Syaikh Tantawi Jauhari dikenal sebagai mufassirun abad modern. Karena pendekatan beliau dalam menafsirkan ayat lebih menjurus kepada pendekatan sains. Dalam pandangannya, ilmu sains tidak dapat diasingkan dari al-Quran. Ia kemudian berjuang dengan gigih untuk mengintegrasikan antara ilmu duniawi dan ukhrawi.
Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika Syaikh Tantawi Jauhari dinobatkan sebagai penerima Hadiah Nobel pertama di kalangan bangsa Arab walaupun beliau tidak sempat melihatnya karena telah berpulang ke rahmatullah.
Mengenal Syaikh Tantawi Jauhari
Syaikh Tantawi dilahirkan di Kampung Kafr Awadullah Hijazi di wilayah as-Syarqiyyah pada 1826M/1278H. Beliau berasal dari keluarga yang sangat memperhatikan ilmu pengetahuan. Ayahnya seorang petani yang gigih bekerja dan tidak memiliki harta benda yang membanggakan keluarganya. Namun Syaikh Tantawi menjadi bijak dalam ilmu karena hasil dorongan pamannya, Syaikh Muhammad as-Syalabi, yang juga merupakan seorang tokoh ulama ketika itu yang banyak menurunkan ilmunya kepada Syaikh Tantawi.
Mendapat pendidikan awal di tangan beberapa tokoh ulama di kampungnya dengan menghafal 30 juz al-Quran, melanjutkan pelajarannya di pendidikan menengah dan tingkat atas di Universitas Al-Azhar pada 1877 hingga menguasai ilmu-ilmu Bahasa Arab dengan segala yang berkaitan dengannya, juga menguasai Fiqh Mazhab Syafi’i. Namun, ia terpaksa berhenti sekolah disebabkan kesehatan ayahnya yang kian menurun. Beliau terpaksa bekerja di sawah ayahnya guna menanggung kebutuhan keluarga.
Meskipun begitu, Syaikh Tantawi tetap menaruh harapan untuk meneruskan pendidikannya. Cita-cita itu ditunaikan oleh pamannya Syaikh Muhammad as-Syalabi yang tidak mau melihat anak saudaranya berhenti separuh jalan. Akhirnya Syaikh Tantawi dapat menyambung sekolah di Madrasah Darul Ulum pada 1889 hingga tamat pada 1894, di situ beliau mempelajari ilmu-ilmu sains dan ilmu fiqh mazhab Hanafi.
Aktivitas Keilmuan Yang Digelutinya
Setelah menamatkan pendidikan di Madrasah Darul Ulum, Syaikh Tantawi ditawari untuk menjadi tenaga pengajar di sebuah sekolah di Damanhur, kemudian dipindahkan ke sekolah di an-Nasriyyah di Giza, berpindah pula ke sekolah al-Khodiwiyyah di Darb al-Jamamiz sejak pada 1900 hingga 1910. Semasa mengajar di situ, Syaikh Tantawi mengambil kesempatan untuk memperdalami ilmu Bahasa Inggeris hingga mampu menguasainya dari sudut penulisan dan pertuturan.
Pada 1911, beliau ditawari untuk menjadi kepala sekolah, sekaligus menjadi guru yang bertanggungjawab mengajar subjek tafsir al-Quran dan hadis di sekolah lamanya yaitu Madrasah Darul Ulum. Kepiawaian pengajarannya dalam bidang tafsir al-Quran membuatnya ditawari pula untuk mengajar di universitas. Akan tetapi, prestasinya itu tidak disenangi oleh Perdana Menteri ketika itu, Mahmud Fahmy an-Naqrasyi yang lebih suka guru yang berbangsa Perancis untuk menggantikannya.
Beliau mulai mendapat tekanan dan tribulasi, saat tercetusnya Perang Dunia Pertama pada 1914. Beliau yang saat itu mengajar di Madrasah Darul Ulum, dikeluarkan oleh penjajah Inggris dan terpaksa berpindah ke Sekolah Menengah Abbasiyyah di wilayah Iskandariah. Pada 1917, beliau dipanggil lagi oleh pihak sekolah al-Khodiwiyyah hingga melepaskan jabatannya sebagai guru pada tahun 1922. Selanjutnya, Syaikh Tantawi mulai memfokuskan dalam bidang penulisan dan pembinaan remaja yang dahaga ilmu pengetahuan agama.
Nama Syaikh Tantawi semakin dikenal di kalangan masyarakat Mesir. Beliau dikenal oleh banyak pihak ketika itu sebagai tokoh ulama yang menguasai bidang agama juga bidang ilmu sains, serta kemahirannya berbahasa Inggris.
Mempelopori Gerakan Pelajar
Dalam kesibukan beliau menyiapkan beberapa hasil karyanya, beliau tidak lupa pula untuk membangkitkan rasa tanggungjawab para pelajar terhadap agama mereka. Beliau mendirikan beberapa organisasi persatuan pelajar guna membangkitkan kesedaran umat dalam membela agama Islam. Semasa beliau di Iskandariah, Syaikh Tantawi mendirikan gerakan pelajar yang diberi nama Persatuan Al-Jauhariah, kemudian mendirikan Jamaah Ukhuwwah Islamiah yang membawahi pelajar-pelajar dari Timur Tengah yang bersatu membela Islam.
