Medan amaliyah dakwah dipenuhi oleh para penyeru dengan beragam seruan dan karakternya. Maka, seorang muslim yang hendak terjun ke dalamnya perlu jeli memperhatikan gerakan dakwah yang akan dikutinya.
Dakwah Islamiyah yang benar dan lurus memiliki karakteristik sebagai berikut:
Rabbaniyyah (Berorientasi Ketuhanan)
Dakwah yang benar haruslah berorientasi ketuhanan. Bertujuan hanya menyeru kepada Allah Ta’ala dan agama-Nya, dan bukan bertujuan mencari keuntungan duniawi: harta kekayaan, kedudukan, popularitas, dan sejenisnya.
Renungkanlah firman Allah Ta’ala berikut,
قُلْ مَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ إِلَّا مَنْ شَاءَ أَنْ يَتَّخِذَ إِلَىٰ رَبِّهِ سَبِيلًا
“Katakanlah: ‘Aku tidak meminta upah sedikitpun kepada kamu dalam menyampaikan risalah itu, melainkan (mengharapkan kepatuhan) orang-orang yang mau mengambil jalan kepada Tuhan nya’” (QS. Al-Furqan, 25: 57)
قُلْ مَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُتَكَلِّفِينَ
“Katakanlah (hai Muhammad): ‘Aku tidak meminta upah sedikitpun padamu atas dakwahku dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan’”. (QS. Shad, 38: 86)
Dakwah Islamiyah yang benar dan lurus juga disebut berkarakter rabbaniyyah karena apa yang disampaikannya semata-mata hanyalah apa-apa yang bersumber dari manhaj-Nya, yakni Al-Qur’an dan sunnah rasul-Nya.
قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Katakanlah: ‘Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik’” (QS, Yusuf, 12: 108)
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. An-Nahl, 16: 125)
Islamiyyatun Qabla Jam’iyyatin (Islamisasi sebelum Organisasi)
Dakwah Islamiyah yang benar, berkarakter Islamisasi sebelum organisasi. Prioritasnya adalah ‘memasarkan Islam’, bukan ‘memasarkan organisasi’, karena organisasi hanyalah wadah, dan hanya akan berjalan dengan baik dan kokoh jika proses islamisasi pribadi berjalan baik. Pengenalan dan ajakan kepada jam’iyah diperlukan apabila mad’u telah melewati tahapan tabligh, ta’lim, dan takwin.
Jadi, hendaknya gerakan dakwah tidak memberikan amanah dakwah yang strategis kepada orang-orang yang belum memahami dan mengamalkan Islam secara memadai, kecuali sekedar menjadi pendukung proyek-proyek dakwah secara umum.
Syamilatun Ghairu Juz’iyyatin (Menyeluruh dan Tidak Parsial)
Dakwah Islamiyah bersifat menyeluruh mencakup seluruh nilai-nilai ajaran Islam, tidak hanya berfokus pada satu bagian ajaran Islam. Dengan begitu umat diharapkan dapat memahami Islam secara utuh mencakup aqidah, syariah, dan akhlak.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah, 2: 208)
Para pengemban dakwah harus berupaya menjaga ikatan-ikatan Islam seluruhnya, mulai dari ikatan shalat, hingga ikatan penegakkan hukum syariah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan,
لَيُنْقَضَنَّ عُرَى الإِسْلاَمِ عُرْوَةً عُرْوَةً فَكُلَّمَا انْتَقَضَتْ عُرْوَةٌ تَشَبَّثَ النَّاسُ بِالَّتِى تَلِيهَا وَأَوَّلُهُنَّ نَقْضاً الْحُكْمُ وَآخِرُهُنَّ الصَّلاَةُ
“Tali ikatan Islam akan putus seutas demi seutas. Setiap kali terputus, manusia bergantung pada tali berikutnya. Yang paling awal terputus adalah hukum, dan yang terakhir adalah shalat.” (HR. Ahmad 5: 251. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini jayyid)
Mu’ashiratun Ghairu Taqlidiyah (Kekinian Tidak Kuno)
Dakwah Islamiyah yang benar senantiasa seiring dengan perkembangan zaman, yakni dalam hal cara, sarana, dan strategi yang digunakan. Dakwah perlu memperhatikan situasi, kondisi, suasana, peristiwa, sikap, keperluan, yang kemudian dikaitkan dengan sasaran.
Para da’i hendaknya terampil memanfaatkan media yang terus berkembang dari waktu ke waktu untuk kepentingan dakwahnya.
