Keyakinan bahwa Muhammad adalah Rasulullah (utusan Allah) mengandung makna sebagai berikut:
Pertama, tashdiquhu fima akhbar (membenarkan apa-apa yang disampaikan olehnya).
Salah satu ciri ketakwaan seorang muslim adalah senantiasa membenarkan apa yang dibawa oleh Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Ta’ala berfirman,
وَالَّذِي جَاءَ بِالصِّدْقِ وَصَدَّقَ بِهِ ۙ أُولَٰئِكَ هُمُ الْمُتَّقُون
“Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. Az-Zumar, 39: 33)
Salah satu contoh teladan bagi kita dalam hal ini adalah Abu Bakar As-Shidiq, yang dalam berbagai momen selalu menjadi orang yang terdepan dalam membenarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia termasuk golongan laki-laki yang pertama beriman di dalam Islam; Ia pula yang banyak mengorbankan hartanya untuk mendukung dakwah Islam. Dialah orang yang tanpa ragu segera membenarkan peristiwa Isra Mi’raj yang dialami nabi saat orang-orang mendustakan peristiwa itu; dialah yang menjadi teman Nabi dalam perjalanan hijrah ke Madinah, dan seterusnya.
Kedua, tha’atuhu fima amar (mentaati apa yang beliau perintahkan). Inilah konsekuensi yang harus dijalani bagi mereka yang mengaku beriman kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Sesungguhnya jawaban oran-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. ‘Kami mendengar, dan kami patuh’. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. An-Nur, 24: 51).
Dalam ayat lain juga disebutkan,
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. Al-Ahzab: 36)
Dalam sebuah hadits, dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُوْنَ هَوَاهُ تَبَعًا لِمَا جِئْتُ بِهِ
“Tidaklah beriman salah seorang di antara kalian sampai ia menundukkan hawa nafsunya untuk tunduk pada ajaran yang aku bawa.” (Diriwayatkan dalam kitab Al-Hujjah dengan sanad yang shahih menurut Imam Nawawi. Namun penshahihan hadits ini tidak tepat menurut Ibnu Rajab).
Ketiga, ijtanabu ma naha ‘anhu (menjauhi apa yang dilarang olehnya). Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَاب
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.” (QS. Al-Hasyr, 59: 7)
Sikap seorang muslim, apabila telah mengetahui ada sebuah larangan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih (benar) dan sharih (jelas), maka tidak ada pilihan baginya kecuali menjauhi apa yang dilarangnya tersebut; walaupun larangan itu tidak disebutkan secara langsung di dalam kitabullah.
Sebuah kisah dari Masruq bin Al-Ajda’ menguatkan tentang hal ini; ia berkata, ”Ada seorang wanita yang pernah datang kepada Ibnu Mas’ud seraya berkata, ‘Aku telah dikabari bahwa Anda melarang wanita menyambung rambut (memakai rambut palsu)?’
Ibnu Mas’ud menjawab, ‘Benar’. Wanita itu bertanya, ‘Apakah hal itu Anda dapatkan dalam Kitabullah ataukah Anda pernah mendengarnya dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam?’.
Ibnu Mas’ud berkata, ‘Aku telah mendapatkannya dalam Kitabullah dan dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.’
Wanita itu berkata, ‘Demi Allah, sungguh aku telah membolak-balik diantara dua lembar (jilid) mushaf, tapi aku tak menemukan di dalamnya sesuatu yang Anda nyatakan’.
Ibnu Mas’ud berkata, ‘Apakah engkau menemukan (ayat) di dalam mushaf (yang berbunyi):
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا ۚ
‘Apa saja yang didatangkan oleh Rasul kepadamu, maka terimalah, dan apa saja yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah’. (QS. Al-Hasyr, 59: 7)
Wanita itu menjawab, ‘Ya’. (HR. Ahmad [3749]. Di-shahih-kan oleh Al-Albani dalam Ghayah Al-Maram [93]).
