Perjalanan dakwah adalah perjalanan yang panjang. Beban yang dibawanya tidaklah ringan. Bidang garapannya pun demikian luas mencakup seluruh alam.
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”. (QS. Al Anbiya’: 107)
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruh- nya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.” (QS. Saba: 28)
Oleh karena itu, sebagai aktivis dakwah kita tidak boleh lengah dalam menjaga vitalitas ruhiyah, maknawiyah, dan fikriyah di tengah-tengah pertarungan yang panjang ini. Kita harus berbekal diri dengan tarbiyah; yaitu selalu melakukan ziyadah (penambahan atau pembekalan), nas’ah (pertumbuhan), taghdiyyah (pemberian gizi), ri’ayah (pemeliharaan) dan muhafadzoh (penjagaan).
Di hadapan kita telah tersedia berbagai sarana tarbiyah rasmiyah, seperti: halaqah, mabit/jalasah ruhiyah, daurah, ta’lim, rihlah, mukhayyam, dan lain-lain yang harus terus dijaga. Namun—diakui atau tidak—berbagai aktivitas tersebut seringkali menghadapi berbagai macam kendala seiring dengan intensitas amal dakwah yang semakin tinggi dan problematika pribadi kita masing-masing yang mengemuka silih berganti. La haula wa la quwwata illa bi-Llah…
Namun, macetnya gerak tarbiyah rasmiyah hendaknya tidak membuat gerak dakwah kita ikut macet. Tertatih-tatihnya kegiatan halaqah, mabit/jalasah ruhiyah, daurah, ta’lim, rihlah, mukhayyam, dan lain-lain, hendaknya tidak membuat kita jadi memble dan ‘mati gaya’. Kita harus terus bergerak dan memiliki daya inisiatif. Aktivitas ziyadah (penambahan atau pembekalan), nas’ah (pertumbuhan), taghdiyyah (pemberian gizi), ri’ayah (pemeliharaan) dan muhafadzoh (penjagaan), harus terus berjalan!
Untuk itu, penting bagi kita untuk memahami dan mengamalkan apa yang disebut dengan Tarbiyah Dzatiyah.
Apakah Tarbiyah Dzatiyah Itu?
Syaikh Abdullah bin Abdul Aziz Al-Aidan mendefinisikan bahwa tarbiyah dzatiyah adalah sejumlah sarana tarbiyah (pembinaan) yang diberikan seorang muslim atau muslimah kepada dirinya untuk membentuk kepribadian islami yang sempurna di seluruh sisinya; ilmiah, iman, akhlak, sosial, dan lain sebagainya, dan naik tinggi ke tingkatan kesempurnaan sebagai manusia. Atau dengan kata lain, tarbiyah dzatiyah adalah tarbiyah seseorang terhadap diri sendiri dengan dirinya sendiri.
Hasil dari Tarbiyah Dzatiyah
Dalam konteks pergerakan dakwah, kemampuan tarbiyah dzatiyah yang memadai akan menjadikan kita:
- Mempunyai daya tahan terhadap berbagai ujian dan cobaan dakwah
- Tidak futur (malas-malasan) dalam dakwah
- Tidak kendur semangat juang
- Tidak jumud dalam pemikiran
- Tidak bingung menjawab berbagai tuduhan miring
- Mampu menyelesaikan berbagai persoalan yang menghadang.
Dengan tarbiyah dzatiyah, kita tidak akan menjadi kader yang keder, karena selalu bersikap menunggu ‘intruksi atasan’ atau ‘menurut petunjuk murabbi’. Kita tidak sangat bergantung pada bayanat atau qararat qiyadah.
Sebagai contoh ril, lihatlah bagaimana para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mampu membuktikan integritas dirinya dalam mengembangkan dakwah di berbagai tempat, saat diberi penugasan ke berbagai wilayah. Mereka dapat bertahan menjaga ruhiyah, maknawiyah, dan fikriyahnya sekalipun jauh dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan komunitas muslim lainnya.
Lihatlah Ja’far bin Abi Thalib yang bersama sahabat lainnya pernah tinggal di Habasyah dalam waktu yang cukup lama. Mereka dapat mempertahankan dirinya dalam keimanan dan ketaqwaan. Begitu kuatnya daya tahan mereka hidup bersama dakwah jauh dari saudara-saudaranya yang lain dalam waktu yang cukup lama.
