Pembeda Al-Haq dan Al-Bathil
Ada garis pembeda yang memisahkan antara al-haq dan al-bathil; antara petunjuk dan kesesatan.
Sumber dari al-haq adalah Allah Ta’ala, sedangkan sumber al-bathil adalah at-thaghut (syaithan, dukun, berhala, dan seluruh pemimpin kesesatan). Maka, penolong bagi al-haq dan para pendukungnya adalah Allah Ta’ala, sedangkan penolong bagi al-bathil dan para pendukungnya adalah at-taghut.
Al-Haq adalah an-nur (cahaya), yakni keimanan, ilmu, dan petunjuk; sedangkan al-bathil adalah ad-dzulumat (kegelapan), yakni kekufuran, kebingungan, syubhat-syubhat, dan kejahilan.
اللَّهُ وَلِيُّ الَّذِينَ آمَنُوا يُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ ۖ وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَوْلِيَاؤُهُمُ الطَّاغُوتُ يُخْرِجُونَهُمْ مِنَ النُّورِ إِلَى الظُّلُمَاتِ ۗ أُولَٰئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka daripada cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah, 2: 257)
Al-Haq adalah ar-rusydu (jalan yang benar/lurus), sedangkan al-bathil adalah al-ghayyu (jalan yang sesat). Mereka yang berpegang kepada al-haq berarti telah berpegang kepada al-Islam, sedangkan mereka yang berpegang kepada al-bathil berarti telah berpegang kepada al-jahiliyyah.
Manakala seseorang memilih kebenaran, cahaya, dan jalan yang benar; yakni dinul Islam, maka ia akan mendapatkan hallul musykilat (solusi atas berbagai masalah). Sementara mereka yang memilih kebatilan, kegelapan, dan jalan yang sesat, maka ia akan mendapatkan mashdarul musykilat (sumber masalah).
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لَا انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah, 2: 256)
Akhir bagi ashabul haq adalah al-jannah (surga), sedangkan akhir bagi ashabul bathil adalah an-nar (neraka).
*****
Dalam surah Al-Baqarah ayat 256 di atas disebutkan, mereka yang memasuki dinul Islam berarti telah berpegang kepada al-urwatul wutsqa (buhul tali yang amat kuat.)
Mujahid mengatakan bahwa al-urwatul wutsqa artinya iman. Menurut As-Saddi artinya agama Islam, sedangkan menurut Sa’id Ibnu Jubair dan Ad-Dahhak artinya ialah kalimah la Ilaha Illallah. Menurut sahabat Anas Ibnu Malik, al-urwatul wutsqa artinya Al-Qur’an. Menurut riwayat yang bersumber dari Salim Ibnu Abul Ja’d, yang dimaksud al-urwatul wutsqa adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah.
Diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari (3813) dan Imam Muslim (2484 ) dari Qais bin Ubbad radliyallahu ‘anhu dia berkata,
كُنْتُ بِالْمَدِينَةِ فِي نَاسٍ فِيهِمْ بَعْضُ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَجَاءَ رَجُلٌ فِي وَجْهِهِ أَثَرٌ مِنْ خُشُوعٍ ، فَقَالَ بَعْضُ الْقَوْمِ : هَذَا رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ ، هَذَا رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ ، فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ يَتَجَوَّزُ فِيهِمَا ثُمَّ خَرَجَ ، فَاتَّبَعْتُهُ فَدَخَلَ مَنْزِلَهُ وَدَخَلْتُ ، فَتَحَدَّثْنَا ، فَلَمَّا اسْتَأْنَسَ قُلْتُ لَهُ : إِنَّكَ لَمَّا دَخَلْتَ قَبْلُ قَالَ رَجُلٌ كَذَا وَكَذَا . قَالَ : سُبْحَانَ اللَّهِ ! مَا يَنْبَغِي لِأَحَدٍ أَنْ يَقُولَ مَا لَا يَعْلَمُ ، وَسَأُحَدِّثُكَ لِمَ ذَاكَ ، رَأَيْتُ رُؤْيَا عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَصَصْتُهَا عَلَيْهِ ، رَأَيْتُنِي فِي رَوْضَةٍ – ذَكَرَ سَعَتَهَا وَعُشْبَهَا وَخُضْرَتَهَا – وَوَسْطَ الرَّوْضَةِ عَمُودٌ مِنْ حَدِيدٍ أَسْفَلُهُ فِي الْأَرْضِ وَأَعْلَاهُ فِي السَّمَاءِ ، فِي أَعْلَاهُ عُرْوَةٌ ، فَقِيلَ لِي : ارْقَهْ . فَقُلْتُ لَهُ : لَا أَسْتَطِيعُ . فَجَاءَنِي مِنْصَفٌ – قَالَ ابْنُ عَوْنٍ وَالْمِنْصَفُ الْخَادِمُ – فَقَالَ بِثِيَابِي مِنْ خَلْفِي ، وَصَفَ أَنَّهُ رَفَعَهُ مِنْ خَلْفِهِ بِيَدِهِ ، فَرَقِيتُ حَتَّى كُنْتُ فِي أَعْلَى الْعَمُودِ ، فَأَخَذْتُ بِالْعُرْوَةِ ، فَقِيلَ لِيَ : اسْتَمْسِكْ . فَلَقَدْ اسْتَيْقَظْتُ وَإِنَّهَا لَفِي يَدِي . فَقَصَصْتُهَا عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : تِلْكَ الرَّوْضَةُ الْإِسْلَامُ ، وَذَلِكَ الْعَمُودُ عَمُودُ الْإِسْلَامِ ، وَتِلْكَ الْعُرْوَةُ عُرْوَةُ الْوُثْقَى ، وَأَنْتَ عَلَى الْإِسْلَامِ حَتَّى تَمُوتَ . قَالَ : وَالرَّجُلُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ سَلَامٍ
“Aku berada di Madinah dan di sekelilingku sebagian sahabat-sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba datanglah seorang lelaki yang di wajahnya tampak bekas kekhusyukan. Beberapa orang berkata: ‘Inilah lelaki penghuni surga, inilah lelaki penghuni surga.’ Kemudian lelaki tersebut melaksanakan shalat dua rakaat yang sedang-sedang saja panjang rakaatnya setelah selesai shalat dia keluar Masjid. Maka aku pun mengikutinya sampai dia memasuki rumahnya; aku pun ikut masuk ke rumahnya dan terjadi perbincangan di antara kami.
