George McTurnan Kahin, Guru Besar Universitas Cornell Amerika, pernah bercerita tentang pertemuan pertamanya yang mengejutkan dengan Mohammad Natsir, yang waktu itu tahun 1946 menjabat sebagai Menteri Penerangan RI, ”Ia memakai kemeja bertambalan, sesuatu yang belum pernah saya lihat di antara para pegawai pemerintah mana pun,” kata Kahin.
Belakangan juga Kahin mengetahui bahwa Natsir hanya memiliki kemeja kerja dua stel yang sudah tidak terlalu bagus, hingga akhirnya para pegawai Departemen Penerangan yang dipimpinnya itu “berpatungan” membeli beberapa pakaian yang pantas untuk Natsir agar terlihat sebagai “menteri beneran”.
Jabatannya sebagai menteri ternyata tidak dapat membantunya menanggulangi kesulitan membeli rumah untuk keluarganya. Sehingga bertahun-tahun keluarga Natsir harus menumpang hidup di paviliun rumah Prawoto Mangkusaswito, di kampung Bali, Tanah Abang. Ketika pemerintah RI pindah ke Yogyakarta, mereka menumpang di paviliun milik keluarga Agus Salim. Baru tahun 1946 akhir, pemerintah kemudian memberikan rumah dinas untuk Natsir. Inilah untuk pertama kalinya keluarga Natsir tidak perlu menumpang lagi.
Pada tahun 1956, mantan perdana menteri Indonesia tahun 1950-1951 ini pernah menolak pemberian mobil Chevrolet Impala yang cukup berkelas pada saat itu dengan alasan, “Mobil itu bukan hak kita. Lagipula yang ada masih cukup,” Saat itu politisi Masyumi ini memang telah memiliki mobil De Soto yang sudah tua. Mobil itu susah payah dibelinya dengan menabung bertahun-tahun.
Ketika mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Perdana Menteri, stafnya melaporkan catatan saldo dana taktis Perdana Menteri yang cukup banyak. Stafnya mengatakan ini adalah hak Perdana Menteri. Namun Natsir menolak dan memerintahkan agar dana tersebut diserahkan ke koperasi karyawan. Natsir kemudian menyetir sendiri mobil dinasnya menuju Istana Presiden untuk menemui Soekarno, dan meminta sopir pribadinya naik sepeda mengikutinya. Setelah bertemu dan berbicara dengan Soekarno beberapa saat, Natsir pamit pulang berboncengan sepeda dengan sopir pribadinya, lalu singgah sebentar ke rumah jabatan Perdana Menteri untuk menjemput seluruh anggota keluarganya pindah hari itu juga ke rumah pribadinya yang tentu saja lebih kecil dan lebih sempit.
Ketika Natsir menjadi anggota Majelis Ta’sisi Rabithah Alam Islami dan Vice President World Muslim Congress, beliau memiliki fasilitas untuk menunaikan haji setiap tahun. Namun, Natsir tidak memanfaatkan kesempatan ini, dan tidak pernah menggunakan fasilitas tersebut untuk memberangkatkan haji anak-anak dan menantu-menantunya. Anak-anak Natsir menunaikan rukun Islam kelima ini dengan biaya sendiri.
Begitulah sosok Natsir, kesederhanaan telah menjadi karakter dirinya. Jabatan-jabatan mentereng yang didudukinya tidak menjadikan ia bergeser dari kebersahajaan.