Termasuk dalam lingkup mu’ashirah adalah menyesuaikan cara pengemasan bahasa dalam menyampaikan pesan dakwah. Maka, para da’I hendaknya berbicara kepada manusia sesuai dengan kemampuan akal mereka.
أُمِرْنَا أَنْ نَكَلَّمَ النَّاسَ عَلَى قَدْرِ عُقُوْلِهِمْ (اَلدَّيْلَمِى عَنِ ابْنِ عَبَّاس)
“Kami diperintahkan agar berbicara kepada manusia sesuai dengan kadar intelektualitas mereka” (HR. Ad-Dailami dari Ibnu Abbas)
لاَ تَحْدُثُوْا أُمَّتِى مِنْ أَحَادِيْثَى إِلاَّ بِمَا تَحْمِلُهُ عُقُوْلُهُمْ (أَبُو نُعَيْم عَنِ ابْنِ عَبَّاس)
“Janganlah kalian berbicara kepada umatku berbagai pembicaraan kecuali apa yang mampu diterima oleh akal mereka” (HR. Abu Nu’aim dari Ibnu Abbas)
Jika hal seperti ini tidak diperhatikan, tentu akan menimbulkan fitnah (kebingungan, kekacauan, salah paham, dan lain-lain) di tengah-tengah umat. Hal ini sebagaimana disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَا أَنْتَ بِمُحَدِّثٍ قَوْمًا حَدِيثًا لَا تَبْلُغُهُ عُقُولُهُمْ إِلَّا كَانَ لِبَعْضِهِمْ فِتْنَةً
“Tidaklah kamu berbicara kepada suatu kaum suatu pembicaraan yang tidak sampai akal mereka melainkan akan menimbulkan fitnah bagi sebagian mereka” (HR Muslim)
Jika kita cermati sirah nabawiyah, kita akan menemukan bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mampu mengimbangi perkembangan zaman dalam situasi dan kondisinya yang berubah-ubah. Bukankah begitu gerak dakwah beliau begitu dinamis dari masa ke masa?
Beliau pernah melewati masa dakwah sirriyah dan dakwah jahriyah; beliau pun melakukan metode pembinaan umat secara sembunyi-sembunyi; pernah membolehkan ‘orang-orang lemah’ di kalangan kaum muslimin agar menampakkan ‘kemurtadan’ demi keselamatan jiwa dan menjaga pertumbuhan dakwah; beliau menghindari konfrontasi dan mengambil langkah defensif saat di Makkah; kemudian mengizinkan sebagaian pengikutnya hijrah ke Habasyah; untuk melindungi diri dan dakwahnya beliau pernah memanfaatkan hukum jiwar (jaminan keamanan) dari musyrikin yang tidak memusuhi; pun beliau pernah melakukan upaya mencari kekuatan penolong di luar Makkah, dan lain sebagainya. Hal ini menunjukkan gerakan dakwah hendaknya mampu menghadapi perkembngan zaman dan berubahnya situasi dan kondisi.
Mahaliyyatun wa ‘Alamiyyatun (Lokal dan Global)
Wilayah kerja dakwah Islamiyah begitu luas, karena ajaran Islam itu tidak hanya ditujukan untuk kalangan terbatas. Ia diperuntukkan bagi seluruh manusia di tempat dan di zaman manapun ia berada.
Berkenaan dengan risalah Islam yang dibawa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
“Dan tidaklah kami mengutusmu (Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam.” (QS. Al Anbiya’: 107)
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Dan tidaklah kami mengutusmu (Muhammad) kecuali bagi seluruh manusia untuk memberi kabar gembira dan peringatan, akan tetapi kebanyakan manusia tidak memahaminya.” (QS. Saba: 28)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri bersabda,
وَكَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ عَامَّةً
“Dahulu nabi-nabi diutus hanya kepada kaumnya, sedangkan aku diutus kepada seluruh manusia.” (HR. Bukhari, No: 335)
Dakwah tentu saja harus berawal dari skup lokal, yakni memberi perhatian pada masalah-masalah lokal sebelum melangkah ke skup yang lebih luas. Gerakan dakwah di seluruh muka bumi hendaknya dapat bersatu dan bersinergi, bahu membahu dalam melaksanakan dakwah Islam.
‘Ilmiyyah (Berlandaskan Ilmu)
Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Katakanlah: ‘Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik’” (QS, Yusuf, 12: 108)
Ayat ini menegaskan bahwa dakwah Islam itu mengajak kepada Allah Ta’ala berdasarkan bashirah yaitu bukti yang jelas dan pengetahuan tentang kebenarannya; di atas ilmu dan keyakinan.