Ketika pembicaraan sudah mulai cair aku berkata kepadanya: ‘Sesungguhnya tatkala Anda memasuki masjid maka orang-orang berkata begini dan begitu tentang Anda.’ Lelaki tersebut berkata: ‘Subhanallah (Maha suci Allah)! Tidak sepatutnya seseorang mengatakan apa yang tidak ia ketahui, dan aku akan memberitahukan kepada Anda apa itu yang sedang dibicarakan.’
‘Aku pernah bermimpi di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian aku menceritakan mimpiku tersebut kepada beliau, aku melihat diriku berada di taman surga – dia menggambarkan luasnya, rerumputannya dan hijau-hijauan yang ada di sana- dan di tengah taman surga ada tiang yang terbuat dari besi yang batang bawahnya menancap di bumi dan atasnya sampai ke langit, di bagian atasnya terdapat “Al ‘Urwah”, tali yang sangat kuat, lalu dikatakan kepadaku: ‘Naikilah’. Aku menjawab: ‘Aku tidak bisa, dan datanglah kepadaku Minshaf -Ibnu ‘Aun berkata: Al-Minshaf adalah pembantu- lalu Minshaf menggapai bajuku dari belakang dan dia menyebutkan bahwa dia diangkat oleh Minshaf dengan tangannya dari arah belakang. Lalu aku menaiki sampai aku berada dipuncak tiang, kemudian aku mengambil Al ‘Urwah, dan dikatakan kepadaku: ‘Peganglah erat-erat’. Tiba-tiba aku terbangun dan ternyata Al ‘Urwah berada di tanganku.’
‘Lalu aku menceritakannya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau bersabda: ‘Taman itu adalah tamannya umat Islam, dan tiang itu adalah tiangnya Islam, sedangkan tali yang engkau sebutkan adalah ‘al ‘urwatul wutsqa’ dan engkau akan tetap berada di jalan Islam hingga engkau meninggal.’ Lalu Qais bin Ubbad berkata: ‘Lelaki tersebut adalah Abdullah bin Salam.’”
Berpegang teguh pada urwatul wutsqa ditandai dengan tiga hal:
Pertama, menjadikan seluruh hidupnya lillah (untuk Allah).
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ
“Katakanlah: ‘Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagiNya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)’.” (QS. Al-An’am, 6: 163)
Kedua, menjadikan hidupnya selalu ma’allah (bersama Allah); merasakan pengawasan-Nya dan mesyukuri limpahan ihsan (kebaikan) dari-Nya, seraya terus memantaskan diri untuk mendapatkan ta’yid (dukungan dan pertolongan) dari-Nya. Hal ini dilakukan dengan berbuat ihsan, yakni selalu berpegang teguh kepada minhajul hayah yang diturunkan-Nya.
إِنَّ اللَّهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَوْا وَالَّذِينَ هُمْ مُحْسِنُونَ
“Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. An-Nahl, 16: 128)
Ketiga, menjadikan hidupnya ilallah (menuju Allah); keridhoan Allah Ta’ala menjadi orientasi dan tujuan hidupnya.
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاةِ اللَّهِ وَاللَّهُ رَءُوفٌ بِالْعِبَادِ
“Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.” (QS. Al-Baqarah, 2: 207)
Berkata Ibnu Abbas, Anas, Said bin Musayyab dan beberapa sahabat yang lain bahwa ayat tersebut diturunkan berhubungan dengan peristiwa Suhaib bin Sinan Ar-Rumi, yang akan mengikuti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berhijrah ke Madinah. Oleh orang-orang Quraisy ia dilarang berhijrah dengan membawa kekayaannya. Suhaib tidak mengindahkan larangan orang-orang Quraisy itu bahkan dengan segala senang hati dan penuh keikhlasan ia menyerahkan semua kekayaannya asal ia dibolehkan berhijrah ke Madinah, maka turunlah ayat tersebut.
Setelah itu Umar bin Khattab beserta beberapa orang sahabat pergi menemui Suhaib dan berkata, “Daganganmu benar-benar beruntung.” Berkata Suhaib, “Semoga dagangan saudara-saudara tidak rugi. Kedatangan saudara-saudara ini untuk apakah sebenarnya?” ‘Umar memberitahukan bahwa Allah Ta’ala telah menurunkan ayat ini berhubung dengan peristiwa yang dialami Suhaib.[1]
Wallahu A’lam.
Catatan Kaki:
[1] Al-Qur’anul Karim wa Tafsiruhu
1 comment
Alhamdulillaah, jazaakumullahu khayraan katsiraan