Tidak cukup dengan itu, Syaikh Tantawi mendirikan pula Kesatuan Pemuda Islam yang menitik beratkan persoalan kerohanian Islam khususnya di Kairo dan menjadi anggota Persatuan al-Bir al-Ihsan, Persatuan al-Muwasah al-Islamiah, serta pernah mengetuai Redaksi majalah yang diterbitkan oleh Gerakan Al-Ikhwan Al-Muslimun pada tahun 30-an.
Keilmuannya Diakui Oleh Umat Islam
Ketokohan Syaikh Tantawi semakin diakui oleh umat Islam dari dalam dan luar Mesir, hingga beliau sering diundang untuk memberikan ceramah-ceramah agama khususnya mengenai pendekatan al-Quran tentang sains di beberapa negeri Islam seperti India, Malaysia, Singapura, Indonesia, dlsb.
Pengalaman menyampaikan ceramah agama di luar negeri, memberi inspirasi kepadanya untuk menumbuhkan banyak sekolah yang mengajarkan ilmu-ilmu agama dan akademik pada satu masa. Akhirnya beliau berhasil mendirikan Universitas Tantawi dan sekolah-sekolah Jauhariah yang diambil dari namanya dan nama ayahnya.
Dalam bidang penulisan, Syaikh Tantawi banyak menghasilkan kitab ilmiah, yang terbesar adalah Tafsir Tantawi Jauhari, az-Zuhrah Fi Nizam al-Alam Wa al-Umam, at-Taj al-Marso’ Bi Jawahir al-Quran Wa al-Ulum, Nahdatul Ummah Wa Hayatuna, an-Nizam Wa al-Islam, Jawahir al-Ulum, Aina al-Insan, al-Jawahir Fi Tafsir al-Quran dalam 36 jilid, dan lain-lain.
Ulama yang Tawadhu
Meskipun ia telah dikenal sebagai ulama besar, Syaikh Tantawi tetap bersikap tawadhu. Paling tidak hal ini terbukti dari kesediannya menjadi pendukung gerakan Al-Ikhwan Al-Muslimun yang dipimpin oleh Hasan Al-Banna, seorang guru SD, yang umurnya jauh lebih muda darinya.
Dukungannya kepada gerakan Al-Ikhwan, diceritakan sendiri olehnya kepada Ustadz Abdul Halim Mahmud,
“Ketika aku mendangar namanya (Hasan Al-Banna) disebut-sebut orang, aku datangi dia dan aku duduk bersamanya, aku tanya dia, ‘Apa yang Engkau dakwahkan?’. Sebagaimana banyak orang yang yang pernah aku jumpai dia menjawab: ‘Aku mendakwahi orang kepada Al Qur’an’. Maka aku katakan kepadanya: “Masing-masing kelompok mengaku bernisbat kepada Al Qur’an, tidak ada satu kelompokpun di dalam dakwah Islamiyyah ini—termasuk yang sesat sekalipun—kecuali mereka mengatakan: mengajak kepada Al Qur’an! Jawablah pertanyaan saya dengan rinci tentang dakwah yang Engkau serukan itu pada setiap aspek kehidupan!’ Kemudian ia menerangkan dakwahnya dan aku dapati dakwahnya tidak keluar dari kitabullah dan sunnatur-Rasul”.
Diceritakan pula, ketika Tantawi akhirnya terkesan dan tertarik serta ingin bergabung dengan Al-Ikhwan, Hasan Al-Banna bertanya kepadanya: “Wahai Ustadz! Engkau adalah ustadz kami, dan ustadz semua orang di Mesir ini, Andalah Hakimul Islam, kulihat Anda lebih berhak untuk menduduki kepemimpinan di dalam dakwah ini, ini tanganku, aku siap berbai’at kepadamu”. Syaikh Thanthawi menjawab: “Tidak, wahai shahibud-da’wah, engkau lebih mampu untuk memikul beban da’wah ini dan engkau lebih pantas, dan ini tanganku (berbaiat kepadamu)”.
Saat beliau bergabung dengan Al-Ikhwan, teman-teman seangkatan beliau meledeknya dengan mengatakan: “Anda seorang ulama’ besar dan seorang syaikh, mengapa Anda mau menjadi kelompok yang dipimpin seorang anak muda dan Anda hanya menjadi seorang Pemimpin Redaksi?” Dijawab oleh Tantawi: “Seandainya anda mengetahui siapa Al-Banna, Anda akan lebih dahulu bergabung daripada saya, sayang anda tidak mengetahuinya”.
Berpulang ke Rahmatullah
Pada 12 Januari 1940M bersamaan 3 Zulhijjah 1358 H, Syaikh Tantawi menghembuskan nafasnya yang terakhir setelah puluhan tahun berkhidmat untuk meninggikan syiar Islam. Jenazahnya diurus dan disembahyangkan oleh ribuan manusia yang terdiri daripada para alim ulama serta pembesar negara-negara umat Islam dari dalam dan luar Mesir yan datang untuk memberikan penghormatan terakhir.