan As-Sunnah sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya.
Imam An-Nawawi rahimahullah mengatakan tentang makna “Siyasah”,
الْقِيَام عَلَى الشَّيْء بِمَا يُصْلِحهُ
“Menegakkan/menunaikan sesuatu dengan apa-apa yang bisa memperbaiki sesuatu itu.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6/316. Mawqi’ Ruh Al Islam).
Hadits latanqudhanna ‘ural Islam juga menyebutkan bahwa ‘ural Islam (ikatan Islam) yang terakhir akan lepas adalah as-shalah (shalat). Maknanya menurut Syaikh Bin Baz adalah banyaknya orang yang meninggalkan dan tidak melaksanakannya, “Inipun keadaan yang terjadi di negeri-negeri Islam saat ini…padahal shalat adalah tiang Islam, dia adalah rukun yang kedua dari rukun Islam yang agung…”
Hadits latanqudhanna ‘ural Islam ini mengemukakan bahwa penegakkan hukum syariat (urusan politik/kenegaraan) dan shalat (urusan ibadah) adalah bagian dari ajaran Islam. Hadits ini mengandung isyarat yang sangat kuat bahwa ajaran Islam itu mengatur berbagai urusan kehidupan manusia. Baik yang berkaitan dengan urusan ukhrawi maupun yang berkaitan dengan urusan duniawi; urusan politik kenegaraan maupun urusan shalat.
Dari uraian di atas, nyatalah bagi kita tabiat ajaran Islam sebagai dinud daulah wal ibadah (agama kenegaraan dan ibadah). Oleh karena itu dengan ajaran Islam seseorang akan terbentuk menjadi pribadi yang siyasiyyun ‘abidun (politisi yang ahli ibadah).
Catatan Kaki:
[1] Lihat: Syarah hadits Latanqudhanna ‘Ural Islam ‘urwatan ‘urwatan, www.binbaz.org.sa
[2] Imam Ibnul Qayyim, I’lamul Muwaqi’in, 6/ 26. Mawqi’ Al Islam