Keempat, la na’budullaha illa bima syara’a (kita tidak beribadah kepada Allah kecuali dengan apa-apa yang disyariatkan [dicontohkan] oleh beliau).
Tidak dibenarkan bagi seorang muslim melaksanakan peribadatan yang tidak sesuai dengan apa yang disyariatkan oleh Allah Ta’ala melalui rasul-Nya. Perilaku beribadah dengan mengikuti hawa nafsu (sekehendak hati) adalah mirip perilaku orang-orang musyrikin. Allah Ta’ala berfirman,
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ ۚ وَلَوْلَا كَلِمَةُ الْفَصْلِ لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ ۗ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih.” (QS. As-Syura, 42: 21)
Tentu kita masih ingat hadits dari Ummul Mu’minin Ummu Abdillah Aisyah radiyallahu ‘anha, ia mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
‘Barangsiapa yang mengada-adakan dalam urusan (agama) kami ini yang bukan berasal darinya, maka amalan tersebut tertolak’.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim).
Dan dalam riwayat lain milik Muslim,
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.
“Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak kami perintahkan, maka ia tertolak.”
Penjelasan hadits ini dari Imam Nawawi silahkan dirujuk di materi sebelumnya (Wadhifatur Rasul).
Kewajiban Kita Kepada Rasul
Dengan makna seperti itu, maka kewajiban kita kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah:
Pertama, al-imanu bihi (beriman kepadanya) dengan keimanan yang tidak disisipi oleh keraguan sedikitpun. Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. Al-Hujurat, 49: 15)
Kedua, mahabbatuhu (mencintainya).
Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ إِنْ كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّىٰ يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ ۗ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
“Katakanlah: “Jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNya dan dari berjihad di jalan Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan Nya”. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS. At-Taubah, 9: 24)
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَلَدِهِ وَوَالِدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
“Tidak beriman salah seorang dari kalian, sehingga aku ia lebih cintai daripada anaknya, orangtuanya dan seluruh manusia.” (HR. Muslim)
Ketiga, ta’dhimuhu (mengagungkannya)
Ta’dhimuhu, artinya memuliakan dan mendahulukan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam atas segala ucapan makhluk serta mengagungkan sunnah-sunnahnya.
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Hujuraat, 49: 1)
Keempat, ad-difa’u anhu (membelanya)
Ad-difa’u anhu adalah membela risalah beserta sunnah-sunnahnya dari gangguan orang-orang kafir dan jahil (bodoh), sebagaimana pembelaan hawariyyun terhadap risalah Nabi Isa ‘alaihissalam.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا أَنْصَارَ اللَّهِ كَمَا قَالَ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ لِلْحَوَارِيِّينَ مَنْ أَنْصَارِي إِلَى اللَّهِ ۖ قَالَ الْحَوَارِيُّونَ نَحْنُ أَنْصَارُ اللَّهِ ۖ فَآمَنَتْ طَائِفَةٌ مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَكَفَرَتْ طَائِفَةٌ ۖ فَأَيَّدْنَا الَّذِينَ آمَنُوا عَلَىٰ عَدُوِّهِمْ فَأَصْبَحُوا ظَاهِرِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penolong (agama) Allah sebagaimana ‘Isa ibnu Maryam telah berkata kepada pengikut- pengikutnya yang setia: ‘Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku (untuk menegakkan agama) Allah?’ Pengikut-pengikut yang setia itu berkata: ‘Kamilah penolong-penolong agama Allah’, lalu segolongan dari Bani Israil beriman dan segolongan lain kafir; maka Kami berikan kekuatan kepada orang-orang yang beriman terhadap musuh-musuh mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang menang.” (QS. As-Shaf, 61: 14)
Kelima, mahabbatu man ahabbahu (mencintai orang-orang yang mencintainya)
Orang yang benar-benar mencintai nabi pastilah orang yang beriman. Oleh karena itu sebagai sesama hamba beriman -sebagai sesama pecinta nabi- kita harus saling mencintai dan menyayangi. Allah Ta’ala berfirman,
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ ۚ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ ۖ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا ۖ سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ
“Muhammad adalah utusan Allah; dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud…” (QS. Al-Fath, 48: 29)
Keenam, ihya-u sunnatih (menghidupkan sunnahnya)
Dari ‘Amr bin ‘Auf bin Zaid al-Muzani radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَحْيَا سُنَّةً مِنْ سُنَّتِى فَعَمِلَ بِهَا النَّاسُ كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا لاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا
“Barangsiapa yang menghidupkan satu sunnah dari sunnah-sunnahku, kemudian diamalkan oleh manusia, maka dia akan mendapatkan (pahala) seperti pahala orang-orang yang mengamalkannya, dengan tidak mengurangi pahala mereka sedikit pun“ (HR Ibnu Majah [No. 209], Syaikh Al-Albani menshahihkannya dalam kitab “Shahih Ibnu Majah” [No. 173]).
