Allah Ta’ala berfirman, “Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, Maka tidaklah Mengapa kamu men-qashar shalat (mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir.” QS. An Nisa: 101
قال يعَلى بن أُمية: قلت لعمر بن الخطاب: أرأيتَ إقصار الناس الصلاةَ وإنما قال عزّ وجلّ
{ إنْ خِفتم أن يَفتِنَكم الذين كَفروا } فقد ذهب ذلك اليوم. قال عُمر: عجبتُ مما عجبتَ منه، فذكرتُ ذلك لِرسول الله صلى الله عليه وسلم فقال: « صَدقة تصدَّق الله بِها عَليكم فاقبَلوا صَدَقته »، رواه الجماعة
Ya’la bin Umayyah berkata: “Aku bertanya kepada Umar bin Khaththab: ‘Bagaimana pendapatmu tentang mengqashar shalat, padahal Allah Ta’ala berfirman, ‘Jika kamu takut diserang orang-orang kafir.’ Dan sekarang hal itu tidak ada.’ Umar berkata: ‘Aku pun dulu merasa heran seperti kamu heran saat ini. Lalu dulu aku sampaikan hal itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau menjawab: ‘Itu adalah shadaqah Allah kepada kalian maka terimalah shadaqahnya'”. (HR. Al Jamaah).
Menurut madzhab Hanafi, mengqashar shalat adalah ‘azimah (hukum tetap), dan shalat sempurna dalam keadaan musafir hukumnya makruh, berbeda dengan sunnah, tetapi tetap sah shalatnya; dan dua rakaat akhir dianggap sebagai shalat sunnah, dan tasyahhud awal menjadi wajib.
Menurut madzhab Syafi’i; qashar shalat adalah rukhshah (kemudahan), tetapi tidak dimakruhkan shalat sempurna yang berstatus azimah, dan itu yang utama jika safarnya belum sampai tiga marhalah, dan jika sudah melewatinya maka yang utama meng-qashar shalat.
Para ulama berbeda pendapat tentang jarak safar yang diperbolehkan qashar shalat. Menurut madzhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali sejauh kurang lebih 90 km (sembilan puluh kilo meter).[1]
Para ulama juga berbeda pendapat tentang lama safar. Empat hari menurut jumhurul ulama,[2] lima belas hari menurut madzhab Hanafi, jika niat mukim melebihi batas itu dihitung mukim, dan tidak boleh mengqashar shalat.
Sedang jika ia tidak tahu berapa lama ia mukim, dan setiap hari menyatakan : BESOK MAU JALAN kemudian ia terpaksa harus menetap, maka dihitung musafir, mengqashar shalat meskipun lama di situ. Demikianlah madzhab Hanafi dan salah satu pendapat madzhab Syafi’i, yang merupakan amalan mayoritas sahabat. Pendapat lain madzhab Syafi’i jika lebih dari delapan belas hari dianggap muqim, dan tidak mengqashar apapun keadaannya.
Syarat untuk mengambil rukhshah qashar shalat agar keluar dari tempat tinggalnya, dan terus mengqashar sampai ia pulang ke negerinya.
Mengqashar shalat empat rakaat menjadi dua rakaat. Orang mukim boleh makmum kepada musafir, ketika musafir telah salam, yang mukim meneruskan, sebagaimana musafir yang shalat empat rakaat makmum kepada orang mukim.
Diperbolehkan shalat sunnah di atas kendaraan, kapal, mobil, kereta, atau pesawat. Dan bagi yang mau shalat harus menghadap kiblat jika mampu. Dan gugur darinya beberapa rukun shalat dan kewajibannya yang tidak mungkin dilaksanakan, seperti cukup dengan isyarat membungkuk dengan kepala untuk ruku’ dan sujud. Menundukkan kepala ketika sujud lebih rendah daripada ruku’nya. Hal ini telah disepakati oleh para ulama fiqh, berdasar hadits Amir bin Rabi’ah ra berkata:
رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو على راحلته يسبِّحُ يومئُ برأسِهِ قِبَلَ أي وجهةٍ توجه، ولم يكن يصنع ذلك في الصلاة المكتوبة متفق عليه.
“Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas kendaraannya bertasbih dengan menundukkan kepalanya, menghadap ke mana saja, dan hal ini tidak pernah dilakukan di shalat fardhu.” (Muttafaq alaih).
Catatan Kaki:
[1] Jarak safar menurut madzhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali adalah empat pos, dan satu pos = empat farsah, satu farsah=tiga mil, maka kira-kira 90 km. seperti yang dibuktikan oleh Sayyid Ahmad Al Husaini dalam bukunya “ Zadul Musafir/Bekal orang bepergian”
Sedangkan menurut madzhab Hanafi; jarak safar itu diukur dengan waktu, yaitu tiga hari.
Dalil madzhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali, adalah riwayat Imam Malik, bahwa Abdullah bin Abbas mengqashar shalat dalam perjalanan antara Makkah dan Thaif, jarak ini seperti Makkah dan Asfan, Makkah dan Jeddah. Imam Malik berkata: itu kira-kira empat pos.
Demikian juga seperti yang diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari: Bahwa Abdullah bin Umar ra dan Abdullah ibn Abbas keduanya mengqashar shalat dan ifthar dalam jarak empat pos.
Sedangkan dalil madzhab Hanafi adalah riwayat Al Bukhari: “Tidak halal bagi wanita beriman kepada Allah dan hari akhir melakukan safar sejauh tiga hari kecuali bersama dengan mahram, dan yang kurang dari tiga hari tidak dianggap safar.”
Seperti dalam hadits Ya’la bin Murah: Bahwasannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama dengan para sahabat sampai ke Mudhayyaq, masih di atas kendaraannya, dalam keadaan hujan, tanah becek, datang waktu shalat, lalu menyuruh muadzdzin mengumandangkan adzan dan iqamat, kemudian Rasulullah maju ke depan dengan tetap menaiki kendaraannya, di depan para sahabat, lalu shalat bersama mereka –menjadi imam- dengan isyarat membungkuk sujud lebih rendah daripada ruku’. (HR Ahmad, At Tirmidzi, An Nasa’i, dan Ad Daruquthni).
[2] Menurut madzhab Syafi’iy jika ia berniat mukim lebih dari tiga hari, ia menjadi orang mukim. Dan kurang dari empat hari dihitung musafir. Hari berangkat dan pulang tidak dihitung.