Al-Ikhwan Al-Muslimun (IM) memiliki sejarah pergulatan panjang dalam perpolitikan Mesir. Mereka mulai bersentuhan dengan politik praktis sejak tahun 1942, dimana Muktamar keenam merekomendasikan agar IM mulai mengarahkan dakwahnya ke kalangan pemerintahan. Namun situasi politik Mesir pada masa pendudukan Inggris dan berkecamuknya perang dunia kedua, menghalangi IM meraih kesuksesan.
Pada 1944 – 1945 IM turut berperan dalam pemilihan Majelis Al-Ummah (DPR), akan tetapi tindak kecurangan pada pemilu saat itu dengan campur tangan Inggris menyebabkan tersingkirnya Hasan Al-Banna.
Selanjutnya IM memasuki masa-masa krisis dengan penguasa yang diakhiri dengan terbunuhnya Muryid Am, Hasan Al-Banna, pada Februari 1949. Setelah itu IM benar-benar terjebak dalam kancah pertarungan yang berkepanjangan dengan pemerintah sehingga kondisi itu benar-benar menjauhkannya dari politik praktis sampai tahun 70-an.
Pada tahun 1971 – 1975 beberapa pemimpin IM dikeluarkan dari penjara. Umar Tilmisani yang memegang kepemimpinan IM setelah Hasan Hudhaibi (Mursyid Am ke-2 IM), mulai menata kembali shaf jama’ahnya dan dapat melewati jembatan bencana, sehingga di akhir tahun 70-an IM kembali sukses menarik hati dan telinga rakyat Mesir. Pada masa itu IM telah memiliki massa pemuda yang dapat diandalkan. Hal ini membuat gusar Presiden Anwar Sadat.
Terjadilah penangkapan-penangkapan terhadap para pemimpin IM dan para aktivisnya, terutama pimpinannya, Umar Tilmisani, dalam peristiwa September tahun 1981. Pemenjaraan IM pada masa ini dilakukan oleh Anwar Sadat karena IM dianggap mengganggu stabilitas nasional. Pada masa itu ditangkap pula organisasi-organisasi pelajar dan kelompok kristen koptik dengan tuduhan yang sama. Satu bulan kemudian terjadilah pembunuhan Anwar Sadat oleh Khalid Islambuly, anggota Tanzhim Jama’ah Jihad Mesir yang dipimpin Abdussalam Faraj.
Tahun 1984 IM terjun ke kancah Pemilu Mesir melalui Partai Al-Wafd. Meski dikepung berbagai syarat yang ditentukan Partai Al-Wafd dalam menyusun caleg, ditambah lagi berbagai tekanan yang bertubi-tubi dari penguasa, 9 orang utusan IM dapat menembus Majelis Sya’ab (MPR).
Pada Pemilu berikutnya, April 1987, IM beraliansi dengan Partai Amal dan Partai Ahrar. Mereka berhasil meraih 36 kursi parlemen. Namun antara 1990 – 1995, IM menolak terlibat dalam Pemilu. Mereka baru terjun kembali dalam politik pada tahun 2000 – 2005, dan berhasil memasukkan 17 anggota parlemen, dan meningkat pada 2005 – 2010, sebanyak 88 orang.
Pada 20 April 2011, pada masa-masa ‘Musim Semi Arab’ IM mendeklarasikan berdirinya sebuah partai politik dengan nama Hizbul Huriyyah wal ‘Adalah (Partai Kebebasan dan Keadilan). Pada pemilihan umum 2012 partai ini mendapatkan 47% kursi parlemen.
IM kemudian mencalonkan Muhammad Mursi dalam pemilu Mei – Juni 2012 dan berhasil menjadikannya sebagai presiden Mesir terpilih. Namun pada 30 Juni 2013 kaum oposisi yang menamakan dirinya kelompok Tamarud menggerakkan demonstrasi besar di penjuru Mesir menuntut pengunduran diri Presiden Mursi. Bersamaan dengan demo anti-Mursi, para pendukungnya mengadakan demonstrasi tandingan di lokasi lain di Kairo. Militer kemudian turun tangan dan menerbitkan ultimatum 48 jam, memberi tenggat waktu hingga 3 Juli bagi partai untuk memenuhi tuntutan rakyat Mesir. Militer Mesir juga mengancam akan turut campur bila perselisihan tersebut tidak diselesaikan.
Pada 2 Juli 2013, Presiden Mursi secara terbuka menolak ultimatum 48 jam dan bersumpah untuk menjalankan rencananya sendiri untuk rekonsiliasi nasional dan menyelesaikan krisis politik. Namun esoknya, 3 Juli 2013, Abdul Fattah As-Sisi, Kolonel Jenderal Angkatan Bersenjata Mesir, mengumumkan announced a road map rencana mendatang Mesir, dan menyatakan bahwa Mursi telah dilengserkan serta mengangkat kepala Mahkamah Konstitusi sebagai pemegang jabatan sementara Presiden Mesir.
Merespon hal itu, massa pendukung Mursi sejak 11 Juli 2013 malam mulai memadati lapangan Masjid Rabiah Al-Adawiyah, Kota Nasr, Kairo. Mereka bersiap mengikuti demonstrasi damai besar-besaran yang dijadwalkan 12 Juli 2013 demi menuntut dikembalikannya kekuasaan Mursi selaku presiden terpilih melalui pemilu demokratis pertama negeri itu. Demonstrasi terus berlanjut semakin besar dan meluas di seantero Mesir, berlangsung berhari-hari sehingga As-Sisi kelimpungan.
Puncaknya pada 14 Agustus 2013, tanpa prikemanusiaan, militer Mesir membantai para demonstran damai di Rabiah itu hingga banyak jatuh korban nyawa. Menurut Dewan HAM Nasional Mesir, sejumlah 632 orang tewas—namun jumlah korban tewas sesungguhnya jauh lebih banyak hingga 2.200 orang—termasuk delapan orang petugas kepolisian. Peristiwa itu juga mengakibatkan 1.492 orang mengalami luka-luka dan sekitar 800 orang ditangkap.
Sejak peristiwa itu, para pemimpin dan anggota IM diburu dan dijebloskan ke penjara serta mengalami penyiksaan. Pada 9 Agustus 2014 Hizbul Huriyyah wal ‘Adalah dibubarkan. Menyusul kemudian pada Oktober 2013, IM, mendapatkan vonis dan dinyatakan sebagai organisasi teroris oleh kabinet Mesir pada Desember 2013.
Setelah 1 tahun mendekam di penjara, pada tanggal 19 November 2014, Mursi bersama 35 pemimpin IM lainnya terancam didakwa dengan hukuman mati dengan tuduhan melakukan spionase kepada Qatar. Jaksa Imad As-Sya’rawi menuduh Mursi dan para pembantunya membocorkan dokumen keamanan negara ke badan-badan intelijen asing, selain itu dia juga dituduh bekerja sama dengan organisasi yang diklaim sebagai kelompok teroris, seperti Hamas. Pada Senin 17 Juni 2019, Muhammad Mursi meninggal dunia setelah dia jatuh pingsan di persidangannya dalam tuduhan berkomunikasi dengan intelijen Qatar.
Wallahul Musta’an….