Menghidupkan sunnah Nabi menjadi kewajiban kita, terutama disaat sunnah-sunnah tersebut sudah banyak ditinggalkan oleh umat.
Ketujuh, iktsarus shalawati ‘alaihi (memperbanyak bershalawat kepadanya).
Anjuran bershalawat kepada nabi diperintahkan langsung oleh Allah Ta’ala di dalam Al-Qur’an,
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (QS. Al-Ahzab, 33: 56)
Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَن صلَّى عليَّ صلاةً واحدةً ، صَلى اللهُ عليه عَشْرَ صَلَوَاتٍ، وحُطَّتْ عنه عَشْرُ خَطياتٍ ، ورُفِعَتْ له عَشْرُ دَرَجَاتٍ
“Barangsiapa yang mengucapkan shalawat kepadaku satu kali maka Allah akan bershalawat baginya sepuluh kali, dan digugurkan sepuluh kesalahan (dosa)nya, serta ditinggikan baginya sepuluh derajat/tingkatan (di surga kelak)” (HR an-Nasa’i [No. 1297])
Bershalawat artinya: kalau dari Allah berarti memberi rahmat; dari Malaikat berarti memintakan ampunan; dan kalau dari orang-orang mukmin berarti berdoa supaya diberi rahmat seperti dengan perkataan: “Allahuma shalli ala Muhammad.”
Sedangkan ucapan ‘salam penghormatan’ yang dimaksud dalam surat Al-Ahzab ayat 56 di atas, misalnya ucapan seperti: “Assalamu`alaika ayyuhan Nabi”, artinya: semoga keselamatan tercurah kepadamu Hai Nabi.
Kedelapan, ittiba’u manhajihi (mengikuti manhajnya).
Wajib bagi mereka yang mengaku beriman dan mencintai Allah dan rasul-Nya untuk ittiba’ kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran, 3: 31)
Wajib bagi setiap muslim untuk ittiba’ kepada manhaj (pedoman) yang telah digariskan olehnya. Secara bahasa kata “manhaj” berasal dari kata “nahaja” yang berati jalan yang terang (Al Jauhari, Al-Shihah, 1/346 ). Bisa juga berarti jalan yang ditempuh seseorang.
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,
وَاللهِ مَا مَاتَ رَسُوْلُ اللهِ حَتَّى تَرَكَ السَّبِيْلَ نَهْجًا وَاضِحًا
“Demi Allah, Rasulullah tidak meninggal dunia, hingga meninggalkan jalan yang jelas” (HR Al-Darami: No. 83 )
Kesembilan, wiratsatu risalatihi (mewarisi risalahnya). Artinya kita harus melanjutkan risalah beliau dalam rangka menebarkan petunjuk dan agama yang benar sehingga diikuti dan dikenal keunggulannya oleh seluruh umat manusia.
هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ
“Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala agama-agama meskipun orang musyrik membenci.” (QS. As-Shaff, 61: 9)
هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَكَفَى بِاللَّهِ شَهِيدًا
“Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang hak agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi.” (QS. Al-Fath, 48 : 28)
Wallahu A’lam.