Allah Ta’ala juga berfirman,
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. An-Nahl, 16: 125)
Penjelasan ayat ini sudah dikemukakan sebelumnya dalam pembahasan Ma’na Da’wah. Diantara makna dakwah bil-hikmah adalah dakwah dengan bukti-bukti yang menimbulkan keyakinan; berdasarkan dalil nyata dan tidak samar yang menjelaskan kebenaran; yaitu berdakwah dengan ilmu.
Dakwah bukan berasas pada emosi dan taklid buta atau ikut-ikutan tanpa ilmu. Allah Ta’ala berfirman,
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al-Isra, 17: 36)
Maka, yang dilakukan dalam dakwah adalah tau’iyyatun islamiyyatun (upaya penyadaran keislaman), sehingga mad’u memiliki al-wa’yul islamiy (kesadaran Islam).
Bashiratun Islamiyyatun (Berpandangan Islam)
Gagasan, konsepsi, dan pemikiran yang ada di dalam dakwah Islamiyah selalu islami; bukan cara pandang sekular, materialis, kapitalis, liberal, dan lain sebagainya.
Ajaran Islam adalah way of life (manhajul hayah) yang sempurna; dengan konsepsinya yang unik tentang aspek keyakinan (al-i’tiqadi), moral (al-akhlaki), sikap (as-suluki), perasaan (as-syu’uri), pendidikan (at-tarbawi), kemasyarakatan (al-ijtima’i), politik (as-siyasi), ekonomi (al-iqtishadi), militer (al-‘askari), dan hukum (al-jina’i).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sejak awal telah mencontohkan tentang pentingnya menjaga kemurnian bashirah dan tsaqafah para pengikutnya. Telah diriwayatkan secara shahih bahwa beliau sangat marah ketika melihat Umar bin Khatthab memegang lembaran yang di dalamnya terdapat beberapa potongan ayat Taurat, beliau berkata,
أَفِي شَكٍّ أَنْتَ يَا ابْنَ الْخَطَّابِ ؟ أَلَمِ آتِ بِهَا بَيْضَاءَ نَقِيَّةً ؟ لَوْ كَانَ مُوسَى أَخِي حَيًّا مَا وَسِعَهُ إلاَّ اتِّبَاعِي .
“Apakah engkau masih ragu wahai Ibnul Khatthab? Bukankah aku telah membawa agama yang putih bersih? Sekiranya saudaraku Musa (‘alaihis salam) hidup sekarang ini maka tidak ada keluasan baginya kecuali mengikuti (syariat)ku.” (HR. Ahmad, Ad-Darimi dan lainnya).
Al-Manna’atul Islamiyyah (Memiliki Imunitas Keislaman)
Dakwah Islamiyah hendaknya diemban oleh para da’i yang memiliki imunitas keislaman, yakni:
Pertama, memiliki al-isti’abun nadhariy (penguasaan teoritis). Mereka ma’rifatul mabda (memahami prinsip Islam), ma’rifatul fikrah (memahami fikrah), dan ma’rifatul Minhaj (mengenal pedoman Islam).
Kedua, memiliki al-isti’abul ma’nawiy (penguasaan moral). Mereka memiliki al-iradatul qawiyyah (kemauan yang kuat dalam dakwah) dan al-wafa-u tsabit (kesetiaan yang kokoh kepada gerakan dakwah).
Ketiga, memiliki al-isti’abul ‘amaliy (penguasaan amal). Mereka melakukan al-harakatul mustamirah (gerakan amal yang berkelanjutan) dan memiliki ruhul badzli (semangat pengorbanan).
Inqilabiyyatun Ghairu Tarfi’iyyatin (Perubahan Total, bukan Tambal Sulam)
Hal yang dikehendaki dengan dakwah adalah perubahan total ke arah dinul Islam; tercelup, terwarnai, dan tercetak oleh ajaran Islam.
صِبْغَةَ اللَّهِ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ صِبْغَةً وَنَحْنُ لَهُ عَابِدُونَ
“Shibghah (celupan) Allah, dan siapakah yang lebih baik shibghahnya dari pada Allah? Dan hanya kepada-Nya-lah kami menyembah.” (QS. Al-Baqarah, 2: 138)
Hal yang dikehendaki dari dakwah Islamiyah adalah upaya untuk merubah kondisi pribadi maupun masyarakat. Setelah memahami Islam, hendaknya mereka berupaya membersihkan jiwa dari noda dan kotoran masa lalu di masa jahiliyyah. Mereka hendaknya berupa memulai hidup baru yang sama sekali berbeda dengan masa lalunya. Interaksinya dengan ajaran Islam hendaknya merubah total lingkungan, kebiasaan, adat, wawasan, ideologi, serta pergaulannya.
Wallahu a’lam…