Lihatlah Mush’ab bin Umair yang dapat menjalankan tugasnya sebagai duta Islam pertama dengan sangat cemerlang. Ia dapat mengembangkan dakwah di Madinah dan berhasil membangun masyarakat di sana. Mush’ab menjadi guru pertama di Madinah dan mampu memperluas jaringan dakwah dan kadernya. Sehingga di kemudian hari tempat itu menjadi basis komunitas umat Islam dan mercusuar peradaban Islam.
Begitulah kepribadian kader dakwah yang mumpuni dalam mengemban amanah mulia. Mereka dapat menunaikan tugas tersebut dengan sebaik-baiknya. Halini tiada lain adalah karena tarbiyah dzatiyah yang mereka lakukan.
Sebaliknya kader dakwah yang tidak mampu meningkatkan integritas dirinya dengan tarbiyah dzatiyah, cenderung akan menjadi kader yang linglung. Bahkan mungkin akan menimbulkan kegaduhan dalam kerja dakwah. Sebagaimana ungkapan pujangga lama,
الْعَسْكَرُ الذِّي تَسُوْدُهُ الْبِطَالَةُ يُوْجِدُ الْمُشَاغَبَةِ
“Prajurit yang tidak memiliki kemampuan untuk berbuat sesuatu sangat potensial membuat kekacauan”.
Oleh karena itu, tarbiyah dzatiyah harus menjadi kesadaran bersama dalam rangka menopang penunaian amanah dakwah yang demikian berat.
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui”. (QS. Al Anfal: 27)
Tarbiyah Dzatiyah dan Kendali Qiyadah
Dengan tarbiyah dzatiyah, diharapkan akan tumbuh dalam diri kita kapabilitas untuk menyelesaikan setiap permasalahan yang selalu muncul di lapangan dakwah. Sehingga kita tidak selalu menyerahkan masalah itu pada qiyadah dakwah ataupun kader lainnya.
Namun meskipun demikian kita pun perlu memperhatikan koridornya agar tidak terjebak dalam membebaskan diri untuk selalu bersikap di luar kendali qiyadah. Karena hal ini pun dapat menimbulkan kekisruhan.
Mari kita teladani sikap Hudzaifah sewaktu ditugaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk masuk ke barisan musuh di Perang Ahzab. Hudzaifah mendapati Abu Sufyan sedang memanaskan tubuhnya karena udara dingin. Saat itu sebenarnya Hudzaifah mampu untuk membunuhnya, akan tetapi ia teringat pesan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa tugasnya waktu itu hanyalah memperhatikan kondisi musuh dan mengabarkannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka ia urung untuk membunuhnya walau kesempatan itu ada di hadapannya. Karena itu kita perlu menempatkan hal ini secara proporsional.
Tujuan Tarbiyah Dzatiyah
Dari uraian di atas kita dapat mengetahui bahwa tarbiyah dzatiyah paling tidak mencakup dua tujuan:
- Membantu Menyelesaikan Tuntutan Manhaj Tarbiyah
Penyelesaian program tarbiyah reguler sesuai manhaj kadangkala terkendala oleh keterbatasan alokasi waktu dan keterbatasan kapasitas murabbi; maka program tarbiyah dzatiyah menjadi sarana yang tepat untuk menyelaraskan tuntutan manhaj tersebut, serta sangat membantu dalam mengaplikasikan nilai-nilai tarbawiyah secara maksimal. Bila masing-masing kader sibuk untuk merealisaikan manhaj tarbiyah dalam dirinya sebagaimana tuntutan manhaj maka semua kader akan aktif dengan berbagai program dan kegiatannya.
- Peningkatan Potensi Diri
Dengan tarbiyah dzatiyah berbagai potensi diri kita akan terus berkembang. Hal ini akan berdampak pada peningkatan kontribusi kita di tengah-tengah masyarakat.
Aspek-aspek Tarbiyah Dzatiyah
- Ar–Ruhiyah (spiritual)
Setiap kita secara mandiri hendaknya dapat terus berupaya meningkatkan ketahanan ruhiyahnya. Sehingga kita tidak lemah dalam mengemban tugas mulia. Bila perlu setiap kita hendaknya memiliki program personal dalam menjaga ketahanan ruhiyah. Misalnya: shalat berjamaah di mesjid, shaum sunnah, qiyamullail, sedekah, ziarah kubur ataupun aktivitas lainnya yang berdampak pada kesehatan ruhani.
- Al–Fikriyah (pemikiran)
Pemenuhan kebutuhan fikriyah tidaklah cukup hanya dengan mengandalkan kehadiran di majlis liqa’at tarbiyah semata. Secara mandiri kita perlu mencari berbagai sumber penggalian berpikir. Bisa melalui penelaahan kitab, menghadiri acara kajian ilmiah ataupun kegiatan peningkatan wawasan lainnya.
Imam Hasan Al Banna dalam Majmu’atur Rasail menegaskan bahwa diantara kewajiban kader dakwah adalah membaca buku beberapa jam dalam setiap hari serta memiliki perpustakaan pribadi di rumahnya sekalipun kecil.
- Al–Maliyah (material)
Tak bisa dipungkiri, dakwah juga membutuhkan kekuatan materi. Tidak terkecuali para pengembannya. Karena itu setiap kita harus memiliki kemampuan enterpreneurshipn agar tidak menjadi beban orang lain. Imam Hasan Al Banna menetapkan muwashafat kader yang diantaranya adalah memiliki kemampuan mencari penghidupan bagi dirinya (qadirun alal kasbi).
- Al–Maydaniyah (penguasaan lapangan)
Penguasan lapangan adalah hal yang sangat penting bagi pengembangan dakwah. Seorang da’i mesti memahami medan yang dihadapinya dengan cepat. Dengan penguasaan lapangan kita akan mampu merumuskan taktik dan strategi yang tepat untuk dakwah ini. Setiap kader dakwah perlu mengenal wilayahnya dengan baik sehingga dapat mendeteksi peluang dakwah dan hambatannya.
- Al–Harakiyah (gerakan dakwah)
Penguasaan harakiyah pun menjadi salah satu aspek tarbiyah dzatiyah yang perlu diperhatikan sehingga kita bisa mengikuti laju gerakan dakwah. Kita perlu secara aktif menyelami geliat dakwah dan pergerakannya. Karena pemahaman yang tepat terhadap gerakan dakwah akan menumbuhkan sikap diri yang mengerti benar tentang apa yang harus dilakukan untuk kepentingan dakwah.
Sasaran Tarbiyah Dzatiyah
- Al–Munawaratul Al–Harakiyah (gerak manuver dakwah)
Sasaran tarbiyah dzatiyah ini adalah berkembangnya gerak manuver dakwah ke berbagai wilayah dan pelosok. Sehingga banyak wilayah dan masyarakat yang mendapatkan sentuhan dakwah dari para kadernya.
Dalam Fiqhus Sirah Syaikh Munir Muhammad Ghadhban mengungkapkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setiap tahun selalu mendapatkan informasi mengenai bertambahnya suku, kabilah atau orang yang tersentuh dakwah Islam dan menjadi pengikutnya yang setia. Ini tentu sangat terkait dengan para penyebar dakwahnya. Mereka adalah manusia-manusia yang selalu dalam kondisi meningkat iman dan taqwanya serta meningkat dalam merespon perintah dari Allah dan Rasul-Nya. Dengan kata lain bahwa tarbiyah dzatiyahnya sudah sangat mapan.
- Al–Matanah An–Nafsiyah Ad–Dakhiliyah (soliditas personal)
Sasaran tarbiyah dzatiyah yang lainnya adalah untuk meningkatkan daya tahan kader dakwah. Mereka tidak lemah mentalnya, tidak jumud pikirannya, tidak menjadi beban materi bagi kader lainnya, tidak bingung dengan kondisi sekitarnya dan tidak pula linglung atau ketinggalan jauh oleh laju dakwah. Bila hal ini dapat tercapai, dakwah tidak akan disibukkan dengan urusan internal dan konfliknya; karena para kader telah sibuk dengan manuver dakwahnya masing-masing.
Upaya Memulai Tarbiyah Dzatiyah
- Buatlah fokus sasaran tarbiyah dzatiyah yang akan dilaksanakan oleh masing-masing individu. Misalnya, aspek ruhiyah seperti apa yang diinginkan dengan gambaran dan ukuran yang jelas seperti shalat lima waktu berjamaah di mesjid, selalu membaca 1 juz Al Qur’an dalam setiap hari. Demikian pula aspek fikriyah ataupun aspek yang lainnya. Sehingga semakin teranglah fokus yang hendak dicapai.
- Memperhatikan sisi prioritas amal yang disesuaikan dengan pertimbangan kebutuhan saat itu. Misalnya aspek ruhiyah yang diprioritaskan maka buatlah program yang jelas untuk segera dikerjakan.
- Melaksanakan dari hal yang ringan dan mudah agar dapat dilakukan secara berkesinambungan.
- Tekadkan untuk segera memulainya seraya terus berdo’a kepada Allah SWT agar dimudahkan dalam menjalankannya.
- Upayakanlah untuk selalu memberikan sangsi bila melanggar ketentuan yang telah diikrarkan.
Wallahu A’lam bishshawwab.